Jumat, Agustus 01, 2008

Study Qur'an

Study Qur'an

Soal :

1. Jelaskan sejarah singkat proses penurunan wahyu (al-Qur’an) dan pengumpulannya, baik pengumpulannya dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan sejak masa Nabi SAW sampai pada masa Utsman ra.

Jawab :

Sejarah singkat proses penurunan wahyu (al-Qur’an) dan pengumpulannya, baik pengumpulannya dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan sejak masa Nabi SAW sampai pada masa Utsman ra. adalah :

Turunnya Al-Qur’an dapat dibagi kedalam dua cara : pertama, secara ibtida’i yaitu ayat Al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya, dan mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun secara ibtida’i (Abu Maryam berkata : perhatikan “mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an”, ini menunjukkan bahwa justru mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun tidak memiliki asbabun nuzul. Yang kedua, secara sababi yaitu ayat Al-Qur’an turun yang didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya. Sebab-sebab tersebut dapat berupa : a) pertanyaan yang dijawab oleh Allah SWT. b) kejadian sebuah peristiwa yang membutuhkan penjelasan dan peringatan. c) adanya suatu permasalahan yang membutuhkan penjelasan hukumnya (dikutip dari buku “Pengantar Ilmu Tafsir” yang merupakan terjemahan Ushul fi Tafsir yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin Rohimahullah, penerjemah Ummu Ismail, diterbitkan oleh Dar as-Sunnah Press Jakarta)

Bahwa Allah SWT. telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW lebih empat belas abad yang silam, adalah suatu fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Selanjutnya Ia merupakan firman / kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yang turunnya secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari atau kurang lebih selama 23 tahun (13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah). Proses wahyu (Al-Qur’an) tersebut diturunkan melalui berbagai cara diantaranya :

  1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu kedalam hati Nabi Muhammad Saw tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada didalam hatinya.

  2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi Muhammad SAW.

  3. Wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW seperti bunyi gemerincing lonceng. Cara inilah yang paling berat dirasakan oleh Nabi, sampai-sampai Beliau mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.

  4. Malikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.

Kemudian, Setiap kali mendapat wahyu, Nabi Muhammad SAW langsung menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril. Selanjutnya Al-Qur’an diturunkan dalam dua periode : yang pertama, periode Mekah yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Beliau melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat. Yang kedua, adalah periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.

Adapun sejarah singkat proses pengumpulan wahyu (Al-Qur’an) dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan adalah sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya dihadapan para sahabat karena Rasulullah memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Beliau juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya diatas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, diatas daun lontar, kulit dan daun kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang, semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tersebut untuk membedakan antara satu surat dengan surat yang lainnya. Beliau juga memberi petujuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Kemudian sampai batas akhirnya cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tersebut berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 23 tahun (22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Diantara para sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an) pada masa Rasulullah adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa'ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik. Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. Tulisan ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur'an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq :

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatar belakangi pengumpulan nash-nash Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra.. : Suatu ketika Abu Bakar menemuiku untuk menginformasikan perihal tentang korban pada perang Yamamah (terjadi pada tahun 12 H), ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :” Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, Aku (Umar) khawatir kejadian hal serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat, sehingga suatu saat nanti tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku (Umar) sudah saatnya wahai engkau Khlaifah (Abu Bakar) memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar :”Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Umar menjawab :”Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu mendesak Abu Bakar untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatinya, maka usul Umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an akhirnya disetujui oleh Abu Bakar. Kemudian Beliau langsung berkata kepada Zaid bin Tsabit :”Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pandai, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah SAW, maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf.” Zaid berkata : Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindahkan salah satu gunung tidak akan lebih berat bagiku daripada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Abu Bakar menjawab : Demi Allah, itu tindakan yang mulia. Abu Bakar terus memaksaku untuk menerima tugas ini berkata Zaid, sehingga Allah melapangkan hatiku untuk menerimanya sebagaimana Allah lapangkan hati Abu Bakar dan Umar, maka akupun mulai mengumpulkannya dari pelepah-pelepah kurma, lempengan batu dan mendengarkan dari hafalan para sahabat sehingga aku menjumpai ayat terakhir dalam surat At-Taubah (ayat 28) dari Khuzaimah al-Anshari, yang belum pernah aku dapati dari orang lain (hingga akhir surat Bara’ah). .

              

lembaran-lembaran (suhuf) yang aku tuliskan itu disimpan oleh Abu Bakar hingga akhir hayatnya, kemudian di turunkan pada Umar bin Khattab kepada anaknya Hafsah setelah wafatnya. (HR. Bukhari fi fadhoil al-qur’an, bab jam’u al-qur’an 487)

Pengumpulan Al-Qur'an Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan :

Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Kahlifah Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan Al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajari mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka'ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy'ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.

Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: "Pada masa pemerintahan Utsman guru/pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Khalifah Utsman. Kemudian Khalifah Utsman berpidato dan seraya mengatakan: "Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya". Karena latar belakang dari kejadian tersebut Khalifah Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya, Ia berpendapat untuk melakukan tindakan preventif menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan. Mereka semua sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur'an. Khalifah Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah. Utsman mengatakan kepada mereka: "Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy". Utsman meminta kepada Hafsah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafsah mengabulkannya.

Hal ini sesuai dengan surat Utsman yang dikirimkannya kepada Hafsah yaitu : "Kirimlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda". Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan kepada Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Said ibnu al-'Ash dan Abdurrahman ibnu al-Harits ibnu Hisyam lalu mereka menyalinnya dalam mushaf. Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran/mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran/mushaf yang lain dibakar.(HR. al-Bukhari). Perbedaan antara pengumpulan (mushaf) Abu Bakar dan Utsman sebagaimana yang telah di kemukakan di atas adalah : pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan Al-Qur'an ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya hufazh yang gugur. sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal membaca Al-Qur'an

Soal :

2. Jelaskan tentang diturunkannya al-Qur’an dengan “tujuh huruf” (sab’atu ahruf). Apa hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan “tujuh huruf” pada periode madinah ? samakah sab’atu ahruf dengan Qira’ah sab’ah ? apa alasannya, jika anda mengatakan sama atau tidak sama ?

Jawab :

Turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf) :

Ada beberapa dalil hadits yang menyatakan Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf diantaranya adalah :

1. قال رسول الله صلم : اقراني جبريل علي حروف فراجعته فلم ازل استزيده و يزيدني حتي انتهي الي سبعة احرف (رواه البخاري و مسلم)

Artinya :

Rasul Allah SAW bersabda : “Malaikat Jibril telah membacakan (Al-Qur’an) kepadaku atas beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf (macam)”. HR. Bukhari dan Muslim

2. قال رسول الله صلم : ان هذا القرأن أنزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منه (رواه البخاري و مسلم)

Artinya :

Rasul Allah SAW bersabda : “ Sesunguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari Al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. قال رسول الله صلم لي : (ابي بن كعب) يا ابي ارسل الي ان اقرا القران علي حرف, فرددت اليه ان هون علي امتي, فرد الي الثانيه, اقراه علي حرفين, فرددت اليه ان هون علي امتي , فرد الي الثا لثه, اقراه علي سبعة احرف (رواه مسلم)

Artinya :

Rasul Allah berkata kepada (Ubayy bin Ka’ab) “Hai Ubayy, telah diutus (Jibril) kepadaku untuk membacakan Al-Qur’an atas satu huruf, lantas aku minta kepadanya agar dimudahkan umatku membacanya, maka (Jibril) berkata, bacalah Al-Qur’an itu atas dua huruf, lalu aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya, maka (Jibril) berkata lagi, bacalah atas tujuh huruf”. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits yang dikemukakan diatas tampak ada semacam kebebasan bagi umat untuk membaca Al-Qur’an selama masih dalam lingkup tujuh bacaan yang diizinkan. hal itu dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada umat dalam membaca Al-Qur’an. Dengan kemudahan atau kelonggaran yang diberikan Rasulullah itu dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka mereka (kalangan muda, kakek, nenek yang terdiri dari berbagai suku dan kelompok) makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Sesuai dengan maksud dari Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada umat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka, selama sebutan rahmat tidak ditutupi (diakhiri) dengan sebutan azab, sebaliknya sebutan azab tidak diakhiri dengan sebutan rahmat, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits Rsulullah yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dari Abu Hurairah, yang artinya : Rasulullah telah bersabda “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh bacaan, maka bacalah jangan merasa sulit, jangan merasa kesulitan (karena harus membaca dengan satu bacaan yang sukar sekali melafalkannya), namun jangan kamu akhiri ayat yang berisi (menyebutkan) rahmat dengan azab, dan jangan pula mengakhiri yang menyebut azab dengan rahmat.

Kemudian, para ulama cenderung berpendapat bahwa kata “tujuh” dalam hadits yang sudah disebutkan sebelumnya adalah dalam arti tujuh yang sebenarnya bukan kiasan. Artinya tujuh yang terletak antara enam dan delapan. Dan tidak pula berkonotasi suatu jumlah yang tidak terbatas meskipun secara kiasan dapat saja berarti demikian. Adapun kata “ahruf” secara lughawi adalah jamak dari “harf” yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah satu huruf hijaiyyah dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna tujuh huruf, diantaranya adalah : Al-Hafidz Abu Amr al-Dhani berpendapat makna tujuh huruf dalam hadits sebelumnya mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “Tujuh cara membaca dari beberapa bahasa”. Kedua, berarti “bacaan”. Sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya, dan bacaan tak mungkin terjadi tanpa huruf. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah halal, haram, muhkam, mutasyabih, mengemukakan perumpamaan, menyuruh, dan melarang, pendapat mereka ini berdasarkan hadits Ibn Mas’ud. Adapun pendapat sebagian besar ulama adalah bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa : Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Pendapat lain dari Ibn al-Jaziri yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah tujuh cara dalam membaca Al-Qur’an, meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu kembali kepada tujuh huruf. Pendapat ini juga didukung oleh al-Zarqani, ketujuh perbedaan cara membaca Al-Qur’an itu ialah sebagai berikut :

  1. Perbedaan bentuk kata benda (tunggal, jamak, maskulin dan feminin)

  2. Perbedaan tashrif / perubahan (kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang dan masa yang akan datang)

  3. Perbedaan jabatan kata

  4. Perbedaan dikarenakan berlebih dan berkurang dalam menggunakan kata

  5. Perbedaan dikarenakan terdahulu dan terkemudiankan dalam penempatan suatu kata

  6. Perbedaan karena ada penggantian suatu kata

  7. Perbedaan dialek.

Sebagai kesimpulan dari apa yang telah diungkapkan diatas, bahwa Meskipun maksud dari sab’atu ahruf tersebut adalah untuk memberi kelonggaran dan kebebasan dalam membacanya namun bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah dibaca sesuka hati si pembaca, melainkan ada aturan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.



Hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah :

  1. Memudahkan bagi kaum-kaum Arab yang Ummi (tidak pandai membaca dan menulis) untuk bisa membaca dan menghafalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah ia dengan bacaan yang mudah daripadanya. Dalam hadis riwayat Muslim juga yang diterima melalui Ubay, beliau bersabda yang artinya, “Wahai Ubai! Aku diperintahkan agar membacakan Al-Quran dengan satu huruf, maka aku memohon kepada malaikat Jibril agar diberi kemudahan bagi umatku dan dia menjawab agar aku membacanya dengan dua huruf . Aku masih mengulangi lagi permintaan agar diberi lagi keringanan untuk umatku . Maka dia menjawab untuk yang ketiga kalinya . “ Bacalah Al-Quran itu dengan tujuh huruf.”

  2. Untuk menguatkan mukjizat Al-qur’an. Diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh bahasa adalah untuk seluruh manusia bukan kepada qabilah yang tertentu.

  3. Mukjizat Al-Qur’an pada makna-makna dan hukum-hukum. Perubahan-perubahan bentuk lafadz pada beberapa huruf dan kalimah adalah untuk proses istinbath (pengeluaran) hukum dan menjadikan hukum Al-Qur’an yang sesuai sepanjang masa dan zaman.

  4. Memperkokoh kesatuan umat. Dengan diturunkan Al-Qur’an dalam berbagai bacaan sesuai dengan kemampuan mereka, maka mereka merasakan bahwa Al-Qur’an bukan milik satu golongan tertentu, melainkan untuk semua umat.

  5. Bukti keagungan Al-Qur’an. Dengan diturunkan Al-Qur’an dalam bacaan yang bervariasi, kebesaran dan keagungannya makin terasa meskipun qira’atnya beragam.

  6. Memberikan kelegaan kepada umat. Dengan diturunkannya Al-Qur’an dalam berbagai qira’at, umat meraasa lega dan puas sebab mereka diberi sedikit kebebasan dalam membaca kitab suci, tidak dipaksa untuk membaca dengan satu qira’at tertentu.

  7. Memberikan kemudahan. Bacaan yang beragam memberikan ruang gerak yang sedikit leluasa bagi umat.





Samakah sab’atu ahruf dengan qira’ah sab’ah

Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qara’a (قرأ), yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Ada dua pengertian qira’at menurut istilah yaitu : Pertama, Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain. Yang kedua, pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani. Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”

Berbeda dengan sab’atu ahruf yang pengertiannya adalah tujuh cara dalam membaca Al-Qur’an (pendapat Ibn al-Jaziri yang didukung oleh al-Zarqani), meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu kembali kepada tujuh huruf.

Sedangkan qira'at sab'ah adalah qira'at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi', Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer Ibnu 'Ala' dan Ali al-Kisa’i. Qira'at sab'ah ini populer diseluruh negara Islam pada permulaan abad kedua hijriyah. Di Bashrah orang membaca menurut qira'at Abi Amr dan Ya'qub. Di Kufah menurut qira'at Hamzah dan Ashim, di Syam menurut qira'at Ibnu Amir, di Makkah menurut qira'at Ibnu Katsir dan di Madinah menurut qira'at Nafi'.

Secara umum qira'ah berarti madzhab dalam membaca Al-Quran dari para imam Qurra' yang masing-masing memiliki perbedaan dalam pengucapan ayat-ayat Al-Quranul Karim, tetapi semuanya bersandar kepada sanad-sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW. Qira'ah yang mutawatir adalah Qira'ah Sab'ah (Tujuh) yang termasyhur. Qira'ah yang mutawatir itu disampaikan kepada kita dari para Qurra' yang huffadz. Mereka terkenal dengan hafalan, kekuatan ingatan dan kejujurannya. Mereka menukil qira'at para Shahabat radhiyallahu 'anhum yang mendengarkan langsung ayat-ayat Al-Quran dari Rasulullah SAW. Diantara imam-imam Qira'ah Sab'ah (Tujuh Qurra') yang masyhur adalah : 1). Ibnu Katsir (45-120 H). 2). ‘Ashim (….-128 H). 3). Abu ‘Amr (68-154 H). 4) Nafi’ (70-169 H). 5). Ibnu ‘Amir (21-118 H). 6). Hamzah (80-159 H). 7). Al-Kisa’i(119-189 H).

Berdasarkan keterangan diatas bahwa sesungguhnya Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.

Soal :

3. Al-Qur’an turun secara bertahap dalam rentang waktu sekitar 22 tahun lebih. Bagaimana cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus itu ? Bagaimana peran pengetahuan asbab nuzul ? Bagaimana bunyi kaedah yang berlaku dalam konteks asbab nuzul ? Jelaskan kaidah tersebut. Bagaimana dengan ayat-ayat yang tidak ada riwayat asbab nuzulnya ?

Jawab :

Cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus adalah :

Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada manusia dengan wahyu yang di turunkan-Nya. Petunjuk Allah yang berlaku untuk semua manusia di semua tempat dan zaman itu, termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an yang terdiri atas ayat-ayat dan surat-surat itu, tidaklah diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Diantara hikmah diturunkannya secara bertahap ini, adalah agar manusia tidak terlalu sukar dalam memahami dan mengikuti kandungannya.

Memang, sesungguhnya dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur atau tidak sekaligus, sangatlah memudahkan bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya, sekalipun orang-orang yang buta hurufpun bisa memahaminya seperti orang-orang arab dulu. Maka, tak salah kiranya khalifah Umar bin Khattab pernah berkata “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam lima ayat-lima ayat. (HR. Baihaqi). Cara memahami Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus itu adalah yaitu dengan memahami asbab nuzul ayat, sesungguhnya ayat Al-Qur’an ada yang turun di Mekah disebut dengan ayat Makiyah dan ada ayat yang turun di Madinah kemudian disebut dengan ayat Madaniyah. Pengetahuan tentang asbab nuzul akan membantu memahami konteks diturunkannya sebuah ayat. Memahami Al-Qur’an dengan cara memahami maknanya kemudian langsung diprektekkan dalam sehari-hari tentunya lebih membekas dan berpengaruh pada setiap aspek kehidupan.

Adanya asbab nuzul bertujuan untuk menunjukkan dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Asbab nuzul merupakan respon terhadap realitas. Peran pengetahuan asbab nuzul terhadap ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya adalah memudahkan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan sebab kejadiannya, untuk membedakan antara ayat-ayat makiyah dan ayat-ayat madaniyah, kemudian untuk menghantarkan bacaan Al-Qur’an sehingga memberi pengaruh dan pelajaran bagi yang membacanya. Kaedah yang mendukung asbab nuzul tersebut adalah :

االعبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang artinya :

Yang menjadi Ibrah (pegangan) ialah keumuman lafal bukan kekhususan sebab.

Diantara argumennya adalah sebagai berikut :

  1. hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat dan sebab-sebab yang timbul hanya berfungsi sebagai penjelasan.

  2. pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum terkecuali ada qarinah.

  3. para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan masa berpegang pada teks ayatnya dan bukan pada sebab yang terjadi.

Kemudian, berkenaan dengan ayat yang tidak ada asbab nuzulnya adalah memang tidak semua ayat Al-Qur’an itu turun ada asbab nuzulnya atau ayat Al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya bahkan mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun tidak memiliki asbab nuzul. Hal ini bukanlah berarti ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak memiliki asbab nuzul tersebut tidak mutawatir, akan tetapi semua ayat-ayat Al-Qur’an itu turun dari sisi Allah swt yang juga merupakan kalam dan firman-Nya. Menurut sejarahnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun, ada yang tanpa didahului sebab dan ada yang didahului oleh sebab tertentu. Ayat yang turun yang didahului oleh sebab tertentu ada yang secara tegas tergambar sebab tersebut dalam ayat dan ada pula yang tidak dinyatakan secara jelas yang bersangkutan. Ayat Al-Qur’an yang secara tegas menyatakan sebab turunnya, antara lain tergambar dalam ayat yang memuat kata-kata يسالونك (mereka bertanya kepadamu) atau يستفتونك (mereka meminta fatwa kepadamu). Sedang ayat yang tidak memuat secara tegas sebab turunnya, dapat dipelajari melalui hadits-hadits Nabi.

Soal :


4. Jelaskan secara singkat perkembangan tafsir al-Qur’an ? Bagaimana penafsiran al-Qur’an itu berkembang, apakah perlu dikembangkan, apa alasan anda ?

Jawab :

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as. dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna.Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an.
Tafsir diawali sejak pada masa Rasullah saw ketika masih hidup. Ketika terjadi perbedaan atau silang pendapat dan pemahaman tentang makna sebuah ayat, maka hal itu langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an :

  1. Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara terperinci di ayat lain.

  2. Rasulullah saw, pada saat beliau masih hidup para sahabat bias langsung bertanya kepada beliau.

  3. Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri.

Dimulai dari masa Rasulullah saw kemudian perkembangan tafsir pada masa sahabat. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an adalah : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al-Hamdani. Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ra’y yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya.

Penafsiran Al-Qur’an tumbuh dan berkembang sejak ketika masa Rasulullah saw masih hidup, masa sahabat, masa tabi’in sampai sekarang ini. Banyak sekali buku-buku dan metode-metode tafsir yang bermunculan, yang tujuannya adalah memberi kemudahan bagi umat Islam agar bisa memahami ayat-ayat Al-Qur’an seutuhnya. Mengingat akan hal itu, kemudian tafsir perlu sekali untuk dikembangkan mengingat berkembangnya dan meluasnya ilmu pengetahuan dan wawasan manusia. Sehingga tidak mustahil akan bermunculan masalah-masalah baru yang membutuhkan pendekatan dengan pendekatan tafsir Al-Qur’an. Dan keadaan ini terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam disegala waktu dan tempat.





Soal :

  1. jelaskan metode penafsiran Al-Qur’an yang berkembang selama ini ! jelaskan kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Apa saran anda dalam hal ini ?

Jawab :

Metodologi penafsiran Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu : metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

1. Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringks sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah.

3. Metode Muqarin

Tafsir ini mengggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan.

4. Metode Maudlu’i

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik / judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar positif dan membangun di harapkan