Rabu, Mei 18, 2011

Perencanaan Sistem Pengajaran PAI

OUTLINE MATAKULIAH

SEMESTER GENAP TAHUN 2011

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK BANGKA BELITUNG

PENGANTAR

  1. Kode : PAI 03
  2. Komponen : MKB (Mata Kuliah Keahlian Berkarya)
  3. Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI
  4. Mata Kuliah : Perencanaan Sistem PAI
  5. Satuan Kredit Semester : 3 SKS
  6. Semester : IV A
  7. Jumlah Jam Kuliah Seminggu : 1 Kali
  8. Dosen : Subri, M.S.I
  9. Office : Jurusan Tarbiyah STAIN SAS Babel
  10. Hari/ Jam/Ruang : Senin/ 14.00-16.00 WIB/ N

  1. DESKRIPSI MATA KULIAH

Dalam suatu sistem pengajaran, perencanaan merupakan aspek penting bagi suksesnya proses pendidikan. Dalam hal ini, aspek perencanaan memiliki peran strategis bagi kesuksesan suatu proses pembelajaran. Dengan perencanaan yang baik, maka lebih memungkinkan untuk melaksanakan proses pengajaran pendidikan agama Islam dengan lebih baik pula.

Pada dasarnya, perencanaan merupakan proses penentuan tujuan yang akan dicapai dan menetapkan cara serta sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hakikat perencanaan pengajaran, sehingga mereka mampu dan terampil dalam merencanakan pengajaran.

Mata kuliah ini adalah mata kuliah kehalian berkarya (MKB) yang memberikan pengetahuan bagiamana mahasiswa mampu memahami konsep dasar perencanaan pengajaran pada umumnya, memahami pengertian, tujuan, fungsi, ruang lingkup, memahami perbedaan perencanaan pengajaran pada umumnya dengan perencanaan pengajaran dalam rangka implementasi KTSP, dan mahasiswa mampu menyusun perencanaan pengajaran yang berbasis kompetensi.

Mata kuliah ini sesungguhnya masih ada hubungan yang erat dengan mata kuliah-mata kuliah seperti mata kuliah pengelolaan pengajaran PAI, pengembangan kurikulum PAI, Telaah kurikulum PAI, dan PPLK I.

  1. STANDAR KOMPETENSI

Mahasiswa mampu memahami dan merencanakan konsep pembelajaran yang mencakup konsep dasar perencanaan pembelajaran pada umumnya dan perencanaan pembelajaran KTSP serta program pembelajaran dalam rangka implementasi program pembelajaran khususnya KTSP, pengertian, tujuan, fungsi dan ruang lingkup perencanaan pembelajaran, perbedaan perencanaan pembelajaran pada umumnya dan perencanaan pembelajaran dalam rangka implementasi KTSP, menyusun perencanaan program pembelajaran yang berbasis kompetensi.

  1. KOMPETENSI DASAR

  1. Memahami konsep dasar perencanaan pembelajaran pada umumnya dan perencanaan pembelajaran KTSP.
  2. Merencanakan program pembelajaran dalam rangka implementasi program pembelajaran khususnya KTSP.

  1. INDIKATOR HASIL BELAJAR

  1. Menjelaskan pengertian, tujuan, fungsi dan ruang lingkup perencanaan pembelajaran.
  2. Menjelaskan pengertian, tujuan, fungsi dan ruang lingkup desain pembelajaran KTSP.
  3. Mendeskripsikan perbedaan perencanaan pembelajaran KTSP dengan perencanaan pembelajaran pada kurikulum sebelumnya.
  4. Merumuskan standar kompetensi, kompetensi dasar dan hasil belajar.
  5. Merumuskan indikator hasil belajar dan materi pokoknya.
  6. Menyelaraskan antara kompetensi dasar, hasil belajar, indikator hasil belajar, materi pokok, strategi pembelajaran, media pembelajaran dan evaluasi hasil belajar dalam rangka implementasi KTSP.
  7. Merencanakan program pembelajaran dalam rangka implementasi KTSP.

  1. REFERENSI / BUKU TEKS

  1. Drs. Harjanto, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010.
  2. Drs. Darwyn Syah, M.Pd. dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
  3. Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2010
  4. Dr. Bermawy Munthe, MA, Kunci Praktis Desain Pembelajaran, Yogyakarta: CTSD
  5. Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
  6. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
  7. Prof. Dr. Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan Partisipatori Dengan Pendekatan Sistem, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
  8. Drs. M. Ngalim Purwanto, MP, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

  1. STRATEGI PEMBELAJARAN

Secara umum perkuliahan akan menggunakan strategi belajar akrif, dimana mahasiswa diperlukan sebagai subyek dengan sistem komunikasi yang dialogis dan mengutamakan latihan-latihan secara individual dan kelompok.

Setiap kali pertemuan diadakan penjajakan materi-materi yang diberikan dan memberikan kesempatan untuk tanya jawab, diskusi serta latihan pada akhir tatap muka. Secara terstruktur mahasiswa diberikan kesempatan untuk praktikum, baik ketika dalam perkuliahan maupun di rumah. Tugas-tugas terstruktur berlangsung secara kontinyu dan memberikan kontribusi dalam penilaian.

  1. RENCANA ALOKASI WAKTU PERKULIAHAN

No

Tanggal

Materi

Siapa

1

07 Maret 2011

Kontrak dan Pengantar Perencanaan Sistem PAI

Mhs / Dosen

2

14 Maret 2011

Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pengajaran

Ö

3

21 Maret 2011

- Masalah-Masalah Pokok dalam Perencanaan Pengajaran

- Langkah-langkah menyusun Perencanaan Pengajaran

Ö

4

28 Maret 2011

- Jenis/ Macam Perencanaan Pengajaran

- Model-Model Perencanan Pengajaran

Ö

5

04 April 2011

- Tinjauan umum tentang sistem

- Konsep Pendekatan Sistem dalam Pengajaran

- Sistem Pengajaran

Ö

6

11 April 2011

Perencanaan Tujuan, Materi, Sumber :

- Tujuan Pengajaran

- Materi Pengajaran

- Sumber Belajar

Ö

7

18 April 2011

UTS

Ö

8

25 April 2011

Perencanaan Bahan-Bahan Pengajaran :

- Aspek-aspek Materi

Ö

9

02 Mei 2011

- Kriteria-kriteria Pemilihan Materi Pelajaran

- Identifikasi Satuan Bahasan

Ö

10

09 Mei 2011

Perencanaan Evaluasi Pengajaran :

- Pengertian dan Fungsi Evaluasi Pengajaran

Ö

11

16 Mei 2011

- Alat Evaluasi Pengajaran

- Langkah-Langkah Menyusun Tes

Ö

12

23 Mei 2011

Keterampilan Dasar Mengajar :

- Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran

- Keterampilan Pengelolaan Kelas

- Keterampilan Bertanya

- Keterampilan Dasar Menjelaskan

Ö

13

30 Mei 2011

Penyusunan Satuan Pelajaran

- Kerangka satuan pelajaran

- Isi satuan pelajaran

Ö

14

06 Juni 2011

UAS

Ö

15

13 Juni 2011

16

20 Juni 2011

  1. EVALUASI PROSES DAN PRODUK BELAJAR

1. Keaktifan dalam kelas (kehadiran, Tanya jawab, diskusi) 10 %

2. Ujian Pertengahan Semester 20 %

3. Ujian Akhir Semester 30 %

4. Portofolio 40 %

Jumlah 100 %

  1. DESKRIPSI TUGAS-TUGAS

  1. Keaktifan Kelas : Diharapkan aktif terlibat memberikan kontribusi pemikiran baik berupa pertanyaan maupun komentar dalam suasana bebas resiko (free risk envorionment).
  2. Ujian Pertengahan Semester adalah ujian pertengahan pertama untuk materi yang hanya digunakan dari perkuliahan awal sampai akhir pertengahan semester.
  3. Ujian Akhir Semester adalah ujian akhir untuk materi pertengahan kedua perkuliahan.

Nikah Dulu Donk ... Baru Pacaran ... Lebih Asyik

Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian berkesanggupan (sudah mampu) maka hendaklah menikah. Karena sesungguhnya ia (menikah) dapat memejamkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka berpuasalah. Maka sesungguhnya puasa itu benteng baginya. [HR Bukhari dan Muslim]
Seorang kakak kelas saya waktu sekolah dulu, punya pacar yang kalo dari segi fisik cukup bagus. Mereka pasangan yang serasi banget. Ibarat panci dengan tutupnya. Klop. Maklum, yang cowok selain pandai di bidang akademik, ia juga terampil berorganisasi dan yang wanitanya cerdas. Dua sejoli ini setahu saya, cukup akrab dan akur. Sampe-sampe banyak teman yang meramalkan bahwa pasangan ini bakalan terus langgeng sampe ke pelaminan.
Ternyata, ramalan tinggal ramalan, mereka berpisah alias putus ketika sama-sama lulus sekolah dan masing-masing menikah dengan pasangan lain. Yah, kita emang nggak bisa meramal. Dukun sekali pun nggak bisa meramal, mereka cuma nebak. Buktinya, waktu zamannya judi nomer buntut (atau sekarang togel), banyak orang sampe bertanya ke dukun. Hmm... kalo dukun tersebut tahu nomor buntut, pasti bakalan masang sendiri, nggak bakal ngasih tahu. Tul nggak? Eh, kok jadi ngomongin dukun sih? Hehehe... iya saya cuma ingin membuat alur logika aja. Bahwa kita nggak bisa memprediksi. Intinya begitu. Jadi kalo pun sekarang semangat pacaran dengan tujuan ingin menikahinya, itu pun tetap masih gelap. Nah, pelajaran yang bisa diambil adalah kita harus pandai memilih jalur dan tentunya kudu akur bin klop dengan panduan hidup kita, yakni ajaran Islam. Setuju kan?
Ada juga sih memang, teman saya yang pacaran sejak bangku SMP sampe lulus SMU (karena kebetulan bareng terus dua sejoli itu), bahkan sampe masing-masing bekerja mereka tetap awet menjalin hubungan. Hingga akhirnya mengucap ijab-kabul di depan wali dan petugas pencatat pernikahan dari KUA. Mereka pasangan yang cukup bahagia. Model yang seperti ini juga nggak sedikit di lapangan. Mereka berhasil membina keluarga, yang saling dikenalnya sejak SMP melalui pacaran.
Tapi kenapa saya tetep ngotot ingin membahas masalah ini? Kenapa pula ingin mempersoalkan pacaran sebelum menikah? Ya, karena saya punya tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran. Memangnya pacaran sebelum menikah nggak benar? Memang pacaran nggak boleh? Memangnya kita bisa langsung menikah tanpa pacaran dulu? Memang lidah tak bertulang...(eh, malah nyanyi!).
Coba deh SMART!
Dalam ilmu manajemen dikenal istilah SMART. Apa tuh? Itu rumusan dari Specific, Measurable, Achievable, Reasonable, Time-phased. Walah, masa’ sih untuk menentukan apakah memilih pacaran atau menikah aja kudu pake istilah-istilah yang bikin ribet kayak gini?
Tenang sobat, saya mencoba mengenalkan rumusan ini karena menurut saya ini berlaku umum. Untuk tujuan apa saja. Tapi biasanya ini akan memberikan dampak yang cukup bagus untuk membuat komitmen bagi diri sendiri dan juga orang yang kita ajak membuat sebuah komitmen. Yuk, kita bahas satu per satu formula SMART ini.
Spesifik artinya tertentu atau khusus. Boleh dibilang tujuan kita harus tertentu, khusus, dan bila perlu jelas dan khas. Misalnya untuk apa kita pacaran? Tanamkan baik-baik pertanyaan itu dalam diri kamu. Sama seperti halnya untuk apa kita belajar. Tiap orang mestinya akan berbeda-beda menjawabnya karena sesuai tujuan. Ada yang pacaran mungkin sebatas ikutan tren, ada yang menjawab sekadar iseng, ada pula yang menjawab sebagai sarana mengenal pasangan yang akan dinikahi. Eh, saya kok malah ragu kalo pada usia yang masih ABG ini kita berkomitmen bahwa pacaran untuk mengenal pasangan yang akan dinikahi. Tul nggak? Menurut kamu gimana?
Jujur saja. Saya nggak nuduh, cuma saya sendiri sampe usia sekarang masih merasakan masa-masa ABG dulu, bahwa tuntutan untuk memiliki kekasih (pacar) lebih karena panas akibat dikomporin teman yang udah punya gandengan atau karena kebutuhan untuk berbagi rasa dengan lawan jenis. Tapi sejatinya, kalo ditanya tentang nikah, pasti bingung dan langsung kehilangan kata-kata. Bahkan nggak memikirkan sedikit pun, kecuali mungkin kalo yang ditanya udah dewasa ada yang langsung mantap menjawab sebagai upaya mengenal pasangan untuk menikah. Jadi intinya, kalo sekadar iseng percuma aja. Nggak punya tujuan yang jelas dan khas serta tertentu bisa berabe nantinya.
Nah, rumus yang kedua sebuah tujuan itu harus Measurable alias bisa terukur. Kalo tujuan belajar adalah untuk ibadah dan ingin mendapat wawasan, maka itu pun harus terukur. Misalnya, apa yang bisa didapatkan dari belajar. Kira-kira memuaskan nggak kalo sudah dapat sampe level tertentu yang sudah direncanakan. Ada tingkat keberhasilan yang bisa terukur. Begitu pun dengan membina hubungan seperti pacaran, bisa nggak terukur kegiatan itu. Jangan asal aja. Hubungan seperti apa yang bisa dijalin, dan tolong dinilai apakah dengan mengetahui karakter dia sudah dianggap terukur dari tujuan semula atau belum, apakah pertemuan dan kualitas curhat dianggap sebagai bentuk hasil hubungan yang bisa terukur untuk menentukan kelayakan hubungan tersebut bisa dilanjutkan atau tidak. Jadi, kalo cuma main-main dan sekadar iseng, enaknya lakukan kegiatan lain aja yang tak berisiko tinggi. Karena ujungnya mesti nggak bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga, soal Achievable alias dapat dicapai. Tentukan pencapaiannya. Misalnya, kalo belajar sekian minggu kita bisa apa. Kalo pacaran selama dua tahun sudah tahu apa aja dari pasangan kita. Masalah apa aja yang bisa diketahui dan kita kenal dari pasangan yang kita pacari. Tentukan target pencapaiannya. Nggak asal melakukan aja. Nah, kalo kira-kira proyek pacaran itu nggak bisa dicapai hasil-hasilnya, buat apa dilakukan. Betul ndak?
Terus tentang Reasonable itu bisa diartikan layak, pantas, dan masuk akal. Oke jika pacaran dianggap layak, pantas, dan masuk akal, tentu harus ada ukurannya dong. Apa yang membuat pacaran itu pantas, apa yang membuat pacaran itu masuk akal. Jika memang ada, coba tunjukkan kepada orang-orang. Soalnya, kalo pacaran itu dianggap sebuah proyek yang bisa memuluskan proses mengenal pasangan untuk dinikahi, maka harus jelas juga apakah ini termasuk proyek padat karya atau padat modal (idih, kayak usaha aja?). Iya, maksudnya kita kudu merinci dengan detail sebelum melakukan pacaran apakah masuk akal atau cuma proyek fiktif dan bahkan termasuk ekonomi berbiaya tinggi? Silakan dipikirin.
Nah, yang terakhir adalah Time-phased, ini artinya kita kudu menentukan tahapan-tahapan waktunya. Kapan memulai, kapan mencapai klimaks, dan kapan mengakhiri. Ini kudu jelas, bila perlu dibuat grafik supaya jelas tergambar semua urutan waktunya. Kayak kalo kerja di bidang penerbitan media massa, pasti ada urutan waktu: mulai dari rapat redaksi, membagi tugas kepada para reporter, para jabrik menulis hasil kerja koresponden dan reporter, editing oleh tim editor bahasa, kapan setting, tanggal berapa naik cetak, sampe hari apa harus edar ke pembaca. Semua urutan waktu itu punya makna.
Bagaimana dengan pacaran, mungkin bisa dirinci: pada usia berapa saya berani pacaran, kapan kenalannya, dengan siapa, orang yang kayak gimana, tujuannya apa, kapan bisa mengetahui isi hati dan perilakunya, kapan bisa mengenal keluarganya, tahun berapa punya modal, kapan serius memikirkan nikah, dan kapan waktu harus menikah. Semua itu harus jelas urutannya. Jangan sampe pas ditanya sama calon mertua, “Kapan bisa menikah dengan anak saya?”, kamu jawabnya, “Ya, sekarang mah mau main-main dulu aja, Pak. Saya juga masih kuliah. Belum kerja!” Waduh, belum siap kok nekat?
Main-main terus, atau mulai serius?
Oke deh, semoga kamu paham dengan paparan formula yang saya tulis. Ini sekadar ingin ngajak kamu merenung aja. Apakah selama ini apa yang kamu lakukan dengan memilih pacaran dulu sebelum merit menguntungkan atau tidak secara ekonomi, sosial, dan juga politik (eh, secara politis orang tua itu suka kepada anak-anak yang mandiri dan bertanggung jawab, kalo cuma iseng aja atau masih perlu milih-milih dan apalagi tanpa ikatan jelas dan kuat, maka bisa meruntuhkan keyakinan dan kepercayaan mereka kepada kita. Suer!).
Sobat muda muslim, kalo dalam proyek pacaran kamu nggak bisa mempertanggungjawabkan formula SMART ini, jangan harap bisa benar pacarannya. Ini baru dilihat dari sudut pandang manajemen lho. Belum hukum Islam. Karena kalo bicara hukum, meskipun terpenuhi unsur lain, misalnya sudah sesuai formula SMART, tapi dalam hubungannya melanggar batasan-batasan yang ditetapkan Islam, maka tetap tertolak dan diberi label dosa.
Gimana, masih tetep pengen pacaran dulu? Saran saya sih, jangan dikalahkan oleh nafsu, jangan rela akal sehat dijajah gerombolan setan yang menutup mata dan hati kita dari kebenaran. Oke deh, lanjutin ke bagian berikutnya. Insya Allah soal nyari pasangan yang pas dengan formula SMART dan sekaligus sesuai syariat akan kita bahas juga

Rabi’ah al-‘Adawiyah

(Wafat 801 M)
Perempuan sufi paling terkenal dalam sejarah Tasawuf yang juga dikenal sebagai Rabi’ah dari Bashrah. Kehadiran Rabi’ah dalam sejarah Tasawuf menggambarkan betapa isu jender tidak menjadi kendala dalam mencapai pengakuan superioritas spiritual. Sebagai seorang perempuan yang pernah mengalami status budak, yang memiliki kedekatan dengan Allah atas dasar cinta, Rabi’ah sering dipersamakan dengan istri Nabi Ibrahim dan ibu Nabi Isma’il, Hajar. Dalam kepasrahannya kepada Allah ditengah-tengah sahara Makkah, Allah berdialog dengan perempuan bernama Hajar, lalu menganugerahinya Sumur Zam-Zam.
Rabi’ah dikenal sebagai pencetus konsep jalinan cinta mendalam antara manusia dengan Allah. Sejarah yang selalu melekat pada pribadi Rabi’ah adalah ketika dirinya berkeliling kota Basra sambil membawa obor di genggaman tangan kirinya dan gayung air di tangan kanannya, menjawab pertanyaan yang membuat orang terheran-heran. Rabi’ah berkata,” Untuk membakar surga dan memadamkan neraka; hal ini saya lakukan untuk mengetahui secara jelas siapa yang menyembah Allah karena takut dari api neraka atau mengharap surga.” Dengan kata-kata ini, Rabi’ah ingin menyadarkan manusia bahwa seseorang menyembah Allah harus karena kesadaran yang dilandasi cinta kepada-Nya. Bagi Rabi’ah, hatinya telah terisi penuh dengan kecintaan kepada Allah sehingga tak ada tempat tersisa untuk kecintaan selain-Nya, walau terhadap Nabi Muhammada sekalipun.
Rabi’ah dapat dikatakan sufi pertama yang berbicara tentang kecemburuan Tuhan, yakni bahwa cinta tidak boleh tertuju selain-Nya. Konsep cinta yang mendalam kepada Allah, menurut Rabi’ah, sebagai manifestasi dari jalinan al-Qur’an (QS. 5: 54). Dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa jalinan cinta bermula dari Allah kepada hamba-Nya, baru kemudian dari hamba-Nya kepada Allah. Tidak dapat disangkal, Rabi’ah telah meletakkan dasar-dasar konsep cinta sejati kepada Allah, yang lantas menjadi inspirasi bagi para sufi sepanjang masa. Untuk itu, Rabi’ah senantiasa dikenang sebagi seorang panutan dan model serta sosok seorang hamba yang mencintai Allah tanpa pamrih apapun.


Disadur dari buku :
Membedah Islam di Barat
Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman
Alwi Shihab
PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2004
Halaman 264-265

Selasa, Mei 10, 2011

TAUHID SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM

(Pendidikan Tauhid perspektif Syaikh Abdurrahman Siddik)

A. Pendahuluan

Aktivitas kependidikan Islam pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab setiap orang Islam dan untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal adalah tangung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Islam dengan ajaran tauhidnya sebagai paradigma pendidikan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya yang mendasari konsep pendidikan.

Negara kita Indonesia dewasa ini, sistem pendidikan yang diterapkan pada mayoritas sekolah adalah merupakan bentuk adopsi sistemik dari sistem pendidikan Barat “sekuler”. Padahal sistem pendidikan tersebut dalam beberapa hal, karakter paradigma sekuler yang menjadi dasar sistem pendidikan di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai bangsa sebagai bangsa yang religius. Alternatif paradigma Islami merupakan suatu pilihan yang bijak dalam rangka mendasari paradigma pendidikan dengan dasar-dasar nilai tauhid. Syafi’i Ma’arif mengatakan,”Kegiatan pendidikan di bumi haruslah berorientasi ke langit, suatu orientasi transendental, agar kegiatan itu punya makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu.[1]

Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa, “kita harus menumbuhkan iman dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana, kemudian berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan, itu berarti iman menuntut perjuangan terus-menerus tanpa berhenti”.[2] Diskursus mengenai iman adalah erat kaitannya dengan keteguhan tauhid yang merupakan pondasi atau asas tunggal pertama yang harus bersemayam dalam qolbu orang yang beriman dan harus dikembangkan dan ditingkatkan. Diantara cara pengembangan dan peningkatan iman tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dengan menawarkan dan membangun kembali konsep tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah sebagai landasan pendidikan Islam.

Tauhid uluhiyah bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah lah yang patut disembah, jangan menyembah kepada selain-Nya (syirik). Aktualisasi dari pandangan ini dalam proses pendidikan lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk answering questions (mencari jawaban terhadap pertanyaan atau permasalahan), questioning answers (mempertanyakan jawaban-jawaban), dan questioning questions (senantiasa mempertanyakan atau mencari permasalahan). Tanpa dibebani oleh rasa takut kepada guru untuk bertanya atau menjawab pertanyaan secara kritis dan mempertanyakan pertanyaan, serta tidak terbelenggu oleh produk-produk pemikiran atau temuan manusia yang bersifat relatif. Dengan demikian, proses pendidikan akan menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional kritis, kreatif, mandiri, bebas dan terbuka.

Tauhid rububiyah bertolak dari pandangan dasar bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur dan memelihara alam seisinya. Alam ini diserahkan oleh Allah kepada manusia (sebagai khalifah) untuk mengolahnya, sehingga kita harus menggali dan menemukan ayat-ayat-Nya (tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya) yang serba teratur dan terpelihara di alam semesta ini. Aktualisasi dari pandangan ini dalam proses pendidikan lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen di laboratorium dan sebagainya. Dengan demikian, proses pendidikan akan menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional empirik, obyektif empirik dan obyektif matematis.

Tauhid mulkiyah bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah lah pemilik segalanya dan yang menguasai segalanya, pemilik dan penguasa manusia serta alam semesta, dan penguasa di hari kemudian. Aktualisasi pandangan ini dalam proses pendidikan adalah terwujudnya kesadaran akan penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai amanah dan tanggung jawab antara guru dan peserta didik dalam segala aktivitasnya, dengan dilandasi oleh wawasan “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’in” (sesungguhnya kita adalah milik Allah, manusia hanyalah mempunyai hak pakai, dan pemilik yang sesungguhnya hanyalah Allah, sehingga kita mesti mempertangggungjawabkan segala aktivitas kita dihadapan-Nya). Dengan demikian, proses pendidikan akan menghasilkan nilai-nilai amanah dan tanggung jawab.

Dan tauhid rahmaniyah bertolak dari pandangan dasar bahwa Allah maha Rahman dan Rahim, maha pengampun, pemaaf dan sebagainya. Aktualisasi dari pandangan ini dalam proses pendidikan adalah terwujudnya sikap telaten dan sabar dalam usaha pendidikan, serta terwujudnya sikap kasih sayang, toleran dan saling menghargai antara guru dan peserta didik dan antara peserta didik itu sendiri dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Di samping itu, dalam proses pendidikan ditanamkan sifat dan sikap solidaritas terhadap sesama dan solidaritas terhadap alam. Dengan demikian akan menghasilkan sikap solidaritas kemanusiaan dan terhadap alam sekitar.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengembangan konsep tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah sebagai paradigma tauhid dalam pendidikan Islam dapat menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa; 1) sikap rasional kritis, kreatif, mandiri, bebas dan terbuka; 2) sikap rasional empirik, obyektif empirik dan obyektif matematis; 3) nilai-nilai amanah dan tanggung jawab individu dan sosial; dan 4) sikap telaten dan sabar, sikap toleran, serta solidaritas kemanusiaan dan solidaritas terhadap alam sekitar.

Sedangkan Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, dan moral sesuai kemampuan dan martabat manusia. Para pelaku pendidikan semestinya juga bisa menjadikan pendidikan tauhid sebagai dasar untuk menjalankan setiap ragam kurikulum pendidikan. Pendidikan tauhid, haruslah menyentuh unsur kognisi (pengetahuan) yang menjadikan anak didik menjadi haqqul yaqin tentang kesempurnaan dan keesaan Allah swt. Selain itu, pendidikan tauhid juga seharusnya menyentuh aspek afeksi (sikap), dengan aspek ini akan timbul pada diri anak didik sikap percaya diri, berani, rendah hati serta sosial. Dengan lebih menekankan pada sektor ini, sehingga setiap anak didik dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat dan memiliki nilai bagi peningkatan diri lebih dari itu adalah eksistensi dan konsistensi pengabdiannya kepada Allah swt.

Demikian urgennya aspek pendidikan tauhid dalam membentuk pribadi dan sikap, dan dengan berdasarkan karya-karya tulis yang dihasilkannya, maka adalah Syaikh Abdurrahman Siddik tampak memberikan porsi dan perhatian yang sangat besar sekali dalam bidang tauhid (teologi) yang merupakan aspek esensial dan fundamental dalam ajaran Islam. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa karyanya, dia menulis tidak kurang dari delapan belas kitab yang mencakup beragam ilmu agama Islam. Tetapi dari sekian banyak kitabnya adalah paling banyak yang ia tulis tentang masalah teologi atau tauhid. Seperti yang diungkapkan oleh Nazir bahwa teologi adalah bidang yang paling banyak ditulis oleh Syaikh Abdurrahman Siddik; Bidang ini tampaknya merupakan bidang keahliannya. ia lebih senang menyebut ilmu ini dengan ilmu Ushuluddin. Ia memliki pandangan yang positif dan memberi apresiasi yang tinggi terhadap ilmu yang juga sering disebut dengan ilmu kalam, ilmu tauhid atau teologi ini.[3]

Pada sisi tauhid atau aqaid al-iman ini Syaikh Abdurrahman Siddik menyebutkan bahwa, “wajib pada hukum syarak atas tiap-tiap mukallaf bahwa mengenal ia akan barang yang wajib dan barang yang mustahil dan barang yang harus pada hak Allah ta’ala”.[4] Dalam hal ini, kemudian Syaikh Abdurrahman Siddik lebih menekankan dan sangat tendensius, karena sebagai seorang mukallaf harus mengetahui apa-apa yang menjadi hak-hak Allah dan apa yang menjadi kewajibannya terhadap hak-hak tersebut. Hak Allah atas makhluknya adalah mengesakan, menyembah dan mengabdi kepada-Nya dan tidak menyekutukan selain-Nya, sesuatu yang tergambar dalam manifestasi dari kalimat “La ilaha illallah”. Maka, untuk mengetahui aspek-aspek tesebut haruslah melalui pendidikan dan pembelajaran, dengan tujuan untuk mendapatkan pencerahan dan pengetahuan lebih mendalam tentang hakikat yang sebenarnya.

Pada kenyataan inilah, maka Syaikh Abdurrahman Siddik banyak menulis tentang tauhid dalam beberapa karyanya. Karena sesungguhnya dengan tauhid, menurutnya keyakinan dan kepercayaan manusia akan lebih mantap dan meningkat untuk mengakui bahwa Allah adalah yang satu yang hak untuk disembah, sehingga dengan keyakinan yang kuat ini akan kemaha kuasaan dan keesaan Allah, manusia bisa selamat bahagia di dunia dan di akherat. Terkait dengan hal ini seperti yang di tulisnya dalam sya’ir.

Firman Allah dengar olehmu

Siapa tak ridho akan qodho’ Ku

Tiada syukur akan nikmat Ku

Tiada sabar akan bala Ku

Larilah jangan dibawah langit Ku

Carilah Tuhan lain pada Ku

Ayuhai saudara pikir olehmu

Tuhan kita hanyalah satu.[5]

Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan Nusantara pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, Syaikh Abdurrahman Siddik bin Muhammad Afif bin Mahmud Jamaluddin al-Banjari[6], lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1284 H., atau 1857 M ikut berpartisipasi dalam wacana intelektual dan keagamaan dalam jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Dari berbagai aspek, ia adalah pelanjut tradisi intelektual dan keagamaan ulama-ulama Nusantara yang menetap dan mengajar di Timur Tengah seperti Nawawi al- Bantani dan Mahfuz al-Tirmasi. Dari segi kualitas keulamaan, posisinya sebanding dengan ulama-ulama tersebut. Ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa ia sempat mengajar di Masjid al-Haram, Mekah selama lebih kurang satu tahun. Berbeda dengan mereka, dia kembali ke tanah airnya untuk berdakwah dan melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran, khususnya di daerah pedesaan yang sangat membutuhkan kehadiran seorang tokoh agama.

Meskipun dia adalah seorang ulama kelahiran Kalimantan, namun debut keulamaannya berawal dan berkembang ketika beliau menetap di pulau Bangka. Dikatakan bahwa Syaikh Abdurrahman Siddik sangat memperhatikan dakwah Islamiyah ke daerah-daerah pedalaman yang masih minim pengetahuan agamanya dan sangat mengharapkan bimbingan dan pendidikan Islam. Dalam masyarakat Bangka ketika itu masih berkembang praktek-praktek yang tidak sejalan dengan ajaran Islam sehingga barangkali inilah yang menjadi salah satu alasan bagi Syaikh Abdurrahman Siddik untuk melaksanakan dakwah di pulau tersebut.[7]

Tidak kurang dari dua belas tahun Syaikh Abdurrahman Siddik bermukim di pulau ini dan giat menjalankan kegiatan dakwah dan pendidikan Islam. Kemudian pada fase berikutnya, kegiatan keulamaannya berpusat di Sapat, Indragiri Riau, setelah berhijrah dari Pulau Bangka. Penekanan utama dakwahnya adalah pada pemurnian aqidah Islam atau tauhid, karena Islam sebagaimana diketahui adalah merupakan agama (al-Diin), dengan sistemnya yang utuh, mengandung konsep yang menyeluruh (the total concept)[8] untuk mengarahkan keyakinan, iman serta perilaku manusia penganutnya untuk memenuhi hakikat dan tujuan hidupnya, yaitu mengabdikan diri kepada Allah SWT semata. Prinsip pengabdian kepada Allah semata itu, secara mendasar lahir dari ajaran yang sangat esensial dan fundamental sifatnya dalam Islam, yaitu ajaran tauhid. Suatu monotheisme murni yang ketat dan tidak kenal kompromi.[9]

Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya adalah berupa dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam. Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam itu sendiri yang mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya. Konsep tauhid yang pertama kali diajarkannya ketika itu kepada masyarakat adalah sangat tepat sekali, mengingat pada masa itu berkembang praktek-praktek takhayul dan syirik yang bertentangan dengan ketauhidan.[10] Melalui dakwah pendidikan tersebut Syaikh Abdurrahman Siddik bermaksud menyadarkan masyarakat tentang pentingnya jalan bertauhid kepada Allah. Meskipun harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dari berbagai pihak termasuk dari guru-guru ilmu kebathinan, Syaikh tetap giat menjalankan dakwahnya.[11]

B. Konsepsi Tauhid Syaikh Abdurrahman Siddik.

Dalam kitabnya Risalah fi Aqa’id al-Iman, Syaikh Abdurrahman Siddik menyatakan bahwa, “mengenali dan mempelajari aqa’id al-iman itu merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang bersifat individual (fardhu ‘ain) bagi setiap mukallaf”.[12] Hal ini mengindikasikan bahwa Syaikh sangat memberikan prioritas lebih terhadap kajian tauhid dan agar mempelajarinya. Karena pondasi utama dalam beragama adalah menyatakan dan mengenali konsepsi tauhid secara utuh. Oleh karena itu, Syaikh meneruskan penjelasannya bahwa bagi orang Islam, baligh, ‘akil dan sampai akan dia seruan Rasul, selamat hawas wajib atasnya untuk mengetahui yang wajib dari pada-Nya dan mustahil serta barang yang harus pada hak Allah. Juga wajib bagi mereka untuk mengetahui barang yang wajib, mustahil dan barang yang harus pada hak para pesuruh-Nya.

Konsepsi tauhid yang demikian mengarahkan pada dua pokok utama yang harus diyakini dan di formulasikan dalam bentuk kepercayaan sepenuhnya serta diaplikasikan dalam bentuk realitas perbuatan. Pertama adalah mempercayai dan meyakini bahwa wajib bagi seorang Islam (muslim) untuk mengakui bahwa Allah adalah maha esa yang hanya Dialah yang berhak untuk disembah dan yang memiliki sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya. Kedua adalah mempercayai dan meyakini bahwa Allah mempunyai Nabi dan Rasul sebagai utusan-Nya. Rasul sebagai pembawa risalah-Nya kepada umat manusia sehingga tidak ada alasan bagi seluruh umat yang telah sampai risalah-Nya untuk tidak menyembah dan mengabdi kepada-Nya.

Kedua pondasi pokok utama tersebut diatas terformulasi dalam sebuah kalimat La Ilaha illa Allah dan Muhammad Rasul Allah atau disebut dengan dua kalimah Syahadat. Esensi dari kalimat ini menurut Syaikh, yang pertama adalah “memberi faedah ia akan ikror dengan menafikan uluhiyyah daripada yang lain-Nya dan menyatakan uluhiyyah bagi-Nya dan hakekat Tuhan itu yang disembah dengan sebenarnya, maka lazim daripada-Nya bahwasanya Ia yang kaya daripada tiap-tiap barang yang lainnya dan yang berkehendak kepada-Nya oleh tiap-tiap barang yang lainnya”.[13] Yang kedua adalah “memberi faedah ia akan ikror dengan risalah Nabi Muhammad saw dan lazim dari padanya membenarkan tiap-tiap barang yang didatangkan dengan dia dan masuk padanya wajib, amanah, tabligh, fathonah sekalian pesuruh Allah Ta’ala dan musatahil bagi mereka itu kizb, khianah, kitman, baladah.[14]

Sehingga kemudian dalam perjalanan hidupnya seorang muslim secara kontinuiti diharapkan tetap berpegang teguh kepada kalimat tersebut sampai akhir kehidupan di dunia ini. Untuk tetap eksis dan kemudian dapat mengakhiri hidup di dunia ini dengan kalimat tersebut tentunya tergantung kepada kadar keimanan masing-masing. Iman dalam konteks ini adalah alat ukur bagi seorang muslim ataupun mukmin agar bisa mengakhiri hidupnya tetap dalam kalimat syahadat tersebut, sehingga tauhid adalah erat kaitannya dengan masalah iman. Maka tidak berlebihan kemudian Syaikh menyebutkan bahwa iman adalah inti ushuluddin yang berupa pengejewantahan dari syari’at. Dengan demikian iman sekaligus merupakan benang merah yang amat menentukan identitas dan intensitas keberagamaan individu. Demikianlah pesan yang dapat ditangkap dari ungkapannya yang menegaskan bahwa setiap mukallaf berkewajiban secara individual mengenal akan aqa’id al-iman.

Disini dengan jelas, bahwa Syaikh Abdurrahman Siddik ingin mengukuhkan pendapat yang menekankan pentingnya setiap orang memiliki nilai iman yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan keagamaannya sebagai seorang muslim. Dan ini sekaligus pula berarti iman, dalam pandangan Syaikh sangat penting dan strategis kedudukannya dalam sistem ajaran Islam.

Dengan merujuk kepada karya-karya teologinya, Syaikh nampaknya sengaja membangun konsepsinya mengenai iman dengan cara mempertimbangkan kemampuan akal manusia. Syaikh melihat kemampuan akal manusia berbeda-beda. Ada manusia yang mempunyai daya nalar tinggi dan ada pula manusia yang memiliki daya intelektual rendah dan bahkan lemah. Berdasarkan hal itu, ia membagi kelompok manusia kepada ahl al-nazhr (orang-orang yang mempunyai tingkat intelektual tinggi dan matang) dan golongan awam (orang-orang yang memiliki tingkat inteketual rendah dan lemah).[15]

Menyadari kenyataan tersebut, maka Syaikh Abdurrahman Siddik berpretensi mengetengahkan konsep iman yang menurutnya dapat meliputi kepentingan golongan khawas dan golongan awam. Yakni dengan mengajukan batas iman dalam bentuk yang ideal di satu pihak dan dalam bentuk tradisional di pihak lain. Meskipun demikian, nampaknya Syaikh sangat menekankan iman dalam batasan yang disebutkan pertama, yaitu iman dalam arti ma’rifat. Artinya bahwa iman haruslah melalui capaian penalaran dengan menggunakan argumen-argumen rasional dan revelasional. Hal ini tercermin dari makna ma’rifat yang di suguhkannya. Ma’rifat menurutnya adalah keputusan yang mantap, bersesuaian bagi yang haq (kebenaran) melalui pembuktian dengan menggunakan argumen atau dalil. Artinya, iman yang hakiki atau ideal haruslah berupa pengetahuan dan pengenalan yang sungguh-sungguh terhadap apa yang diyakini, tanpa ada sedikitpun dimasuki oleh unsur keraguan. Dalam pengertian kategori inilah kemudian Syaikh menekankan bahwa iman pada standar pertama dapat mendorong pemiliknya untuk melakukan amal sholih. Berbuat kebaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, “khoiru al-nasi anfa’uhum li an-nasi”.

Dalam kitab at-Tazkirah li Nafsi wa li al-Qashirin Mitsly Syaikh Abdurahman Siddik menyebutkan tauhidullah artinya adalah mengesakan Allah Ta’ala pada af’al dan pada asma’ dan pada sifat dan pada dzat, firman Allah swt Ta’ala فل هو الله احد artinya katakanlah olehmu hai Muhammad, Allah Ta’ala jua Tuhan yang esa dan jangan syirik jaly dan syirik khofy karena firman Allah Ta’ala ان الله لا يغفر ان يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء artinya bahwasanya Allah Ta’ala tiada mengampuni Ia akan barang yang lainnya daripada yang demikian itu bagi mereka yang dikehendakinya. Maka wajib atas kita menuntut ilmu tasawuf hingga paham maksudnya sampai sempurna mengamalkan dengan ikhlas.[16]

Melihat pernyataan diatas bahwa yang dimaksud oleh Syaikh Abdurrahman Siddik mengenai tauhid adalah mengesakan Allah tidaklah hanya sebatas percaya bahwa Allah adalah esa, yang satu yang memiliki qudrah/ kemampuan dan iradah/ kemauan tetapi lebih dari itu adalah esa pada asma’, esa pada sifat, esa pada dzat dan esa pada af’al, disebutkan bahwa tauhid adalah :

وَاًمَ التوْحِيد : انَ الله تعَاليَ وَاحِد في ذاتهِ لا قسِيمَ لَه. وَوَاحِد في صِفاته الاًزِلية لا نظيرَله. وَوَاحِد في اًفعَالِهِ لا شرِيْكَ له

Artinya : Adapun tauhid itu ialah bahwa Allah itu esa dalam Dzat-Nya, tidak terbagi-bagi. Esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada tara bandingan bagi-Nya dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Lebih dari itu Syaikh menyebutkan bahwa bertauhid juga tidak sekali-kali melakukan perbuatan menduakan Allah (syirik) baik jaly (terang-terangan) maupun khofy (yang tersembunyi), karena Allah tidak mengampuni dosa tersebut dan mengampuni dosa selainnya itupun bagi siapa yang Ia kehendaki. Sehingga Syaikh menuturkan lebih lanjut, agar terhindar dari perbuatan tersebut dan terus mendapat ampunan dari-Nya, maka wajib untuk menuntut ilmu tasawuf sebagai jalan taqarrub (pendekatan) diri kepada Allah dan sebagai sarana untuk sempurnanya dengan selalu ikhlas dalam menjalankan segala perintah-Nya.

Bertauhid dengan jalan pendekatan tasawuf, Syaikh Abdurrahman Siddik mengemukakan bahwa ajaran tauhid hendaknya dipahami dalam konteks tasawuf akhlaqi dan amali sehingga dalam menghayati tingkatan-tingakatan tauhid, seseorang tetap konsisten menempuh maqam-maqam akhlak tasawuf yang terpuji dan tetap mengutamakan pengamalan syari’at. Tingkatan-tingkatan tauhid yang dipahami menurut Syaikh yaitu konsep wahdaniyat af’al, wahdaniyat asma’, wahdaniyat shifat, dan wahdaniyat dzat. Kemudian dalam kitab Amal Ma’rifat nampaknya Syaikh Abdurrahman Siddik menjelaskan bahwa konsep tauhid menurutnya lebih menekankan kepada aspek akhlaqi atau amali dan paling jauh hanya sampai kepada wahdat al-syuhud tidak sampai kepada wahdat al-wujud.[17]

Berdasarkan pernyataan tersebut, nampaknya Syaikh mendukung pendapat Muhammad Yusuf al-Maqassari, seorang ulama asal Sulawesi Selatan yang menolak konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud atau monisme ontologis) dan al-hulul (inkarnasi ilahi). Menurut pendapatnya, Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun (laysa ka mitslihi syay’i), sebaliknya ia hanya mengambil konsep wahdat al-syuhud (keesaan kesadaran atau monisme fenomenologis).[18] Penolakan tersebut seiring dengan penolakan terhadap doktrin kontroversial wahdat al-wujud ‘Ibn ‘Arabi dan doktrin al-hulul Manshur al-Hallaj, tetapi Syaikh mendukung doktrin wahdat al-syuhud yang dikembangkan oleh Ahmad al-Sirhindi dan Syah Wali Allah.

Meskipun Syaikh menegaskan agar mempelajari tasawuf, namun hendaknya sebelum mempelajarinya Syaikh menekankan agar tetap memperhatikan syari’at (hukum syar’i). hukum syar’i adalah kalam Allah yang berhubungan dengan perbuatan setiap individu sebagai taklif (tugas keagamaan) yang berlaku bagi semua muslim. Hukum syar’i ini meliputi wajib (seperti sholat, puasa, zakat dan haji), sunat, haram, makruh dan mubah. Dan untuk mengetahui serta benar dalam melakukannya tentulah melalui pengajaran dan pendidikan. Pendidikan keimanan atau tauhid, sesungguhnya sangat urgen dan menempati posisi yang sangat sentral untuk membentuk kepribadian yang luhur Islami dan memiliki akhlak yang terpuji. Orang yang bertauhid dan memiliki iman yang kuat sudah barang tentu membutuhkan riyadhah atau latihan agar dalam kehidupannya selalu diwarnai dengan akhlak terpuji dan perbuatan yang baik. Riyadhah atau latihan tersebut adalah dengan jalan bertasawuf mendekatkan diri kepada Allah swt.

Sifat-sifat diatas dapat dicapai adalah hanya dengan jalan tasawuf atau sufi, al-Qur’an mengatakan kepada kita bahwa Tuhan adalah maha Pengasih, Adil, Pengampun, Baik Hati, Sabar, Pemaaf dan lain-lain, yang semua sifat itu tepat sekali dijadikan standar bagi sifat manusia yang harus dijelmakan dalam rangka meraih kesempurnaan moral dan spiritual.[19] Oleh karena itu, Syaikh menunjuk jalan sufi/ tasawuf sebagai “mengandaikan diri dengan ciri sifat Tuhan” (at-takhaluq bi akhlaq Allah) dan ia menandai sifat dasar karakter-karakter tersebut dengan nama-nama Tuhan.

Ajaran tauhid Syaikh Abdurrahman Siddik pada setiap karyanya lebih menekankan kepada aspek tasawuf dengan esensi ma’rifat/ma’rifah kepada-Nya. Syaikh berpotensi untuk mengukuhkan pendapat bahwa daya intuitif seorang sufi yang khalish dapat sampai kepada ma’rifat/ma’rifah (mengenal hakikat yang sebenarnya) secara fundamental kelihatannya ingin mendukung metode agnostisme[20] mengenai sifat Tuhan yang mutlak dan hakiki, dengan menyatakan bahwa, “Allah dapat dikenal sejauh Dia menganugerahkan ma’rifat/ma’rifah sufistik kepada manusia.” Dengan ini capaian tasawuf dapat memberi makna kepada keyakinan (aqidah) yang dihasilkan oleh ilmu tauhid. Tetapi kemudian sekali lagi Syaikh menegaskan bahwa sebelum menuntut dan memasuki dunia tasawuf, terlebih dahulu harus mengenal dan menguasai ilmu ushuluddin, sehubungan dengan ini dalam sya’irnya Syaikh berucap :

Jikalau menuntut ilmu sufi

Tuntutlah dahulu ilmu ushuli

Karena tasawuf rahasianya tinggi

Mengajinya haruslah hati-hati.”[21]

Disini terlihat bahwa meskipun Syaikh menyarankan dan menyuruh untuk menuntut dan mempelajari tasawuf, namun Syaikh sekali lagi mengingatkan untuk tidak meninggalkan hukum syar’i atau ushuli sebagai pondasi dan pijakan bagi para sufi agar tidak melampaui batas dalam beribadah kepada Allah swt. Puncak dari tasawuf adalah ma’rifat, Syaikh memberi makna tentang ma’rifat yakni, “bahwa adapun ma’rifat artinya pengenalan yang sempurna kepada Allah Ta’ala yaitu ta’alluq ia pada sirr hati artinya mengenal wahdaniyat Allah Ta’ala pada af’al dan pada asma’ dan pada shifat dan pada dzat dengan i’tiqad yang yakin sekira-kira tetap pada i’tiqadnya bahwa tiada yang memperbuat sekalian ka’inat melainkan Allah Ta’ala dan tiada yang bernama di dalam ka’inat hanya Allah Ta’ala dan tiada yang bersifat hanya Allah Ta’ala dan tiada yang maujud di dalam ka’inat ini hanya Allah Ta’ala.”[22]

Kata marifat (ma’rifah) merupakan derivasi kata “arafa” yang berarti bau wangi, dan jika berbentuk “ma’rifat / irfan” berarti mengetahui sesuatu dengan melalui proses dan perenungan terhadap hasil yang diperolehnya. Kata ini lebih khusus dari kata ilmu, dimana kata ilmu diantitesakan dengan kata “jahl” (bodoh) maka kata “ma’rifah / irfan” dipertentangkan dengan kata “nukran” (ingkar). Firman Allah’ “Mereka mengetahui ni’mat Allah, kemudiaan mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”[23]

Seorang dikatakan ya’rifu Allah (mengetahui Allah) dan tidak dikatakan ya’lamu Allah. Karena jangkauan pengetahuan manusia tentang Allah tidak langsung kepada dzat-Nya, tetapi melalui hasil perenungan. Sebaliknya Allah menggunakan ungkapan Allah ya’lamu kadza (Allah mengetahui ini), dan tidak menggunakan ungkapan Allah ya’rifu kadza, karena ma’rifat/ma’rifah hanya digunakan dalam konteks pengetahuan yang berdimensi terbatas dan melaui proses berfikir.

Ibnu Manzhur mengartikan kata ma’rifah dengan “ilmu dan orang yang dikatakan arif adalah orang yang mengetahui sesuatu yang tidak diingkari oleh orang lain meskipun mengetahuinya hanya sekali.”[24] Maka jika orang mengatakan “araftu” artinya adalah “saya telah mengetahui” atau “saya telah menebak bau yang menjadi tandanya”. Firman Allah, “Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya.”[25]

Di samping itu, predikat “arif” hanyalah digunakan untuk orang yang mempunyai ma’rifat kepada Allah dan kekuasaan-Nya serta orang yang luhur tingkah lakunya baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia. Sedangkan kata “ta’arruf” yang terdapat dalam QS. Al-Hujurat : 13, adalah konsekwensi jauh dari kata ma’rifah, bahwa orang yang arif bukan hanya dianjurkan mengenali identitas, tetapi setelah kenal harus mempersembahkan kebajikan yang ada pada dirinya kepada kenalan yang membutuhkan.”[26]

Jadi, ajaran tauhid Syaikh Abdurrahman Siddik adalah lebih menekankan pada aspek pengenalan akan Allah swt dengan pengenalan yang sempurna yang disertai dengan i’tiqad atau kepercayaan yang utuh bahwa hanya Allah lah yang ahad dan wahid di dalam af’al, asma, shifat dan dzat-Nya. Dan untuk memperoleh keyakinan serta kepercayaan (ma’rifat) yang utuh tersebut adalah dengan jalan sufi atau tasawuf dengan tetap berpijak dan tidak meninggalkan aspek syari’at agar tidak jatuh dan melampaui batas dalam beribadah dan sebagai jalan taqarrub / pendekatan diri kepada Allah dan sebagai sarana untuk sempurnanya dengan selalu ikhlas dalam menjalankan segala perintah-Nya.

C. Tauhid Sebagai Pendidikan Islam

Dalam pandangan Islam, ajaran tauhid atau aqidah (selanjutnya disebut tauhid) ditempatkan sebagai inti dari ajaran Islam. Dalam sejarah pemikiran Islam, ajaran tauhid tersusun dalam ilmu tauhid yang juga dikenal dengan ilmu ushuluddin atau ilmu tentang pokok-pokok ajaran Islam. Ilmu tauhid inilah yang kemudian diletakkan sebagai bidang studi utama pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam.

Pembelajaran bidang studi tauhid adalah dasar bagi pembelajaran semua bidang studi, baik bidang studi yang pada umumnya dimasukkan ke dalam ilmu agama Islam atau Islamic studies, ataupun bidang studi ilmu-ilmu umum. Tolak ukur keberhasilan bidang studi agama Islam tidak hanya dilihat dari hasil evaluasi ranah kognisi, melainkan seharusnya juga dilihat dari hasil evaluasi ranah afeksi dan psikomotor atau prilaku peserta didik. Hal ini berarti bahwa keberhasilan pembelajaran bidang studi tauhid menentukan keberhasilan pembelajaran semua bidang studi.

Karena itu, pembelajaran bidang studi tauhid dapat dijadikan dasar analisa untuk melihat kemungkinan tumbuhnya keyakinan tentang balasan Tuhan terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh peserta didik. Sehingga kemudian, Pembelajaran tauhid dengan demikian bukanlah sekadar mengetahui rukun iman, nama dan sifat-sifat Tuhan, tetapi bagaimana pembelajaran bidang studi tauhid memberi peluang tumbuhnya kesadaran tentang nilai-nilai ketuhanan atas setiap perilaku peserta didik.

Menjadikan tauhid sebagai pola atau konsep pendidikan dan pembelajaran, sesungguhnya yang dikehendaki adalah agar para peserta didik dapat memperoleh pengetahuan spiritual. Yang dimaksud dengan pengetahuan spiritual adalah pengetahuan mengenai tatanan spiritual. Esensi pengetahuan spiritual adalah pengetahuan tentang dunia ruh. Dalam Islam, pengetahuan ini merujuk pada pengetahuan tentang Yang Esa, tentang Tuhan dan keesaan-Nya. Patut diulangi bahwa prinsip keesaan Ilahi (at-tawhid) merupakan pesan sentral Islam. Dalam klasifikasi pengetahuan Islam sepanjang sejarah, pengetahuan tentang tauhid senantiasa merupakan bentuk pengetahuan tertinggi serta tujuan puncak semua upaya intelektual.[27]

Sisi tauhid inilah kemudian harus dijadikan parameter esensi pendidikan dan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Tauhid sebagai jalan dan pedoman agar format pendidikan dan pembelajaran dapat lebih terarah dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan dan agar peserta didik dapat melakukan serta bertingkah laku yang positif berdasarkan konsep tauhid. Pedidikan yang berbasis kekuatan pengetahuan spiritual akan memberi warna tersendiri bagi pengetahuan dan pengamalan peserta didik. Sehingga upaya menjadikan pendidikan tauhid sebagai paradigma bagi pendidikan Islam adalah satu hal yang patut untuk diwujudkan, karena pendidikan tauhid adalah sarana untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman dan kekuatan mental spiritual yang utuh.

Berdasarkan realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan, maka seharusnyalah kemudian konsep tauhid dijadikan sebagai dasar bagi pendidikan. Konsep ketuhanan (tauhid) dalam pendidikan yang dimaksud adalah suatu upaya yang keras dan sungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah swt, dan melenyapkan segala sifat, af’al, asma’ dan dzat yang negatif dengan yang positif (fana’ fillah) serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang (baqa’ billah).[28]

Rasulullah saw bersabda :

األمَحَبَة أسَاسُ المَعْرِفَةِ وَ العِفةِ عَلامَة ُاليَقيْن

Artinya : “Mencintai Allah swt dengan melaksanakan ibadah itu pondasi ma’rifah dan ketelitian daripada yang haram itu tandanya orang itu yakin.”[29]

وَرَأ سُ اليَقِيْنِ التقوَي وَ الرِضَي بتقدِيرِ اللهِ

Artinya : “Dan modal yakin takwa kepada Allah serta gembira hati menerima apa saja yang telah ditakdirkan Allah atas dirinya baik manis maupun pahit dengan gembira dengan hukum-hukum Tuhan.”[30]

Dalam konteks tauhid sebagai paradigma pendidikan Islam, pendidikan yang dimaksud adalah agar manusia (peserta didik) dapat memfungsikan instrumen-instrumen yang dipinjamkan Allah kepadanya seperti akal pikiran dapat menjadi brilian dalam memecahkan rahasia ciptaan-Nya, hati mampu menampilkan hakikat dari rahasia itu dan fisikpun menjadi indah penampilannya dengan menampakkan hak-hak-Nya. Oleh karena itu, dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia yang hamba, bukan manusia yang hewani. Timbul rasa saling mengasihi, tolong-menolong, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia-manusia dzalim, kemudian dapat berlaku sederhana (zuhud) dan hati-hati (wara’), dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, dalam kondisi bagaimanapun juga, hendaknya tauhid tetap dijadikan sebagai landasan bagi proses panjang dari sebuah pendidikan, agar makhluk yang bernama manusia tidak hanya memiliki bekal pendidikan yang menciptakan kebahagiaan duniawi saja, akan tetapi lebih jauh orientasinya adalah pendidikan yang menciptakan dan membawa kebahagiaan bagi para pelaku pendidikan baik di dunia maupun di kehidupan akherat selanjutnya.

Dalam konteks pendidikan, nampaknya Syaikh lebih menekankan pada penanaman aspek ketauhidan atau ranah keimanan dan ketauhidan dalam sistem teologis yang diyakini oleh Syaikh adalah syahadat yaitu mengakui akan keesaan Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya serta mengikuti semua yang dikhabarkan oleh Muhammad melalui wahyu termasuk ibadah dan ritualnya. Karena pada tataran implementasinya, ada hubungan kausalitas antara manusia sebagai pelaku dalam pendidikan dengan Tuhan sebagai sumber pendidikan (ilmu pengetahuan) yang terminal atau destinasi akhirnya adalah kebahagiaan duniawiyah dan ukhrowiyah.

Orientasi kebahagiaan ukhrowiyah inilah kemudian, peran pendidikan dalam menciptakan dan menjadikan peserta didik untuk melakukan kebaikan karena seorang muslim percaya bahwa ganjaran yang baik adalah kebaikan dan sebaliknya ganjaran perilaku jahat adalah berupa kejahatan. Jadi peran pendidikan tidak hanya proses transformasi ilmu duniawi saja akan tetapi pendidikan haruslah berlandaskan tauhid karena kehidupan ini tidaklah berakhir di dunia saja lebih jauh ada kehidupan yang lebih kekal abadi, sehingga dunia adalah tempat untuk mencari bekal bagi kehidupan akherat. Ungkapan tersebut diatas, dilukiskan Syaikh melalui untain bait sya’irnya :

Dengar olehmu sekalian umat

Akan sabda Nabi Muhammad

Siapa mengerjakan baik dan jahat

Sekalian dibalas hari kiamat

“Hai sekalian orang yang berakal

Tuntutlah ilmu kerjakan amal

Di akherat sungguh dikatakan kekal

Di dunia juga mencari bekal.[31]

D. Dasar/Asas Pendidikan Tauhid Syaikh Abdurrahman Siddik.

Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Syaikh Abdurrahman Siddik dasar pendidikan tauhid adalah :

a) Syari’at

Syaikh Abdurrahman Siddik tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at merupakan penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia untuk bersikap melaksanakan perintah Allah (amrun) dan menjauhkan larangan-Nya (nahyun) dan lainnya, menciptakan manusia menjadi taqwa dan iman kepada Allah serta menyerahkan diri hanyalah kepada Allah semata.[32] Dengan demikian syari’at agama landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, prinsip syari’at harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.

b) Ibadah (ta’abbud)

Ibadah dalam Islam tumbuh dari naluri dan fitrah manusia itu sendiri. Kecenderungan untuk hidup teratur tercermin dalam ibadah shalat. Bahkan Syaikh Abdurrahman Siddik sangat memperhatikan sekali mengenai ibadah yang satu ini. Dalam Syai’rnya ia berujar :

“Ayuhai sekalian orang budiman

Nasehatku ini engkau dengarkan

Sembahyang lima waktu engkau kerjakan

Tersebut di dalam bayan al-Arkan.”

“Pekerjaan kita Allah melihat

Dunia dijadikan tempat ibadah

Kerjakan olehmu Fardhu dan Sunnah

Boleh di kubur mendapat rahmat.”[33]

Ibadah ini merupakan wasilah yang dapat menyatukan dan menghubungkan antar individu dengan sesama dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya.[34] Dalam kerangka ibadah inilah, Syaikh menyandarkan asas konsep pendidikan tauhidnya. Konsekwensi dari tauhid adalah mengikhlaskan dan menyandarkan serta menisbahkannya segala perbuatan hanyalah semata-mata untuk ibadah kepada Allah termasuk dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Jika proses pendidikan didasari dengan niat ibadah, maka tidak hanya sekedar ilmu pengetahuan an sich yang diperoleh namun lebih dari itu adalah orientasi pahala dan kebahagiaan serta ridho Tuhan yang di harapkan. Karena menarik kesimpulan dari ba’it sya’ir Syaikh tersebut diatas, semua perbuatan dan tindakan sesungguhnya Allah maha melihat sehingga jika kesemuanya itu disandarkan hanyalah kepada-Nya, maka bentuk apapun pekerjaan kita menjadi ibadah dan memiliki nilai di mata Allah swt. Oleh karenanya terkait dengan hal inilah, Syaikh menjadikan ibadah (ta’abbud) sebagai dasar dan asas bagi bangunan konsep pendidikan tauhid.

c) Rasional (logic)

“Jika ada akal pikirnya

Ahl Nazhar itu namanya

Durhaka bila ia meninggalkannya

Juga tiada selamat baginya.”[35]

Melihat dari salah satu gubahan sya’irnya tersebut diatas, Syaikh Abdurrahman Siddik menggambarkan bahwa betapa tingginya pengakuan Syaikh ini terhadap pentingnya akal bagi manusia. Akal menurutnya, sebagaimana yang dapat ditangkap dari pernyataan dari bait sya’irnya di atas, merupakan daya untuk berfikir bagi manusia dalam rangka mencari kebenaran yang kemudian menjadi pengetahuannya. Itulah sebabnya Syaikh menjuluki orang yang mempunyai kemampuan berfikir sebagai ahl an-nazhar. Ia menghargai ahl an-nazhar karena orang yang seperti ini dipandangnya sebagai orang yang mengerahkan daya intelektualnya untuk mencapai kebenaran, dengan demikian ia telah membangun jembatan bagi keselamatan hidupnya. Sebaliknya, Syaikh menganggap suatu kemunduran apabila seseorang tidak memfungsikan akalnya sebagai daya untuk berfikir rasional.

Dalam konteks inilah kemudian Syaikh menjadikan berfikir rasional (logic) sebagai dasar dan asas bagi bangunan konsep pendidikan tauhidnya. Karena apabila akal potensial berfungsi sebagai daya untuk berfikir rasional dalam diri seseorang, maka akal itu membawa derajat manusia menjadi tinggi dan mulia disisi Tuhan.

E. Penutup

Konsep pendidikan tauhid yang di formulasikan oleh Syaikh Abdurrahman Siddik sebagaimana telah dideskripsikan adalah menjadikan tauhid sebagai dasar dan landasan bagi pendidikan. Proses pendidikan dan pembelajaran yang sedang dilakukan dewasa ini dilihat dari esensi dan substansinya belum dikatakan lebih menyentuh kepada aspek tauhid. Oleh karenanya jika konsepsi tauhid diletakkan sebagai dasar bagi proses perjalanan pendidikan dan pembelajaran sangatlah tepat. Pengenalan pengetahuan atau dalam bahasa tasawuf disebut dengan ma’rifat dan kesaksian serta pengakuan akan keesaan Tuhan atau dalam bahasa tauhid disebut dengan syahadat seharusnya menjadi azas bagi proses pendidikan, bahwa peserta didik dibawa kepada pengenalan yang mendalam tentang aspek ketuhanan sehingga tumbuh benih-benih keyakinan akan pengakuan tentang keesaan dan kebesaran Tuhan. Hal ini tentunya membawa peserta didik suatu ketika dalam berbuat dan melakukan segala perbuatan merasakan adanya pengawasan Tuhan, sehingga yang terjadi adalah sikap hati-hati dan selalu ingin melakukan kebaikan dan kemaslahatan dalam setiap tindakan.

Selanjutnya bila ditarik pada konteks pendidikan Indonesia dewasa ini, maka konsepsi pendidikan tauhid yang ditawarkan oleh Syaikh Abdurrahman Siddik tentunya sangat relevan dijadikan sebagai asas dan pondasi bagi bangunan pendidikan, apalagi mengingat kondisi zaman semakin menjurus kepada kehidupan materialistis. Sehingga sisi-sisi ketuhanan lambat laun mulai terkikis oleh kedahsyatan pengaruh modernisasi dan pola hidup materialistis. Sebab realitas yang ada sekarang ini adalah setiap lembaga pendidikan terus mengacu pada pencitraan dan penciptaan mental job skill bagi peserta didik, dimana out put dari proses pendidikan adalah lebih mengedepankan pada kondisi supaya siap pakai dan siap untuk bekerja, tanpa memperhatikan sisi-sisi tauhid yang seharusnya mendominasi dari kegiatan proses pembelajaran dan pendidikan tersebut.

Tidak berlebihan kemudian jika tauhid dijadikan pijakan bagi berdirinya bangunan pendidikan, karena dengan tauhid sebagai pondasi dan basic sekaligus benteng pertahanan bagi peserta didik sehingga tetap mengakar dan berbekas meskipun dalam kondisi, masa atau dimanapun berada. Hal ini sebagaimana terlihat dari formulasi tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 02 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[36] Walhasil, untuk mewujudkan manusia seutuhnya, seyogyanya pendidikan tidak hanya terfokus perhatiannya pada pencapaian ilmu pengetahuan an sich dan pada fisik material saja, tetapi moral spiritual transendental merupakan aspek yang menjadi niscaya.

Dengan merujuk kepada konsep tauhid yang ditawarkan oleh Syaikh Abdurrahman Siddik, bahwa tauhid harus dijadikan parameter baku bagi proses pendidikan. Syaikh memformulasikan konsep tauhid dalam pendidikan dengan mengedepankan aspek ma’rifat dari tasawuf sufistik dengan tidak meninggalkan aspek syari’at dalam menjalankan ritual ibadah wajib dan ibadah-ibadah sunnah lainnnya yang rasional empiris. Rasional empiris ialah sesuai dengan ajaran dan pengalaman Nabi Muhammad saw yang berdasarkan dari al-Qur’an dan al-hadits. Sehingga kemudian proses pendidikan dan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik bersumber dari ajaran yang baku yang memiliki nilai-nilai ibadah untuk kebahagiaan hidup tidaklah hanya di dunia saja tetapi lebih jauh adalah untuk kebahagiaan di kehidupan selanjutnya yaitu akherat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syafei. 1982. Riwayat Hidup Dan Perjuangan Syekh HA. Rahman Shiddik Mufti Inderagiri. Jakarta: CV. Serajaya.

Abi al-Fadhal Jamaluddin Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Imma al-Alamah. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-Shadr, tt., Juz IX.

Al-Maqassari, Al-Nafhat al-Saylaniyyah, Naskah Arab, 101, 38-9. dikutip dari buku Azyumardi Azra. 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Prenada Media.

Bakar, Osman. 2008. Tauhid & Sains Perspektif Islam tentang Agama & Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

C. Chittick, William. 2001. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Surabaya: Risalah Gusti.

Fazlurrahman, 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, penj. Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan

Gibb, H.A.R. 1932. “a complee system of religion” lihat, Wither Islam. London: Victor Gollanez Ltd.

Harmi, Zulkifli. 2006. Transliterasi dan Kandungan Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim Syaikh Abdurrahman Siddik, Sungailiat: Shiddiq Press

Hamdani B. Dz, M. 2001. Pendidikan Ketuhanan dalam Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Ma’arif. A. Syafi’i, 1993 Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,

Madjid, Nurcholis. 2004. Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Penerbit Paramadina.

Nazir Karim, Muhammad. 1992. Sisi Kalam dalam Pemikiran Islam Syeikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari. Pekan Baru: Susqa Press.

___________. 1992. Dialektika Teologi Islam Analisis Pemikiran Kalam Syekh Abdurrahman Siddik Al-Banjari. Bandung: Penerbit Nuansa.

Rais, Amien. 1998. Tauhid Sosial Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Penerbit Mizan.

Siddik, Abdurrahman. 1927. Risalah Fathu al-‘Alim fi Tatib al-Ta’lim, Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1347 H/ 1927.

___________.1344 H. Sya’ir Ibarah dan Khabar Qiyamah. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah.

___________.1356. Syajarat al-Arsyadiyat wa ma Ulhiqa biha. Singapura: Mathba’ah al-Ahmadiyyah.

___________.1354 H. At-Tazkirah li Nafsi wa li Amtsali. Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah.

___________. 1936. Aqa’id al-Iman. Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah.

___________. 1929. Risalah Amal Ma’rifah. Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah.

Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan, Meretas Filsafat Pendidikan Islam.Yogyakarta: Genta Press.

Undang-Undang RI. 1989. No. 12 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu.



[1] A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 151

[2] Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004), hal. 7.

[3] Muhammad Nazir, Sisi Kalam dalam Pemikiran Islam Syeikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari, (Pekan Baru: Susqa Press, 1992), hlm. 86

[4] Abdurrahman Siddik, Risalah Fathu al-‘Alim fi Tatib al-Ta’lim, (Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1347 H/ 1927), hal. 6

[5] Abdurrahman Siddik, Sya’ir Ibarah dan Khabar Qiyamah, (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1344 H), hal. 39.

[6] Lihat Abdurrahman Siddik, Syajarat al-Arsyadiyat wa ma Ulhiqa biha, (Singapura: Mathba’ah al-Ahmadiyyah, 1356), hal. 92.

[7] Zulkifli Harmi., dkk, Transliterasi dan Kandungan Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim Syaikh Abdurrahman Siddik, (Shiddiq Press, 2006), hal. 16.

[8] Artinya, Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik untuk keperluan hidupya di dunia maupun untuk kepentingannya di akherat kelak, yang oleh H.A.R. Gibb disebutnya sebagai “a complee system of religion” lihat H.A.R. Gibb, Wither Islam, (London: Victor Gollanez Ltd., 1932), hal. 12.

[9] Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam Analisis Pemikiran Kalam Syekh Abdurrahman Siddik Al-Banjari, (Bandung: Penerbit Nuansa, 1992), hal. 1

[10] Zulkifli Harmi dkk., Ibid., hal. 18

[11] Syafei Abdullah, Riwayat Hidup Dan Perjuangan Syekh HA. Rahman Shiddik Mufti Inderagiri, (Jakarta: CV. Serajaya, 1982) hal. 23

[12] Abdurrahman Siddik, Aqa’id al-Iman, (Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1936), hal. 2

[13] Ibid., hal. 28

[14] Ibid.

[15] Abdurrahman Siddik, Sya’ir…, hal. 26

[16] Abdurrahman Siddik, At-Tazkirah li Nafsi wa li Amtsali, (Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1354 H), hal. 65.

[17] Syaikh Abdurrahman Siddik, Ama Ma’rifah, (Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1929), hal. 35-48.

[18] Al-Maqassari, Al-Nafhat al-Saylaniyyah, Naskah Arab, 101, 38-9. dikutip dari buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Edisi Revisi, hal. 290.

[19] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hal. 40.

[20] Agnostisme adalah sikap atau paham agnostis yaitu suatu anggapan adalah mustahil untuk membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan.

[21] Abdurrahman Siddik, Sya’ir., hal. 29.

[22] Abdurrahman Siddik, Amal…, hal. 8

[23] QS. An-Nahl : 83

[24] Imam al-Alamah Abi al-Fadhal Jamaluddin Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadr, tt), Juz IX, hal. 238.

[25] QS. Al-Baqarah : 89.

[26] Ibid., Juz IX, hal. 243.

[27] Osman Bakar, Tauhid & Sains Perspektif Islam tentang Agama & Sains, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), hal. 148

[28] M. Hamdani B. Dz, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal. x

[29] Abdurrahman Siddik, Risalah Amal., hal. 9

[30] Ibid.,

[31] Abdurrahman Siddik, Sya’ir…, hal. 3

[32] Abdurrhaman Siddik, Amal…, hal. 7.

[33] Lihat Syair…, hal 7

[34] Lihat QS. Al-Anfal : 63.

[35] Lihat Sya’ir…, hal. 2.

[36] Undang-Undang RI No. 12 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), hal. 4.