PENDIDIKAN YANG HUMANIS DAN RELIGIUS
PENDAHULUAN
Dinamika tujuan dunia pendidikan, seharusnya tidak menekankan dan mengedepankan hanya pada aspek kognitif saja, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana pendidikan itu diberikan lebih menyentuh dan memperhatikan pada aspek humanis dan religius yang di realisasikan pada sikap yang baik (afektif) dan hubungan sesama manusia lainnya. Dalam tatanan persepktif Islam, menurut Arifin, “pendidikan bermaksud membentuk manusia yang perilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah, yaitu manusia yang dapat “merealisasikan idealitas Islami”, menghambakan sepenuhnya kepada Allah.”1
Oleh karenanya, pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.2 Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.3 Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpotensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.4 Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).5
Lebih lanjut menurut John Dewey, tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends. Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends. Means adalah tujuan “antara” sedangkan ends adalah tujuan “akhir”. Dengan dua kategori ini, tujuan pendidikan harus memiliki tiga kriteria, yaitu : (1) tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi yang sudah ada; (2) tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan keadaan; dan (3) tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas.6 Pada akhirnya setiap tujuan mengandung nilai, yang dirumuskan melalui observasi, pilihan dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke waktu.
Sementara itu, Mahmud Al-Sayyid Sulthan dalam Mafahim Tarbiyah fi al-Islam menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah haruslah memenuhi beberapa karakteristik seperti kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, aktual, ideal dan mencakup jangkauan untuk masa yang panjang.7 Dengan karakteristik ini, tujuan pendidikan harus mencakup aspek kognitif (fikriyyah ma’rofiyyah), afektif (Khuluqiyyah), psikomotor (jihadiyyah), spiritual (ruhiyyah), dan sosial kemasyarakatan (ijtima’iyyah).8
Dengan demikian “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
PENGERTIAN : PENDIDIKAN, HUMANIS DAN RELIGIUS
Untuk memeperjelas makna pendidikan, humanis dan religius yang sebenarnya ketiga terma tersebut saling berhubungan erat dalam konteks pendidikan Islam, maka berikut defenisi dari ketiga terma tersebut diatas :
PENDIDIKAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.9
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.10 Kemudian dilihat dari kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak. Ia harus dipancing dan digali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Jadi pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar ia dapat di nikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.11
Istilah education, dalam Bahasa Inggris yang berasal dari Bahasa Latin educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi disini ada tiga hal yang terlibat : ilmu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk ke kepala.12
Dalam Islam, istilah “pendidikan” sering diterjemahkan dengan kata tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tahdzib (pengarahan) dan lain-lain.13 Jadi beberapa pengertian dari pendidikan tersebut dapat disimpulkan, menurut Ahmad Tafsir bahwa defenisi pendidikan secara luas yaitu; “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek jasmani, akal dan hati.”14 Diamana peserta didik bukan hanya sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Definisi inilah yang dikenal dengan tarbiyah.15
HUMANIS
Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan “humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.”16
Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh Corliss Lamont dalam bukunya Philosophy of Humanism, ia mengatakan; humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.17
Sedangkan humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qurt`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.18 Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang
kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.
Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.19 Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.20 Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.21 Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.
Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.
RELIGIUS
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara), Thn. 1987
Hasan, Karnadi. “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, (IAIN Walisongo Semarang), Thn. 2000
Freire, Paulo. dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), (Kanisius), Thn. 2001
Malik Fadjar, Malik. dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), Thn. 2004
Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media), Thn. 1992
Dewey, John. Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company), Thn. 1964
Sulthan, Al-Sayyid Mahmud. Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif), Thn. 1981
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru), Thn 2003
Suyudi, H.M. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj), Thn. 2005
Abd al-Baqi, Fuad, Muhammad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr), Thn. 1997 M/141 H
lamont, Corliss. The Philosophy of Humanism, Thn. 1977
Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.
1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 119
2 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.
3 Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.
4 Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v
5 Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.
6 John Dewey, Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company, 1964), hlm 105-106. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1916, yang kemudian mengalami revisi tahun 1944
7 Mahmud Al-Sayyid Sulthan, Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1981),hlm.104-105
8 Ibid,, hlm. 91-103.
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 232
10 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 1
11 Ibid,. hlm.2
12 Ibid,.
13 H.M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005), hlm. 15
Dari term-term tersebut, Al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta’lim, dan tazkiyah sebagai istilah yang mengacu pada term “pendidikan”
14 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan…..hlm 26
15 Kata “tarbiyah” secara bahasa berarti; pengatur, tuan, penguasa, pengampu dan pelindung. Arti tersebut menunjukkan sikap pengampu, sehingga Tuhan desebut Robbun karena kekuasaan dan pengampunannya kepada makluk. Dalam pendidikan istilah tersebut identik untuk konteks anak yang belum dewasa. Lihat Al-Raghib,….hlm. 189
16 Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing
17 Corliss lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hlm. 116
18 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/141 H) hlm. 152-153
19 Ibid., hlm. 895-899
20 Ibid., hlm. 32
21 Ibid., hlm. 119-120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar positif dan membangun di harapkan