Jumat, November 28, 2008

ISLAM DI ASIA

Sejarah Dinasti Mongol – Islam
Book Review

Judul Buku : Islam Di Asia Tengah (Sejarah Dinasti Mongol – Islam)
Penulis : Dr. M. Abdul Karim, M.A.,M.A.
Pengantar I : Prof. Dr. H. J. Suyuthi Pulungan, M.A.
Pengantar II : Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, M.A.
Pengantar III : Prof. Dr. H. Anhar Gonggong, M.A.
Penerbit : Bagaskara, Yogyakarta
Cetakan : First Edition, 2006
Tebal Buku : 140 Halaman

Perkembangan sejarah Islam di belahan bumi mongol dan pada Dinasti mongol patut memang untuk di acungkan jempol bagi seluruh umat Islam di belahan dunia lain. Berangkat dari propaganda dan perjuangan keras yang di pelopori oleh tiga Dinasti keturunan Chengis Khan yakni Cagthai, Golden Horde dan Ilkhan. Mereka berhasil membangun peradaban yang luar biasa, dengan spirit Islam. Memang dengan tidak mengenyampingkan fakta sejarah, mereka adalah keturunan yang bukan Islam, yang terkenal dengan kebengisan dan kebiadaban yang di lakukan oleh garis keturunan mereka sebelumnya. Namun, disisi lain fakta sejarah mengungkapkan bahwa pada masa mereka inilah bahwa Islam bisa bangkit dan berkembang. Peradaban Islam Mongol, tidak kalah pentingnya dengan peradaban Islam di Asia Barat, Eropa Barat Daya (Andalusia), Afrika Utara, bahkan di anak benua India sekalipun. Mereka berhasil menggoreskan hasil peradaban dalam bidang ketatanegaraan, militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk juga seni arsitektur yang bernilai tinggi. Daerah kekuasaan selama kepemimpinan Mongol Islam dalam tiga Dinasti ini, juga melebihi luas kekuasaan Dinasti Islam yang pernah ada sebelumnya.
Pasca jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M. adalah bukti dari kuat dan jitunya strategi politik mereka, sehingga Baghdad yang ketika itu adalah pusat kajian ilmu bagi umat Islam bisa di kuasai dan tunduk di hadapan tentara Mongol. Maka ketika kemudian Islam sudah menghampiri mereka pada tiga Dinasti Islam di Mongol yang berada Persia (Ilkhan), di Rusia (Golden Horde) dan di Asia Tengah (Cagthai), adalah awal mula dari kemunculan Islam pada Bangsa Mongol dan kemudian tercatat sebagai sejarah baru peradaban Islam pada Bangsa ini.
Sejarah awal mula berdirinya Dinasti Mongol di mulai dari kepemimpinan Kabul Khan yang bergelar Khakan, adalah kakek dari Chengis Khan. Sedangkan ayah dari Chengis Khan adalah Ishujayi (Ishugayi) dan ibunya, Helena Khatun. Pada masa kekuasaan Ishujayi, tiga belas suku di Mongol adalah merupakan daerah-daeraah yang di pimpin oleh ayah Chengis Khan, dengan kemampuan dan kemahiran Ishujayi daerah-daerah tersebut bisa di orgainsir dengan baik sehingga ke tiga belas suku tersebut tunduk dan patuh di bawah kekuasan ayah Chengis Khan. Kemudian pada tahun 1162 M, lahirlah seorang putra dari Ishujayi, yang kelak akan menggemparkan dunia dan bangsa Mongol, putra dari Ishujayi dan cucu dari Kabul Khan adalah Temujin / Temucin (artinya besi / baja yang kuat) yang pada akhirnya bergelar Chengis Khan.
Saat ayahnya terbunuh Temucin berusia 13 tahun, pada usia muda belia inilah Temucin memimpin tentara Mongol untuk menggantikan posisi ayahnya. Pada awal mula masa kepemimpinannya, bangsa Mongol dalam keadaan sulit, dikarenakan mereka enggan untuk tunduk dan mengakui kepemimpinan Temucin. Namun, hal itu dapat diatasi oleh Temucin dengan berani dan bijak berkat didikan yang tangguh dari ayahnya Ishujayi dan ibunya Helena. Sehingga mulai sejak saat itu daerah kekuasaannya semakin bertambah dan meluas hampir di seluruh belahan benua Asia. Kemudian pada tahun1227 M Chengis meninggal dunia dan kemudian setelah meninggalnya perluasan wilayah Mongol tetap berlanjut yang diteruskan oleh keempat anaknya, Chengispun membagi wilayah kekuasaannya kepada empat orang putra keturunannya yaitu ; Jisi/ Jochi/Juzi/Joshi, Chaghtai, Oghtai, dan Toluy/Touli. Tercatat bahwa dalam sejarah Mongol, pada masa Oghthai yang diangkat sebagai Khan Agung adalah dinilai sebagai periode yang membawa masa kejayaan Mongol.

A.DINASTI CHAGTHAI (1227-1359 M)
Permulaan Islam memerintah pada masa Dinasti ini adalah diawali oleh periode anak keturunan dari Kara dengan Orghana. Semenjak Kara meninggal dunia dan kemudian langsung puncak kepemimpinan turun kepada istrinya, sebagai ibu Negara, ia meneruskan tampuk pimpinan dan ia sangat memperhatikan sekali kepada orang-orang Islam. Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Orghana telah memeluk agama Islam. Setelah Orghana, maka kekuasaan diteruskan oleh anaknya, Mubarak Shah sebagai penguasa (1266), ia tercatat sebagai muslim pertama yang memerintah pada Dinasti ini. Mubarak Shah adalah merupakan penguasa pertama dari bangsa Mongol yang memakai nama Islam (menggunakan bahasa Arab).
Secara singkat, tampuk kepemimpinan yang di kuasai oleh pemimpin Islam yang dimulai dari Mubarak Shah kemudian terus bergantian oleh beberapa penguasa silih berganti berebut kekuasaan sehingga sampai kepada periode kepemimpinan Timur. Timurlah kemudian di pandang sebagai yang mempertahankan, memajukan dan menerapkan syariat Islam dikalangan Chaghtai Islam. Timur yang kemudian nantinya mendapat julukan Timur Lang (lame : pincang), sebutan ini karena ia terkena sebuah anak panah yang menembus kaki dan tangannya sehingga membuat ia pincang. Sehingga sejak itulah ia bergelar dengan Timur Lang. Dalam sejarah Islam Chagthai, Timur Lang tercatat sebagai sebagai seorang komandan yang jitu dan handal, sangat dipuji oleh berbagai kalangan. Akhir dari kekuasaan Timur adalah semenjak ia wafat (18-02-1406) dalam perjalanan untuk menyerang China.
Setelah wafatnya Timur Lang, maka kepemimpinan silih berganti di pegang oleh anak keturunannya sehingga sampai yang terakhir dari Dinasti Timur Lang yang berkuasa adalah Baykara, cucu dari Shahrukh. Pada periode ini charisma kerajaan bisa muncul kembali, sehingga banyak bermunculan para tokoh, ilmuwan, penyair, pelukis, dan budayawan. Selama 37 tahun dengan wafatnya Baykara (1506 M), maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Timuriah.

B.GOLDEN HORDE (1256-1391 M)
Dalam sejarah Mongol Dinasti ini tercatat sebagai penguasa terlama yang berkuasa dan dan membawa kejayaan dalam peradaban di Asia dan di Eropa. Setelah berakhirnya Dinasti Chaghtai, maka kemudian kekuasaan di Dinasti Mongol dilanjutkan oleh periode Dinasti Golden Horde. Penulis memulai periode kepemimpinan pada Dinasti ini adalah dari masa kepemimpinan Batu, anak dari mendiang Jochi. Batulah yang mendirikan Dinasti Kipcak yang selanjutnya melahirkan Golden Horde.
Setelah kepemimpinan batu (1256), kepemimpinan selanjutnya di teruskan oleh putranya Sartak, namun dalam perjalanan ia meninggal, maka saudaranya Berke / Baraka (1256-1267 M), menjadi penggantinya. Maka pada masa Berke inilah pemimpin Islam pada periode Dinasti Golden Horde secara terang-terangan memeluk agama Islam, sehingga banyak diikuti oleh para pengikutnya. Pada masa Berke inilah secara resmi undang-undang Yassa secara resmi dihapus dan diganti dengan Syari’at Islam dan dia dikenal dengan pelindung Islam. Sepeninggalnya Berke (1266), berturut-turut terjadi pergantian kepeimimpinan tetapi tidak ada yang istimewa dan tercatat dalam beberapa sumber pemimpin yang sehebat Berke.
Dan pada periode akhir dari kekuasaan Golden Horde ini, saat perang dunia II (1944) tentara Uni Soviet mengalahkan pasukan Hitler. Sebelumnya mereka mendukung Jerman, akibatnya bangsa muslim Tartar menerima tekanan yang lebih berat dari Uni Soviet. Setelah perang dingin usai daerah Cremia menjadi bagian dari Negara Ukraina. Dengan demikian berakhirlah sejarah bangsa muslim Tartar tersebut.

C.DINASTI ILKHAN (1256-1335 M)
Ketiga Dinasti besar yang tercatat dalam sejarah kekuasaan Islam Mongol yaitu, Chagthai, Golden Horde dan Ilkhan. Namun dari ketiga Dinasti ini, masa Ilkhanlah yang paling maju dalam membangun peradaban Islam dan juga merupakan Dinasti yang paling maju dalam sejarah bangsa Mongol Islam. Pada masa Ghazan Khan dalam usia 24 tahun naik tahta, pada periodenya tercatat sebagai era baru dalam sejarah Dinasti Ilkhan. Pada masa Ghazan motif-motif dan gaya Mongol telah berubah secara signifikan. Namun demikian kebijakan-kebijakan yang diterapkannya tidak terlalu keras, toleran atau tidak terlalu kejam terhadap rakyat dibawah kekuasaannya, karena dia tahu bahwa efek dan konsekwensi dalam jangka panjangnya sangat mempengaruhi bagi daerah kekuasaannya.
Sekitar 40 tahun berikutnya, setelah penghancuran kota Baghdad Ghazan Khan cicit dari Hulagu Khan, bangkit dengan membangun kembali peradaban Islam di sentral Asia, Persia dan sekitarnya. Bisa dicatat bahwa, pada masa pemerintahan Ghazan Khan, dinasti Ilkhan adalah merupakan dinasti yang paling maju dalam membangun peradaban Islam. Dimana roda pemerintahan dijalankan oleh Ghazan seadil mungkin di semua lini kehidupan, hal itu mengandung tendensi untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat bangsa Mongol secara keseluruhan. Lebih lengkapnya adalah ketika tampuk kekuasaan dibawah pemerintahan Ghazan Khan, rakyat Mongol hidup sejahtera dan mencapai puncak kejayaannya pada masa itu.
Dengan tidak menghilangkan fakta sejarah bahwa, dari ketiga Dinasti besar (Chagthai, Golden Horde, Ilkhan) pada bangsa Mongol telah menoreh peradaban baru bagi umat Islam Mongol ketika itu, bahkan mereka berhasil membangun imperium baru meskipun disela-sela kejayaan mereka ada tragedi besar yang menyakitkan umat Islam dengan menghancurkan dan membumi hanguskan kota Baghdad (1258 H). Dapat disetarakan bahwa, sejarah dari ketiga dinasti Islam dikalangan Mongol (Chagthai, Golden Horde, Ilkhan) berdiri dan membangun peradaban Islam sama dengan dinasti Islam yang lain, meskipun mereka berangkat bukanlah dari keturunan Islam Arab.

KOMENTAR DAN KRITIK
Dampak yang timbul dari kekuasaan Mongol bagi Islam adalah bisa berdampak negatif dan juga berdampak positif bagi Umat Islam.. dan jika dibandingkan kedua dampak tersebut tentunya lebih banyak dampak negatifnya dari pada positifnya. Diantara dampak negatif dari kekuasaan Mongol adalah kehancuran tampak jelas dimana-mana dari serangan Mongol sejak dari wilayah timur hingga ke barat, kehancuran kota-kota dengan bangunan yang indah-indah dan perpustakaan-perpustakaan yang mengoleksi banyak buku memperburuk situasi umat Islam, pembunuhan terhadap umat Islam terjadi bukan hanya pada masa Hulagu saja yang membunuh khalifah Abbasiyah dan keluarganya tetapi pembunuhan dilakukan juga terhadap umat Islam yang tidak berdosa. Yang lebih fatal lagi adalah hancurnya Baghdad sebagai pusat Dinasti Abbasiyah yang di dalamnya terdapat berbagai macam tempat belajar dengan fasilitas perpustakaan, hilang lenyap di bakar oleh Hulagu. Suatu kerugian besar bagi khazanah ilmu pengetahuan yang dampaknya masih dirasakan hingga kini.
Sedangkan dampak positif dari kekuasaan Mongol bagi umat Islam adalah diantaranya para pemimpinnya masuk ke agama Islam, antara lain disebabkan karena mereka berasimilasi dan begaul dengan masyarakat muslim dalam jangka panjang, seperti yang telah dilakukan oleh Ghazan Khan (1295-1304) yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaannya, walau ia pada mulanya beragama Budha. Yang lebih mendorongnya masuk ke agama Islam adalah karena salah seorang menterinya, Rasyiduddin yang terpelajar dan ahli sejarah yang terkemuka yang selalu berdialog dengannya, dan Nawruz, seorang Gubernurnya untuk beberapa provinsi di Syiria. Ia menyuruh kaum keristen dan Yahudi untuk membayar jizyah, dan memerintahkan mencetak uang yang bercirikan Islam, melarang riba, menyuruh pemimpinnya memakai sorban.
Terlalu berlebihan memang ketika kekuasaan bangsa Mongol hanya disorot dari salah satu sudut pandang saja, yaitu dengan kejayaan Islam pada bangsa ini yang hanya diperoleh dari beberapa gelintir pahlawan Islam yang berperan, yang seolah-olah aib yang pernah mereka lakukan kepada umat Islam dengan penindasan Bani Abbasiyah dan pembumi hanguskan kota Baghdad ketika itu hilang dan sirna begitu saja. Tetapi kemudian umat Islampun harus berbangga dan obyektif melihat fenomena dari bangsa Mongol berikutnya, yang bisa membawa perubahan dan peradaban baru bagi kejayaan Islam.
Buku ini, dengan data-data yang cukup akurat, membuktikan bahwa selama kurun tersebut, kawasan-kawasan Islam Mongol yang dipimpin oleh dinasti yang berbeda-beda, ternyata berhasil meraih kemajuan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, seni, astronomi, filsafat, sejarah dan lain-lain. Bukti sejarah yang masih dapat dilihat sekarang ini, salah satunya, adalah observatorium di Samarkand yang dibangun oleh Dinasti Cahghtai. Nama-nama besar ulama Islam juga lahir pada masa ini, seperti Ibnu Taimiyah yang lahir di kawasan yang dipimpin oleh dinasti Ilkhan.
Bapak Dr. M. Abdul Karim, Double MA. sang penulis buku, mampu menghadirkan fakta sejarah bangsa Mongol yang berbeda. Buku ini menjadi berbeda karena pendekatan yang dipakai untuk menguak peradaban Mongol tidak semata-mata mendeskreditkan bangsa tersebut, tetapi bisa menghadirkan nuansa Islam Mongol dengan beberapa kelebihan yang diraih oleh beberapa pahlawan Islam Mongol. Sehingga yang terjadi kemudian adalah fakta sejarah terungkap bahwa, disamping kebengisan bangsa Mongol pada masa sebelumnya bisa terobati dengan muncul fakta sejarah Islam dan kemajuan peradaban Islam yang diraih oleh dinasti-dinasti Islam Mongol.
Keunggulan yang dimiliki buku ini adalah mampu mengangkat kepermukaan fakta sejarah dari kejayaan Islam bangsa Mongol. Sehingga para pembaca buku tidak tergesa-gesa dengan memponis bahwa ketika membaca sejarah bangsa Mongol hanya tergambar dan terbayang sifat kebengisan dan ke-barbarian pada bangsa ini. Dalam buku ini, banyak fakta-fakta lain yang dapat diungkap. Mulai dari keunikan dan kekhasan masing-masing dinasti Islam (Chagthai, Golden Horde, Ilkhan) dalam menerapkan hukum Islam dan menafsirkan syari’at Islam, sampai dengan tragedi-tragedi sejarah yang yang patut untuk di baca dan berkaca.

Minggu, Agustus 17, 2008

KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI’I



A. LATAR BELAKANG
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan aayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadist atau Sunnah.
Begitu pula selanjutnya setelah masa Nabi, apabila para sahabat menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadist Nabi. Dan apabila mereka belum menemukan juga jawabannya dari kkedua sumber tersebut. Maka , mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan Ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka menccari titik kesamaam dari suatu kejadian yang dihadapi dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan ummat” yang menjadi dasar penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muadz Ibn jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduannya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi. Nabi berkata : “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?. Muadz menjawab: “ Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah, kemudian Rasullah bertanya lagi : “Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah ?. Muadz pun menjawab : “ Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi. Rasulullah kembali bertanya : “ Bila dalam sunnah,tidak ditemukan juga, maka Muadz menjawab : “Aku melakukan Ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam Ijtihadku”. Jawaban muadz dengan urut-urut seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW. Ini berarti konsep ijtihad boleh dilakukan ketika kedua sumber hukum tersebut yakni al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan hukum secara rinci menjelaskan jawaban terhadap suatu masalah. Dalam rangka inilah Rasulullah membolehkan konsep ijtihad dilakukan, sehingga para ulama dan empat mazhab fikih yang terkenal melakukan ijtihad.
Pada zaman Rasulullah ternyata ijtihad dilakukan oleh Rasulullah dan juga para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad.,” seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga kasus Muadz ibn Jabal yang diutus ke Yaman”,
[1] hanya saja ijtihad
Pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri.
Tetapi kemudian, pada masa setelah zaman Rasulullah pintu ijtihad terbuka lebar, karena masalah-masalah yang muncul pada zaman setelah Rasulullah berbeda dan banyak hal-hal baru yang muncul yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah. Meskipun al-Qur'an adalah mu'jizat Nabi Muhammad yang sempurna dan kitab yang paling sempurna, bukan berarti tidak bisa menjawab permasalahan tersebut, demikian juga al-Hadits. Akan tetapi Islam memberi peluang kepada para ahli khususnya ahli fiqih dan para ahli hukum Islam untuk menggali ilmu lebih dalam lagi, karena Rasulullah sendiri memberi izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena, "memberikan contoh bagaimana cara beristinbath dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an dan as-Sunnah".
[2]
Imam Syafi’i tampil setelah masa Imam Abu hanifah dan Imam Malik, ia menemukan pada masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubuh Madinah dan Irak. Imam Syafi’i menggali pengalaman dalam berbagai diskusi ditengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh maliki yang diterimanya langsung dari Imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu ia mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengetahuan dan pengalaman yang luas tersebut, akhirnya memberi petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk meletakkan pedoman dan metoda berpikirnya yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan seorang mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metoda berpikir yang dirumuskan itulah yang kemudian disebut “ Ushul Fiqh”
Imam Syafi’i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul Fiqh. Sehingga tidak salah jika seorang orientalis Inggris, N.J. Coulson, mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan ulama Syi’ah sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis, sehingga ilmu tesebut pada waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Berangkat dari permasalahan inilah, maka penulis ingin membahas tentang ijtihad, namun penulis membatasinya dengan titik tolak kontstruksi ijtihad Imam Syafi'i, sistem dan cara ijtihadnya.

B. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad secara etimologi adalah berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata ijtihad, seperti dikemukakan imam al-Ghozali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mengangkat biji sawi.
Di kalangan ulama Usul fiqh terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun intinya adalah sama. Seperti Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai : "Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara' sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu".
Sedangkan al-Baidawi (W.685), ahli ushul Fiqh dari kalangan Syafi'iyah mendefinisikannya sebagai : " Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara". Lebih jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu Zahrah. Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai : "Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya." Defenisi lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah : "Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbath-kan hukum syara', maupun dalam penerapannya".

C. DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak alasan yang menunukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain adalah :
1. Ayat 59 surat an-Nisa' :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal :
ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan al-Qur'an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan :" segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya. Hadits tersebut:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu'adz, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu'adz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu'adz, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia menjawab, dasarnya adalah kitab Allah, Nabi bertanya :"kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah ?", dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi :"kalau tidak anda temukan dalam Sunnah Rasulullah ?"' Mu'adz menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata :" segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW." (HR. Tirmizi)

D. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakuya di bagi menjadi dua : ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar, seperti Imam Abu Hanifah, Imam malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan ijtihad jama’i adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW, setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah usul fikih, ijtihad jama’i dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu ilmu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, di samping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu. Ijtihad jama’i merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin ilmu di samping ilmu fikih itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mengingat masalah-masalah yang bermunculan ada yang berkaitan dengan ilmu-lmu selain ilmu fikih, seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.


KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

A. RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI'I
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama (mujaddid) pada abad kedua Hijrah.
Imam Syafi’i di lahirkan di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 105 H
[3], beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H / 754-774 M. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf.
Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu ke beberapa daerah, seperti di Mekah beliau belajar hadits dan fiqh. Kemudian pada umur beliau tiga belas tahun beliau mengembara ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan Imam Malik sampai Malik meninggal dunia.
Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Irak beliau belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan beraliran hanafi (murid Imam Abu Hanifah). Setelah selesai menunutut ilmu dari beberapa daerah tersebut “Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fiqh Irak. Kemudian beliau mengajar di Masjidil Haram, ia mengajarkan fiqh dalam dua corak, yaitu corak madinah dan corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun”.
[4]
Di samping itu, al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah dan Madinah.[5] Di antara ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim, (2) Hisyam ibn Yusuf, (3) ‘Umar ibn Abi Salmah, dan (4) Yahya ibn Hasan. Sedangkan guru Imam Syafi’i petama adalah Muslim Khalid Az Zinji, seorang ulama Mekah. Dengan pengembaraan menuntut ilmu, mengajar dan mengamalkan ilmunya ke beberapa daerah tersebut, maka beliau menjadi seorang ulama besar dan terkenal.

B. KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI'I
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah al-Qur’an , maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunujuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunnah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah kepada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak mengggunakan hadits Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini baisa disebut “ Ahlu al-Hadits” kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya di Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadits, meskipun hadits juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahlu Ar-Ra’yu” . kelompok ini lebih banyak mengambil tempat diwilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda berbeda. Ahlu al-Hadits muncul diwilayah Hijaz adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan mengetahui hadits dari Nabi. Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka tentang hadits Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu kehidupan sosial dan mu’amalat begitu luas dan komplek karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam menetapkan fiqih. Ijtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metoda qiyas sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya.
Dan selanjutnya, kedua kelompok ini menonjol dengan madrasah masing-masing, Ahlu al-Hadits menonjolkan dengan dua madrasahnya yaitu madrasah Madinah dan madrasah Mekah. Sedangkan, Ahlu ar-Ra’yu menonjolkan dua madrasahnya juga yaitu madrasah Kufah dan Basrah di Irak. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqih dan menghasilkan banyak para ahli fiqih.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriyah tampil seorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari madrasah kedua kelompok ini, yaitu Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i.
Imam Syafi’i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok Ahlu al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi. “Beliau lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi, tetapi tidak seluas yang dipakai oleh kelompok Ahlu ar-Ra’yi dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadits, tetapi tidak seluas yang digunakan oleh Ahlu al-Hadits”.
[6] Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ar-Ra’yu dan al-Hadits. Metoda Imam syafi’i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut mazhab Syafi’iyyah.
Melihat dari posisi Imam Syafi’i yang mengambil poros tengah dalam ijtihadnya tentang penetapan hukum fiqh, maka tidaklah mengherankan jika dikemudian hari, bahwa metoda usul fiqh yang merupakan hasil dari itihadnya banyak dipakai sebagai salah satu sumber penetapan hukum Islam.

C. SISTEM IJTIHAD IMAM SYAFI’I
Dalil-dalil yang dipakai oleh imam Syafi'i dalam ijtihad-ijtihadnya adalah : pertama al-Qur'an, kemudian hadits, lalu ijma' setelah itu baru qiyas dan terakhir istidlal.
Al-Qur'an
Ijma'
Qiyas
Hadits



Bila Abu Hanifah menonjol dengan qiyasnya yang ditambah lagi dengan istihsan dan malik menonjol dengan ijma' sahabatnya yang diimbangi dengan mashalih murshalah, maka Imam Syafi'i meletakkan dalil-dalil itu dalam komposisi dan perimbangan yang harmonis, ia tidak menghilangkan qiyas tetapi juga tetap mendahulukan ijma'. Sebaliknya ia membesar-besarkan ijma' tetapi tetap mendahulukan hadis sebelum ijma'.
Jika urutan-urutan dan perbandingan volume dalil yang dipakai Imam Syafi'i itu kita amati lebih lanjut, akan teringatlah kita kepada sebuah surat Umar bin Khattab yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy'ary mengenai cara memutuskan suatau perkara yang urutan dalilnya sama persis dengan sistem ijtihad Imam Syafi'i tersebut. “Kita tidak bisa mengklaim bahwa sistem ijtihad Imam Syafi'i itu adalah duplikasi dari sistem ijtihad Umar, karena mungkin juga ia merupakan hasil usaha kombinasi antara gagasan Hanafi dan Malik sebagai gurunya. Memang sulit untuk menyatakan secara pasti bahwa Imam Syafi'i dipengaruhi oleh Umar, tetapi yang sangat menarik perhatian kita adalah bahwa sistem ijtihad Imam Syafi'i itu demikian sama persis dengan apa yang telah diucapkan dan dilakukan oleh umar”.
[7]

D. CARA IJTIHAD IMAM SYAFI’I
Seperti imam mazhab lainnya, Imam Syafi'i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut. " Asal adalah al-Qur'an dan Sunnah. Apabila tidak ada dalam al-Qur'an dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya, apabila hadits telah muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadits yang diutamakan adalah makna zhahir ; ia menolak hadis munqhati' kecuali yang diriwayatkan oleh ibn al-musayyab
[8] ; pokok (al-ashl) tidak boleh dianalogikan kepada pokok ; bagi pokok perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana (lima wa kaifa) mengapa dan bagaimana hanya dipertanyakan kepada cabang (furu') (Thaha Jabir Fayyadl al-'Ulwani, 1987: 95)
Ahmad Amin (1974. Dluha al-Islam. Mesir : Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah), dalam kitab Dluha al-Islam, menjelaskan langkah-langkah ijtihad Imam Syafi'i, menurut Imam Syafi'i, rujukan pokok adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, hukumnya ditentukan dengan cara qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya shahih. Ijmak lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zhahir ; apabila suatu lafadz ihtimal (mengandung makna lain) maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadits munqhati' ditolak kecuali jalur ibnu al-musayyab. Al-ashl tidak boleh di qiyaskan kepada al-ashl. Kata "mengapa" dan "bagaimana" tidak boleh dipertanyakan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, keduanya hanya dipertanyakan kepada al-furu'. Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar. Dengan demikian, dalil hukum bagi Imam Syafi'i adalah al-Qur'an, Sunnah dan Ijmak sedangkan tekhnik ijtihad yang digunakan adalah al-qiyas dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.

E. KARYA - KARYA IMAM SYAFI’I
Ahmad Nawawi ‘Abd al-Salam (1994 : 710-7) menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi’i adalah Musnad li al-Syafi’i, al-Hujjah, al-Mabsuth, al- Risalah, dan al-Umm. Kitab-kitab lain, baik dalam bidang fikih, kaidah fikih maupun ushul al-Fiqh, Jumlahnya banyak dan beredar di Indonesia. Berikut adalah di antara kitab-kitab kaidah fikih aliran Syafi’iyah.
Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Ibnu ‘Abd al-Salam (w.660 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibnu Wakil (w. 716)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Taj al-Din al-Subki (w. 771 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H)
Di antara kitab Imam Syafi’i yang lain adalah al-Wasaya al-Kabirah, Ikhtilaf Ahlil Irak, Wasiyyatus Syafi’i, Jami’ al-Ilm, Ibtal al-Istihsan, Jami’ al-Mizani al Kabir, Jami’ Mizani as-Saghir, al-Amali, Mukhtasar ar-Rabi’ wal-Buwaiti, al-Imla’ dll.
[9]



DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh : Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, : Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1998
Noel J Coulson , Penerjemah Drs. H. Fuad, M.A. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, Mardang, 2001
Jaih Mubarak Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, , Bandung : Penerbit Remaja rosdakarya, 2000
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara tradisi dan liberasi : Yogyakarta, Penerbit Titian Ilahi Press, 1998.
Amir Mu’allim, Yusdani, ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer : Yogyakarta, UII Press, 2004
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh : Jakarta, Kencana, 2005.
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab : Semarang, Penerbit Amzah, 1991.

[1] Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana), 2005, hlm 144
[2] Ali al-Sayis, Muhammad, Nasy'ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh (Majma' al-Buhuts al-islamiyyah) .1970. hlm. 35.
[3]Asy-Syurbasi Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Penerbit Amzah), 1991, hlm 141
[4] Mubarok , Jaih Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (PT. Remaja Rosda Karya), 2000, hlm. 102
[5] Ahmad Nawawi ‘Abd Salam (1994:55-7) menginformasikan bahwa ulama Mekah yang menjadi guru Imam Syafi’I adalah (1) Sufyan ibn ‘Uyainah, (2) Muslim ibn Khalid al-Zunji, (3) Sa’id ibn Salimal-Qadah, (4) Daud ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Athar, dan Abd al-Rahmani ibn Abd ‘Aziz ibn Abi Daud. Sedangkan guru-guru beliau dari kalangan ulama Madinah adalah (1) Malik ibn Anas, (2) Ibrahim ibn Sa’d al-Anshari, ‘Abd al-Aziz Muhammada al-Durawardi, (3) Ibrahim ibn Abi yahya al-Aslami (4) Muhammad ibn Sa’id ibn Abi Faudik, dan (5) ‘Abd Allah ibn Nafi’.
[6] Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu), 2000, hlm 30.
[7]Mudzhar Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press), 1998, hlm 79
[8]Mubarak Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya), 2000, hlm 104.
[9]Asy-Syurbasi Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Penerbit Amzah), 1991, hlm 162

Jumat, Agustus 01, 2008

Kata Bijak

KATA BIJAK RABI'AH ADAWIYAH

Sembunyikanlah Kebaikanmu Sebagaimana Engkau Selalu Menyembunyikan Kejelekanmu / Keburukanmu

Tokoh Islam

AL SYATIBI

Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Gharnati al-Syatibi, beliau wafat 790 H, namanya belum terlalu populer ketika beliau masih hidup, mungkin hal ini disebabkan karena selain lahir dari keluarga yang sederhana, beliau juga hidup dalam masa transisi Cordova, kota Islam terakhir di Spanyol, menuju tahap kehancuran. Sebenarnya beliau dapat dikatakan sebagai mata rantai terakhir dari ilmuwan-ilmuwan besar Islam dari wilayah barat sesudah Ibn Rusyd (wafat 594 H), Ibn Taimiyah (wafat 661 M), Ibn Khaldun (wafat 732 H) dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H), Spanyol jatuh ke tangan pemerintah Kristen pada tahun 892 H/1496 M.

Konsep beliau yang paling masyhur adalah Maqashid al-Syari’ah yang secara literal berarti tujuan penerapan hukum. Sebelum al-Syatibi, metode penalaran terhadap nas masih didominasi oleh dua teori, yaitu teori keumuman lafal (umum al-lafz) yang dipegang oleh jumhur ulama dan teori kekhususan sebab (khusush al-sabab) yang dipegang oleh ulama minoritas.

Jumhur ulama menetapkan kaidah bahwa :”Yang dijadikan pegangan ialah redaksi lafal umum, bukan sebab khusus” (al-‘ibrah bi umumil lafdz, la bi khushus al-sabab). Maksud kaidah ini ialah jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menaggapi suatu peristiwa khusus. Sedangkan ulama minoritas menetapkan kaidah bahwa :”Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal” (al-‘ibrah bi khushush al-ssabab, la bi ‘umum al-lafdz) maksudnya ialah jika suatu nas turun untuk menanggapi suatu sebab khusus, atau suatu nas mempunyai riwayat sebab nuzul atau sebab wurud, maka yang perlu dipegang ialah sebab khusus tersebut.

Karya-karya beliau dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, karya-karya yang tidak diterbitkan dan dipublikasikan. Termasuk dalam kelompok pertama adalah :

  1. Syarh Jalil ‘ala al’Khulasah fi al’Nahw

  2. Khiyar Al-Majalis (syarah kitab jual beli dari shahih al-Bukhari)

  3. Syarh Rajz Ibn Malik fi Al-Nahw

  4. Inwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq

  5. Usul al-Nahw

Sedangkan yang termasuk kelompok kedua adalah :

  1. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah

  2. Al-I’tisam

  3. Al-Ifadat wa al-Irsyadat

Kemudian kitab al-Muwafaqat fi usul al-Syari’ah merupakan karya besar al-Syatibi didalam bidang ushul fiqih, kitab mulanya berjudul al’Inwan al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif.

ALI SYARI’ATI

Lahir di Khurasan, Iran (24 November 1933-Damaskus, Suriah, Juni 1977),sosiolog, ahli politik dan ahli syari’at. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang sarjana yang mengajar disekolah lanjutan atas dan ahli dalam keislaman (islamologi). Ali Syari’ati adalah merupakan tokoh besar di Iran sesudah Ayatullah Ruhollah Khomaeni. Dalam bukunya Marxisme and Other Western Fallacies, Ali menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam adalah dua ideology yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Marxisme berdasarkan filsafat matrialisme berbeda dengan Islam.

Karya-karya beliau diantaranya :

  1. Marxisme and Other Western Fallacies

  2. What is To Be Done (apa yang harus dilakukan)

  3. On The Sociology of Islam (sosiologi Islam)

  4. Al-Ummah wal Imamah (Umat dan kepemimipinan)

  5. Intizar Madab I’tiraz (Menunggu kritik)

  6. The Role of Intellectual in Society (peranan cendikiawan dalam masyarakat)

Beliau lahir dalam keluarga yang terhormat. Pada tahun 1941 Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Disekolah inilah ayahnya bekerja. Ali menyukai filsafat dan mistisisme.


Term Pendidikan Islam

REFERENSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

  • Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun social, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. (Pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, Dr. H.M. Suyudi, M.Ag, cet.I. januari 2005, penerbit mikraj, yogyakarta,hlm 55)

  • Term Pendidikan yang dikontekskan dengan kata "Islam" bukan sekadar proses transmisi atau alih budaya, ilmu, pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga sebagai proses penanaman nilai, karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al falah) dunia akherat. (Soeroyo,"Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial menjangkau Tahun 2000", dalam Muslih USA (ED), Pendidikan Islam di Indonesia: antara cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),hlm. 43.

  • Para ahli telah banyak membahas tentang definisi "Pendidikan" namu dalam pembahsannya mengalami beberapa kesulitan, hal itu disebabkan karena antara satu definisi dengan definisi lainnya sering terjadi perbedaan pandangan. Menurut Ahmad Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau jasmani amupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma'arif, 1989, hlm.19) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 52

  • Sedangkan Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu :"Pengembangan pribadi dalam semua aspeknya", mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain, sedangkan kata "semua aspek" mencakup aspek jasmani, akal dan hati. (Noeng Muhadjir, ilmu pendidikan …., hlm. 26) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 52

  • Al Attas berpandangan dan berpendapat bahwa kata "Pendidikan" berasal dari terjemahan kata ta'dib yang khusus dipakai untuk pendidikan Islam. Secara bahasa, kata ta'dib berasal dari kata addaba yang berarti adab atau mendidik.

  • Menurutnya, kata tersebut penggunaannya dikhususkan untuk pengajaran Tuhan kepada Nabi-Nya, sehingga dalam konteks ini ia mendefinisikan pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada diri manusia. (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme , terjemahan, Karsidjo, Jakarta: Pustaka, 1991, hlm. 222.) (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 53)


  • Menurut al-Attas, kata adab melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa untuk mencapai sifat yang baik, terhindar dari noda dan cela. Maka, pengajaran dan keterampilan betapapun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan jika di dalamnya tidak ditanamkan nilai-nilai pendidikan. (al-Attas, Syed muhamad Naquib , The Concept of Education in Islam : A Frame Work for in Islamic Fhilosophy of Education, Kualalumpur : 1991, hlm. 16. (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 53)

  • Ki Hajar Dewantoro mendefinisikan pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Abu Ahmadi dan Nur Ukhbayati, ilmu pendidikan, Jakarata : Rineka Cipta, 1991, hlm.69) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 53

  • Ada beberapa Definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti :

  1. Muhamad Fadhil al-Jamali "Pendidikan Islam" adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (HM. Arifin, Filsafat Pendidikan ……hlm 17)

  2. Omar Mohammad al-Toumy "Pendidikan Islam" adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam. (Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm.39)

  3. Muhammd Munir Mursyi "Pendidikan Islam" adalah Pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan untuk mengetahui perintah ini. (Muhammad Munir Mursyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo : Dar al-Kutub,1977,hlm.25)

  4. Hasan Langgulung, "Pendidikan Islam" adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat. (Hassan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1993, hlm. 62)

di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag hlm 55

  1. Abdurrahman Al-Nahlawi, "Pendidikan Islam" merupakan suatu proses penataan individual dan social yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. (Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, alih Bahasa Herry Noer Ali, cet. I, Bandung : Diponegoro, 1989, hlm. 41) diambil dari buku Filsafat Pendidikan Islam, Toto Suharto, hlm.29

  2. Ali Ashraf, menyebutkan " Pendidikan Islam " adalah pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan, diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan. (Ali Ashraf, Horizon baru Pendidikan Islam, alih bahasa Sori Siregar, cet. III, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996, hlm 23) diambil dari buku Filsafat Pendidikan Islam, Toto Suharto, hlm.29

  3. Terdapat dua sumber pendidikan Islam yaitu al-Qur;'an dan Sunnah (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 58)

  4. Pendidikan Islam adalah sebagai wadah pengembangan akal dan fikiran, pengarah dan tata laku dan perasaan berdasarkan nilai ajaran Islam, agar nilai tersebut dapat di serap dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan harus sesuai dengan alur pikiran sehat dalam memandang realitas kehidupan, sehingga sisi kehidupan yang akan diraih dapat diupayakan. Islam memberikan kesempatan yang luas kepada akal untuk berkreasi dan berfikir. Keimanan yang secara sepintas harus diterima secara pasrah, bukan berarti mematahkan dan mematikan kreativitas akal, tetapi agar perasaan dan naluri manusia dapat berjalan untuk mengimbangi tindakan yang dilakukan agar sesuai dengan yang digariskan oleh syara'. Naluri yang tunduk (ta'abud) adalah tujuan Tuhan menciptakan manusia, baik individu maupun kelompok (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 58-59)

  5. Tujuan Pendidikan Islam : Konsep pendidikan selalu berada dalam lingkungan budaya yang tidak terlepas dari eksistensinya. Untuk mengetahui tujuannya, harus berdasarkan atas tujuan filosofis (Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Prespective, New York : The Drayden Press, 1958, hlm 4). Adapun tujuan pendidikan Islam secara umum adalah : 1) jika pendidikan bersifat progresif , maka tujuannya harus diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman. Dalam hal ini, pendidikan bukan sekadar menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga melatih kemampuan berfikir dengan memberikan stimulan, sehingga mampu berbuat sesuai dengan intelligent dan tuntunan lingkungan. Aliran ini dkenal dengan progresifisme. 2) jika yang dikehendaki pendidikan adalah nilai yang tinggi, maka pendidikan pembawa nilai yang ada diluar jiwa anak didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan yang tinggi. Aliran ini dikenal dengan esensialisme. 3) Jika tujuan pendidikan dikehendaki agar kemabali kepada konsep jiwa sebagai tuntunan manusia, maka prinsip utamanya ia sebagai dasar pegangan intelektual manusia yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi sendiri. Aliran ini dikenal dengan perenialisme. 4) Menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntuna perkembangan masyarakat karena adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan penyesuaian ini, anak didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas yang dikenal dengan aliran rekonstruksionisme. (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 62-63)

  • Mahmud al-Sayyid Sulthan dalam Mafahim Tarbiyah fi al-Islam menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam haruslah memenuhi beberapa karakteristik, seperti kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, actual, ideal, da mencangkup jangkauan untuk masa yang panjang (mahmud al-Sayyid Sulthan, Mafahim Tarbiyah fi al-Islam, cet. II kairo, Dar al ma'arif, 1981, hlm 104-105). Dengan karakteristi ini, tujuan pendidikan Islam harus mencakup aspek kognitif (fikriyyah ma'rafiyah), afektif (khuluqiyyah), psikomotor (jihadiyyah), dan social kemasyarakatan (ijtima'iyyah) ibid., hlm. 91-103 (diambil dari buku filsafat pendidikan Islam toto suharto, hlm11)

  • Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, juga diakui sebagai kekuatan yang dapat membantu masyarakat mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban. Tidak ada satu prestasipun tanpa peranan pendidikan. Selanjutnay bahwa pendidikan merupakan salah satu wialyah yang menjadi perhatian (area of concern) para pemikir dan aktivitis muslim diseluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh dan aktivitis gerakan, seperti Muhammad abduh di Mesir, sayyid ahmad khan di benua India. Para pemikir dan aktivis gerakan itu tidak hanya mendirikan lembaga-lemabag pendidikan Islam, lebih dari itu ia juga berusaha mentransformasi lembaga-lembaga pendidikan tradisional menjadi pendidikan yang bercorak modern. "Sejak akhir abad ke-19 samapi awal abad ke-20, bersama dengan bangkitnya gerakan modernisme Islam, dunia Islam menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern". (Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Pemikiran, Jakarta, Bulan Bintang, 1992)

Terapi Sholat Khusyu'

ARTI MENDIRIKAN SHALAT

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan arti mendirikan sholat dengan mengemukakan pendapat-penadapat para sahabat dan tabi’in sebagai berikut :

  1. Pendapat Ibnu Abbas r.a. : mendirikan sholat adalah mengerjakan segala fardhunya-fardhunya (rukun-rukunnya) (pedoman sholat : 74) “ Adh-Dhahhak menerangkan bahwa Ibnu Abbas r.a pernah berkata,” mendirikan shalat ialah menyempurnakan ruku’, sujud, tilawah (bacaan), khusyuk dan menghadapai shalat dengan sempurna-sempurnanya.” (pedoman shalat : 74)

  2. pendapat Qatadah :” mendirikan shalat ialah tetap memelihara waktu-waktunya, wudhu’nya, rukuknya dan sujudnya.” (pedoman shalat : 74)

Apabila ketiga pngertian diatas digabungkan , maka arti mendirikan shalat ialah memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudhu’nya dan melaksanakannya dengan sesempurna mungkin (sempurna dalam berdiri, rukuk, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tasyahhud, dzikir, do’a, khusyuk, hadir hati, takut serta sempurna dalam adab-adabnya)

  1. pendapat al-Allamah as-Sayyid Rasyid Ridha :” mendirikan shalat ialah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dengan cara yang paling sempurna, yaitu mengerjakan shalat dengan pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah dan menunaikannya dengan khusyuk karena Allah.” (Tafsir al-Manar, 1:50)

  2. pendapat al-Ustadz Abdul Azis al-Khulli : “ mendirikan shalat ialah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya disertai khusyuk ; memikirkan segala maknanya dan mengenangkan Allah, serta melaksanakannya karena Allah.” (al-Adab an-Nawawi : 7)

KHUSYU’

Sebagian ulama mengatakan bahwa khusyu’ adalah memejamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,” khusyu’ adalah tiada berpaling kekanan dan kekiri di dalam shalat.” Amru ibn Dinar berkata,” khusyu’ adalah tenang dan bagus kelakuan.” Ibnu Sirin berkata,” Khusyu’ adalah tiada mengangkat pandangan dari tempay sujud,” Ibnu Jubair berkata,” Khusyu’ adalah tetap mengarahkan pikiran kepada shalat hingga tiada mengetahui orang yang di sebelah kanan dan kirinya.” Atha’ berkata,” Khusyu’ adalah tidak memain-mainkan tangan dan tidak memegang badan pada shalat.”

Dalam buku pedoman shalat (80) : Khusyu’ adalah tunduk dan tawaddhu’ serta berketangan hati dan segala anggota tubuh kepada Allah.


IKHLAS DAN JUJUR

Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengatakan di dalam risalahnya,” Ikhlas adalah meng-Esakan Allah dalam beribadat dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya tanpa maksud lainnya. Bukan untuk makhluk atau mencari pujian manusia, demi cinta dan sanjungan makhluk atau tujuan-tujuan lainnya selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Hudzaifah al-Mar’asyi berkata,” Ikhlas adalah berbuat sama antara lahir da bathin

Dzun Nun al-Mishri berkata,” Ciri Ikhlas ada tiga, pertama ; apabila dipuji atau di cela orang lain sama saja baginya. Kedua ; ketika beramal, ia tidak melihat dirinya

Abu Muhammad Sahal bin Abdullah at-Tsauri berkata,” Ikhlas adalah seluruh gerak dan diamnya hanya karena Allah, baik dalam kesendirian maupun di keramaian, tidak tercampur dengan kehendak nafsu, keinginan diri dan keinginan duniawi.”

Abu Ali ad-Daqqaq berkata,” Ikhlas adalah menjaga diri dari keinginan di perhatikan manusia. Sedangkan Shidq (jujur) ialah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu.” (pedoman shalat : 80)

Pada diri orang yang ikhlas tidak akan ditemukan riya’ dan pada diri orang yan jujur tidak akan ada kesombongan.


TAKUT KARENA ALLAH

Maksud takut kepada Allah dalam shalat adalah sungguh merasa takut akan kuasa dan kekuatan Allah.

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan,” Pada hari kiamat Allah Ta’ala berfirman ; “Keluarkanlah dari neraka orang yang pernah sesaat dzikir kepada-Ku dan orang yang pernah merasa takut kepada-Ku.” (HR Tirmidzi, dari Anas r.a. ; Hadist Qudsi : 223)

Yang dimaksud dengan dzikir adalah ingat dengan ikhlas dan jujur dalam meng-Esakan Allah dan itu hanya bisa dilakukan oleh mukmin. Nabi SAW bersabda,” Barang siapa mengucapkan La ilaha Illallah dengan ikhlas dari hatinya, niscaya ia masuk surga.” (Hadits Qudsi : 234)

Sedangkan yang dimaksud dengan khauf (takut) didalam hadits Qudsi tersebut adalah menahan nafsu dan semua anggota tubuh dari perbuatan maksiat dengan penuh ketaatan.


HADIR HATI DI DALAM SHALAT

Hadir hati didlam shalat adalah menghadapkan seluruh perhatian kepada Allah dalam setiap tindakan dan bacaan shalatnya serta tidak berpaling kepada selain Allah. Tanpa kehadiran hati, shalat menjadi tidak berarti.

Didalam Ihya Ulumuddin (3: 23) Imam al-Ghazali berkata,” Allah tidak akan memperhatikan shalat yang hati pelakunya tidak hadir bersama tubuhnya.” (pedoman shalat: 85)

Muhammad bin Nasr meriwayatkan hadits dari Utsman bin Abi Dira’ “Allah tidak akan menerima suatu amal dari seorang hamba jika hati si hamba itu tidak hadir bersama tubuhnya.” Dan “Seorang hamba hanya akan memperoleh dari shalatnya sesuatu yang dipahaminya.” (Syarah Ihya’ : 2 ; 112) pedoman shalat : 86


Menanti Keajaiban-Mu

TETAPKAN HAMBA DIJALAN-MU YA ALLAH

Ya Allah.. Tsabbit qulubana ‘ala deenik… (Ya Allah, tetapkan kami di atas JalanMu)

Syukur alhamdulillah, kerana pada pagi ini, hatiku masih meyakini jalan yang kupilih, jalan yang telah Allah tetapkan ke atas ku, jalan yang benar, insyabAllah.. Jalan yang beralamatkan menuju redha dan SyurgaNya. Syukur alhamdulillah, aku masih mengecapi nikmat Islam dan Iman. Alhamdulillah..

Iman itu sendiri perlu digilap setiap ketika, supaya dapat ia dididik untuk hidup semata-mata kerana akhirat. Jika ada secebis perasaan keduniaan pun, hanyalah semata-mata sebagai keseinambungan ke akhirat. Dunia hanyalah alat untuk memudahkan kita ke kampung akhirat.

Hidayah pula dikurniakan Allah pada hamba-hamba terpilih yang bertuah. Perasaanku dan kobaranku terhadap Islam tika ini, kuharapkan kerana hidayah dariNya. Sayangku terhadap jalan Islam dan amal Islami tika ini, kuharapkan atas kurniaan hidayah dariNya. Hidayah dari Allah itu sifatnya tidak kekal. Allah berkuasa dan berkehendak untuk menariknya semula jika kita tidak berusaha untuk mengekalkan nikmat hidayah yang telah sedia ada pada kita. Kurniaan hidayah daripada Allah bukanlah satu kurniaan yang boleh dipandang enteng, kerana berbekalkan hidayah dariNyalah, kita mampu bergerak pulang di atas jalan yang betul ke kampung akhirat. Justeru, kepentingan hidayah tidak dapat disangkal lagi memandangkan apakah matlamat terbesar diri ini sebagai hamba Allah, melainkan terus-menerus menyembahNya, kekal di atas jalanNya, dan bermatlamatkan redhaNya dan SyurgaNya? Moga hati ini terus kekal menggilap hidayah dariNya.

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu; diwahyukan kepadaku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang Satu; maka hendaklah kamu tetap teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredaanNya), serta pohonlah kepadaNya mengampuni (dosa-dosa kamu yang telah lalu) dan (ingatlah), kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukanNya (dengan sesuatu yang lain)” Surah Fussilat [41:6]

Tetap teguh dalam melakukan sesuatu atau istiqamah dalam dakwah merupakan satu jalan usaha untuk mengharapkan pengekalan hidayah yang berterusan dari Allah. Istilah “dakwah” sudah mula dipandang serong dan ditakuti kebanyakan kelompok masyarakat umum. Sedangkan “dakwah” itu adalah kewajipan setiap individu yang bergelar muslim. “Da’a” bermaksud mengajak. Adalah menjadi tanggungjawab kita semua yang telah ditakdirkan Allah untuk menjadi khalifahNya untuk mengajak seluruh makhluk pulang kepada fitrah, pulang kepada kewajiban dan tuntutan Allah untuk menyembahNya setiap masa, selama-lamanya. Tanggungjawab sebagai da’ie tidak sewajarnya ditangguhkan hanya kerana kita merasakan diri kita tidak cukup layak, tidak cukup baik, tidak cukup ilmu, tidak pandai menulis, tidak pandai bercakap dan sebagainya. Atau, mungkin kita juga kadang kala akan merasakan betapa hinanya diri ini berbanding da’ie-da’ie lain yang lebih hebat bicara mereka, lebih mantap amalan mereka malah lebih segala-galanya. Kita semua adalah da’ie. Biarpun sepotong ayat yang kita tahu, kita bertanggungjawab untuk menyampaikan pada semua. mengapa perlu kita pedulikan kehebatan orang lain, sehinggakan terputus usaha kita atas usaha pada jalanNya? Kekalahan apakah yang lebih hebat berbanding, kegagalan kita daripada dipilih menjadi golongan beriman yang bakal memasuki SyurgaNya? Sampai bila kita ingin menanti rasa “cukup bersedia” atau “cukup kuat” untuk menjalankan tugas kita yang bakal membawa kita ke Syurga? Jangan sampai tiba hari dan ketika, di mana kita terkedu melihat orang-orang lain berbondong-bondong memasuki syurga, sedang kita termanggu sendiri menyesal tak sudah akan kelewatan tindakan kita ketika di dunia.. Na’uzubillah. Biarkan kekuatan itu datang menyaluri setiap genap urat tubuh, dan sesungguhnya, kekuatan itu bukanlah datang dari masa, bukanlah menantikan berapa lama kita berkecimpung dalam medan menuntut ilmu Islam, tetapi, kekuatan itu datang dari kita. Kekuatan itu datang dari keyakinan dan keazaaman kita untuk terus-terus di atas jalanNya, biarpun kita tahu, keizinan kekuatan itu datang dari Allah jua. Cemburukan diri dalam melihat para da’ie lain yang bersungguh-sungguh bekerja untuk Islam. Bukan “cemburu” yang menyebabkan kita terdiam, terduduk, terkeliru, atau pun tersakit hati, tetapi cemburu yang dapat menguatkan lagi jalan kita menujuNya, cemburu yang dapat menguatkan usaha kita, cemburu yang dapat menggilap keazaman kita, supaya terus kekal di atas jalanNya.

Dakwah itu banyak cabangnya. Setiap yang menjadi khalifah pasti ada kelebihan. Dakwah Islamiyah mampu disampaikan walau dengan senyuman, walau dengan keceriaan, walau dengan pakaian Islami, walau dengan kata-kata hikmah, walau dengan madah, walau dengan ukhuwah fillah. Tak perlu menanti pandai berbasa-basi, tak perlu menanti bahasa bertukar indah, untuk meneruskan kewajipan kita, serahkan apa yang ada pada kita atas jalanNya, nescaya hak kita akan dipermudahkan olehNya. InsyaAllah.. Kepincangan pasti ada dalam dakwah, kerana yang telah dipilih menjadi khalifah adalah ‘manusia’, bukan malaikat yang bersih dari dosa. Perbetulkan apa yang termampu.. Apa saja! asalkan kita dapat mengejar redha dan SyurgaNya. Amin…

Kerana kita takkan biarkan mereka sahaja menghuni Syurga. Kita juga bakal menjadi penghuniNya.

Betapa hebatnya kuasa Allah, yang menjadikan manusia dengan sifat yang begitu kompleks, lengkap yang akhirnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang cukup bekalan kejadian untuk ditaklifkan menjadi khalifahNya di muka bumi. Manusia itu diciptakan dengan akal dan nafsu. Justeru, Allah kurniakan Al-Quran dan para nabi sebagai penunjuk jalan menujuNya, untuk mengejar iman supaya dapat digandingkan dengan akal yang telah Allah kurniakan pada manusia. Jika diandaikan, akal dan iman disatukan lalu dilawankan dengan hawa nafsu, neraca gabungan akal dan iman itu perlu sentiasa diberatkan berbanding dengan hawa dan nafsu. Itulah bekalan da’ie yang Allah kurniakan pada kita. Fitrah manusia untuk merasa sedih, tetapi bukanlah da’ie yang baik jika kesedihan itu membawa kemusnahan pada dakwah, pada masyarakat, ataupun pada diri sendiri. Fitrah manusia untuk berasa kecewa, tetapi bukanlah kekecewaan itu untuk memusnahkan matlamat kita yang sangat besar, akhirat dan SyurgaNya. Fitrah manusia untuk merasai nafsu cinta, tetapi bukanlah cinta itu untuk membawa kita ke jalan murkaNya. Allah mengurniakan akal dan iman untuk diberatkan berbanding hawa dan nafsu yang dikurniakanNya. Maka, terserahlah pada diri ini untuk memilih. “All or nothing”. Tiada jalan tengah. Keseluruhan RedhaNya, atau tiada langsung RedhaNya. Keseluruhan MurkaNya, atau tiada langsung MurkaNya. Keseluruhan Syurga, ataupun keseluruhan Neraka?

Bawakan aku ke SyurgaMu, Ya Allah.

Memetik semula ayat suci Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai panduan manusia sepanjang zaman:

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu; diwahyukan kepadaku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang Satu; maka hendaklah kamu tetap teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredaanNya), serta pohonlah kepadaNya mengampuni (dosa-dosa kamu yang telah lalu) dan (ingatlah), kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukanNya (dengan sesuatu yang lain)” Surah Fussilat [41:6]

Dapat dilihat betapa pentingnya kita tetap teguh atas jalan kita, sehinggakan Allah mengisikannya dalam ruang kalam suci al-Quran. Biar apa pun yang berlaku, matlamat untuk terus berada di atas jalanNya perlu terus tetap, teguh dalam diri. Matlamat aqidah dan SyurgaNya takkan pernah pincang, biar bumi bergoncang hebat, biar manusia mengecam dan membenci kita. Kerana kita ingin ke Syurga.

Wahai diri, jangan biarkan kafilah menuju Syurga itu meninggalkanmu. Biarpun kau rasakan kudamu terhincut-hincut di belakang, tetapi teruskan azam untuk memecut mengejar matlamat Agung.. Syurga Allah.

Tsabbit qulubana ‘ala deenik Ya Allah…

-Catatan hati hamba Allah yang hina-
Mohon petunjuk dariNya,
Wallahu’alam



Humanis dan Religius

PENDIDIKAN YANG HUMANIS DAN RELIGIUS


  1. PENDAHULUAN

Dinamika tujuan dunia pendidikan, seharusnya tidak menekankan dan mengedepankan hanya pada aspek kognitif saja, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana pendidikan itu diberikan lebih menyentuh dan memperhatikan pada aspek humanis dan religius yang di realisasikan pada sikap yang baik (afektif) dan hubungan sesama manusia lainnya. Dalam tatanan persepktif Islam, menurut Arifin, “pendidikan bermaksud membentuk manusia yang perilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah, yaitu manusia yang dapat “merealisasikan idealitas Islami”, menghambakan sepenuhnya kepada Allah.”1

Oleh karenanya, pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.2 Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.3 Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpotensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.4 Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).5

Lebih lanjut menurut John Dewey, tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends. Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends. Means adalah tujuan “antara” sedangkan ends adalah tujuan “akhir”. Dengan dua kategori ini, tujuan pendidikan harus memiliki tiga kriteria, yaitu : (1) tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi yang sudah ada; (2) tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan keadaan; dan (3) tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas.6 Pada akhirnya setiap tujuan mengandung nilai, yang dirumuskan melalui observasi, pilihan dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke waktu.

Sementara itu, Mahmud Al-Sayyid Sulthan dalam Mafahim Tarbiyah fi al-Islam menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah haruslah memenuhi beberapa karakteristik seperti kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, aktual, ideal dan mencakup jangkauan untuk masa yang panjang.7 Dengan karakteristik ini, tujuan pendidikan harus mencakup aspek kognitif (fikriyyah ma’rofiyyah), afektif (Khuluqiyyah), psikomotor (jihadiyyah), spiritual (ruhiyyah), dan sosial kemasyarakatan (ijtima’iyyah).8

Dengan demikian “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


  1. PENGERTIAN : PENDIDIKAN, HUMANIS DAN RELIGIUS

Untuk memeperjelas makna pendidikan, humanis dan religius yang sebenarnya ketiga terma tersebut saling berhubungan erat dalam konteks pendidikan Islam, maka berikut defenisi dari ketiga terma tersebut diatas :

  1. PENDIDIKAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.9

Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.10 Kemudian dilihat dari kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak. Ia harus dipancing dan digali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Jadi pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar ia dapat di nikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.11

Istilah education, dalam Bahasa Inggris yang berasal dari Bahasa Latin educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi disini ada tiga hal yang terlibat : ilmu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk ke kepala.12

Dalam Islam, istilah “pendidikan” sering diterjemahkan dengan kata tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tahdzib (pengarahan) dan lain-lain.13 Jadi beberapa pengertian dari pendidikan tersebut dapat disimpulkan, menurut Ahmad Tafsir bahwa defenisi pendidikan secara luas yaitu; “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek jasmani, akal dan hati.”14 Diamana peserta didik bukan hanya sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Definisi inilah yang dikenal dengan tarbiyah.15



  1. HUMANIS

Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan “humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.”16

Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh Corliss Lamont dalam bukunya Philosophy of Humanism, ia mengatakan; humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.17

Sedangkan humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.

Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qurt`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.18 Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang

kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.

Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.19 Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.

Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.20 Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.21 Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).

Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.

Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.

Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.

Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.


  1. RELIGIUS


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara), Thn. 1987

Hasan, Karnadi. “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, (IAIN Walisongo Semarang), Thn. 2000

Freire, Paulo. dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), (Kanisius), Thn. 2001

Malik Fadjar, Malik. dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), Thn. 2004

Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media), Thn. 1992

Dewey, John. Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company), Thn. 1964

Sulthan, Al-Sayyid Mahmud. Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif), Thn. 1981

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru), Thn 2003

Suyudi, H.M. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj), Thn. 2005

Abd al-Baqi, Fuad, Muhammad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr), Thn. 1997 M/141 H

lamont, Corliss. The Philosophy of Humanism, Thn. 1977

Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.

1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 119

2 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.

3 Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.

4 Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v

5 Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.

6 John Dewey, Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company, 1964), hlm 105-106. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1916, yang kemudian mengalami revisi tahun 1944

7 Mahmud Al-Sayyid Sulthan, Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1981),hlm.104-105

8 Ibid,, hlm. 91-103.

9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 232

10 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 1

11 Ibid,. hlm.2

11

12 Ibid,.

13 H.M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005), hlm. 15

Dari term-term tersebut, Al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta’lim, dan tazkiyah sebagai istilah yang mengacu pada term “pendidikan”


14 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan…..hlm 26

15 Kata “tarbiyah” secara bahasa berarti; pengatur, tuan, penguasa, pengampu dan pelindung. Arti tersebut menunjukkan sikap pengampu, sehingga Tuhan desebut Robbun karena kekuasaan dan pengampunannya kepada makluk. Dalam pendidikan istilah tersebut identik untuk konteks anak yang belum dewasa. Lihat Al-Raghib,….hlm. 189

16 Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing

17 Corliss lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hlm. 116

18 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/141 H) hlm. 152-153

19 Ibid., hlm. 895-899

20 Ibid., hlm. 32

21 Ibid., hlm. 119-120