Jumat, September 11, 2009

Filsafat Ilmu

A. Pendahuluan

Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sebagaimana yang dilakukan manusia (actus homini). Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertentu, khusus dan istimewa[1]

Diantara hal lain yang erat kaitannya dengan filsafat adalah eksistensi etika, ilmu dan agama, yang kemudian akan dibahas selanjutnya pada makalah ini. Diskursus mengenai etika, ilmu dan agama sesungguhnya diantara satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling mendukung. Etika erat kaitannya dengan sikap dan moral, ilmu berhubungan dengan sebuah proses dimana orang dapat bersikap, berakhlak dan memiliki moral budi luhur melalui ilmu pengetahuan, dan agama adalah puncak dari segalanya dan sebagai penerang, pencerah, pelurus dan sistem kontrol dari kebablasan kinerja dari ilmu pengetahuan.

Adapun tema “Seni (Etika), Ilmu, dan Agama” ditulis oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali ketika sambutan sebagai Menteri Agama dalam Pelantikan Panitia Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat Nasional ke-V pada 13 Juni 1972 di Jakarta. Beliau menyebutkan bahwa karena ajaran dari al-Qur’an itu maka timbullah pelbagai macam cabang ilmu pengetahuan yang karena penghayatannya dinamis maka bangsa Arab juga bangsa-bangsa lain yang pada saat itu tenggelam dalam kemunduran, bangkit menjadi bangsa-bangsa yang maju. Dengan al-Qur’an maka dapat ditimbulkan tiga hal sekaligus, seni (etika), ilmu, dan agama. Dengan seni (etika) hidup menjadi halus dan syahdu, dengan ilmu hidup menjadi maju dan enak, serta dengan agama hidup menjadi bermakna dan bahagia.[2]

Lebih lanjut, tulisan ini akan mencoba menguraikan ketiga tema diatas yakni etika, ilmu dan agama secara singkat. Pertama, dikemukakan tentang pengertian etika, dan pembagiannya. Kedua, tentang ilmu, pengertian ilmu, ilmu bebas nilai atau tidak dan Ketiga, tentang agama, sebagai tiang penyangga dan control sistem bagi keduanya. Pengertian agama, perlukah beragama dan agama antara absolutisme dan relativisme. Dan untuk mempermudah memahami tulisan ini, maka dari ketiga kategori tersebut akan dibagi sesuai dengan temanya masing-masing.

B. Etika, Ilmu dan Agama

Dalam masyarakat religius, ilmu di pandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia yang diberi daya fikir oleh Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi.[3] Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadangkala menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saling bertentangan. Dalam filsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai-nilai agama, kemanusiaan dan lingkungan. Dengan demikian filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu.

Dalam suatu Hadis disebutkan, “Barang siapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka dengan ilmu”.

Hadis tersebut mempertegas bahwa ilmu menjadi pengendali dari perkembangan peradaban. Akan tetapi, keterbatasan akal manusia dalam eksperimentasi ilmu pengetahuan seringkali berlandaskan trial and erros. Oleh karena itu, etika selalu dibutuhkan untuk menjaga kenetralan ilmu. Akan lebih sempurna, jika ilmu yang dilaksanakan dengan pertimbangan etika diperkuat dengan nilai-nilai religiusitas. Mengapa ?. Karena kebenaran ilmu adalah kebenaran ilmiah yang temporal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran absolut. Ibarat pepatah: “science without religion is blind, religion without science is lame” yang berarti ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.

1. Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.

Secara istilah etika memunyai tiga arti; Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika sangat berkaitan dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena pokok kajian etika terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, baik” dan “buruk”.

Etika dalam konteks ilmu adalah nilai (value). Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan dari sinilah kemudian sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan etika sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangan ilmu. Dalam konteks ini, eksistensi etika dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.

a. Macam-macam etika

1. Etika deskriptif

Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat. Dengan arti lain juga mendekskripsikan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidikannya adalah individu-individu, kebudayaan-kebudayaan.

2. Etika normatif

Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang mempermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.

3. Metaetika

Meta berarti melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya tugas filsafat.

Di awali dengan kata meta (Yunani) berarti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang digunakan di bidang moral.

Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang ragam pengertian moral.

Moral berasal dari bahasa latin moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Bila dijabarkan lebih jauh moral mengandung arti; (1) baik-buruk, benar-salah, tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia, (2) tindakan benar, adil, dan wajar, (3) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan kepastian untuk mengarahkan kepada orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, (4) sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

Singkatnya, etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani yang bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya tidak ditunjuk.

2. Ilmu

Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran Barat. Ilmu pengetahuan dan Tekhnologi yang dikembangkan oleh bangsa Barat telah menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan pada awalnya adalah suatu sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya atau menyesuaikan lingkungannya dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya.

Ilmu pengetahuan pada awalnya diciptakan dan dikembangkan untuk membuat manusia lebih mudah dan lebih nyaman untuk dinikmati, artinya ilmu diciptakan dan dikembangkan sebagai sarana untuk membantu manusia meringankan beban kehidupannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, ilmu tidak lagi sekedar sarana kehidupan bagi manusia, tetapi telah menjadi sesuatu yang substantif yang “menguasai” kehidupan umat manusia baik secara ekstensif maupun intensif.

Ilmu atau yang dikenal pula dengan pengetahuan bersumber dari otak. Ilmu memberi keterangan bagaimana kedudukan suatu masalah dalam hubungan sebab akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal di antara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat dengan keterangan ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu keterangan. Oleh karena itu, keterangan ilmu bersifat relatif. Orang yang berilmu akan menerima setiap kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Tiap-tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.

a. Pengertian Ilmu

Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab akibat atau asal-usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata Yunani “aitia”, yakni prinsip pertama.[4] Ilmu dalam bahasa Arab, berasal dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui. Jadi ilmu itu adalah masdar atau kata benda abstrak, orang yang berilmu disebut ‘alim, yaitu orang yang tahu atau subjek, sedang yang menjadi objek ilmu disebut ma’lum, atau yang diketahui.[5]

Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses perkembangannya selanjutnya ilmu dipakai untuk dua hal. Pertama, sebagai masdar atau proses pencapaian ilmu. Kedua, sebagai objek ilmu (ma’lum). Sebagai objek ilmu disoroti dari segi hirarkinya, dari segi peri penting atau tidak pentingnya, sedang sebagai proses ilmu disoroti dari segi adakah ilmu itu mungkin atau tidak.[6] Ada dua mazhab yang menanggapi hal ini, ilmu sebagai proses, yaitu realisme dan idealisme. Realisme beranggapan bahwa ilmu dan kebenaran adalah masalah kecocokan (correspondence), yang benar adalah yang cocok dengan kebenaran. Tetapi siapakah yang sanggup mencapai kebenaran itu ? tidak semua orang. Kebanyakan orang hanya mencapai kebetulan.[7] Salah satu versi idealisme berkata bahwa untuk mencapai kebetulanpun, bagi sebahagian besar manusia, sudah cukup.

Menyingkap sedikit tentang pandangan al-Qur’an terhadap ilmu, bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisa wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw yakni surat al-Alaq ayat 1-5, yang artinya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya”. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.[8] ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan. Sehingga ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan.

Selanjutnya, kemudian jika melirik pada pendapat Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu produk-produk, proses, dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Dan ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative) yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan skeptisime yang teratur.[9]

Van Melsen[10] mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu: (1) Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. (2) Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan. (3) Universalitas ilmu pengetahuan. (4) Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif. (5) Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena ilmu itu harus dapat dikomunikasikan. (6) Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru. (7) Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan yang memanfaatkan data-data baru. (8) Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.

Menurut Ismaun ciri-ciri umum dari ilmu diantaranya adalah; (1) Obyektif : ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif. (2) Koheren : pernyataan atau susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan. (3) Reliable : produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reliabilitas) tinggi. (4) Valid : produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal. (5) Memiliki generalisasi : suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum. (6) Akurat : penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi. (7) Dapat melakukan prediksi : ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

b. Ilmu: Bebas Nilai (Netral) atau Tidak

Pertama bahwa perlu dirumuskan dahulu apa yang dimaksud dengan bebas nilai (value free). Josef Situmorang[11] menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu: Pertama, ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian yakni bebas dari pengaruh eksternal. Seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Ketiga, penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Menurut tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan (values relevant). Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, dapat dipahami mengingat disatu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu (ilmuwan) dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dbuatnya.

Namun pada batasannya, ilmu harus tetap memiliki nilai tersendiri dalam hal masing-masing bidang disiplin ilmu. Artinya, bahwa ilmu harus berpihak khususnya dalam segi disiplin ilmu tertentu. Sebagai contoh ilmu ekonomi atau pendidikan, maka dari kedua contoh bidang ilmu tersebut harus memiliki ciri khas atau nilai tersendiri yang terkait dengan permasalahan ilmu tersebut. Dalam arti kata lain, harus memiliki warna tersendiri yang sesuai dengan tema atau topik dalam bidang ilmu tersebut.

3. Agama

Agama adalah satu kata yang sangat mudah sekali untuk diucapkan, namun sering kali kata tersebut disalah artikan oleh pemeluknya. Ketika seseorang ditanya, apakah kamu beragama, maka secara spontanitas pasti dijawab ia aku beragama atau memiliki agama. Tetapi responsibilitas dari ucapan tersebut tidaklah direalisasikan pada setiap ucapan dan perbuatan. Untuk lebih memahami apakah itu agama, pada pembahasan ini akan diungkap beberapa pendapat para pakar tentang agama.

Jhon Locke (1632-1704) misalnya, pada akhirnya berkesimpulan bahwa, “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberi tahu kepadaku”.

Mahmud Syaltut menyatakan bahwa, Agama adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya umtuk menjadi pedoman hidup manusia. Sementara itu Syaikh Muhammad Abdullah Badran, dalam bukunya al-Madkhal ila al-Adyan, berupaya untuk menjelaskan arti agama dengan merujuk kepada al-Qur’an. Ia memulai bahasannya dengan pendekatan kebahasaan.

Din dalam bahasa Arab yang biasa diterjemahkan dengan “Agama” menggambarkan hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua. Sehingga kemudian agama adalah hubungan antara makhluk dan khaliq-nya. Hubungan ini mewujud dalam sikap bathinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.[12]

a. Perlukah Beragama ?

Paling tidak ada empat bekal yang oleh Allah swt berikan kepada semua makhluk-Nya. Keempat bekal tersebut kiranya cukup bagi makhluk-Nya terutama manusia untuk hidup di dunia ini dan untuk menemukan kebenaran. Keempat bekal tersebut adalah; insting, panca indera, akal dan agama. Insting dan panca indera diberikan kepada makhluk yang bernama hewan atau binatang, dengan keduanya makhluk ini sudah bisa dan cukup untuk hidup dan menikmati kehidupan. Namun, manusia belumlah cukup untuk bisa hidup yang sempurna dengan hanya kedua pemberian Allah tersebut. Mereka masih membutuhkan akal dan agama, dengan akal manusia dapat membedakan baik dan buruk dan agama adalah sebagai filter dan sistem kontrol dari kinerja akal. Akal tidak bisa menembus dimensi sesuatu yang diluar nalar dan rasional, maka konsepsi agama yang digunakan untuk menjawabnya. Untuk menemukan kebenaran, maka agamalah sebagai solusinya. Disinilah perlunya aspek agama atau sisi religius dalam kehidupan manusia.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Petani memerlukan baju yang tidak dapat dibuatnya sendiri, karena keterbatasan waktu dan pengetahuannya. Di sisi lain, penenun juga demikian, karena untuk makan ia membutuhkan ikan, lauk pauk dan sebagainya. Bila sakit ia membutuhkan dokter dan obat serta masih banyak lagi kebutuhan manusia yang kesemuanya baru dapat terpenuhi apabila mereka bekarja.

Hidup manusia bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai ke tujuan. Namun, karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.

Oleh karena itu, setiap manusia dan makhluk hidup di muka bumi ini memerlukan peraturan. Dan tentunya peraturan tersebut sudah pasti ada yang mengaturnya. Dalam kehidupan manusia dan yang mengatur lalu lintas kehidupan manusia tersebut adalah hanyalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Dialah Allah swt, Allah yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara terperinci – khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang kemudian disebut dengan agama.

b. Agama: Antara Absolutisme Dan Relativisme

Ada anggapan dan pendapat yang menyatakan bahwa, “manusia modern tidak lagi dapat menerima pandangan yang menyatakan hanya satu agama yang benar”. Pernyataan tersebut sehingga kemudian menyebabkan absolutisme dalam beragama akan sangat berkurang atau pupus sama sekali. Seandainya ada paham yang menyatakan, “kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya”. Dalam bahasa agama disebut dengan tanawu’ al’-ibadah, niscaya kemudian tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan.[13]

Namun kemudian, dalam Islam ada ranah-ranah tertentu yang tidak bisa di masuki oleh pendekatan rasional, artinya ranah inilah yang merupakan sisi absolutisme Islam yang harus tetap menjadi patokan syar’i bagi kaum muslimin. Kedua ranah tersebut adalah wilayah teologi, yang membicarakan tentang sisi ketuhanan yang sudah pasti absolut. Absolut atinya konsep La Ilah illa Allah, tiada Tuhan yang hak untuk disembah melainkan Allah swt semata.Yang kedua adalah wilayah Ibadah, yang merupakan sisi interaksi makhluk kepada sang kholiknya. Bukti penghambaan dan pengabdian manusia hanyalah kepada Allah swt. Wilayah ini tidak bisa di intervensi oleh pihak-pihak lain, karena hal ini merupakan interaksi individual dan ritualitas seseorang kepada penciptanya.

Istilah relativisme dalam beragama adalah suatu keniscayaan di dalam kehidupan sosial, tetapi dalam Islam hanya diperbolehkan dalam wilayah mua’malah saja. Karena hidup berinteraksi dengan sosial pastinya harus saling menghormati dan saling menghargai. Apalagi antar agama, adalah suatu masalah yang sangat riskan dan penuh dengan dinamika. mengapa saya sebut disini dengan suatu masalah, karena banyak sekali kasus yang mengatas namakan agama, sehingga muncul pelbagai pesoalan dan masalah.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, relativisme beragama akan bermuara pada toleransi antar agama. Relativisme beragama ditujukan untuk tidak memaksa klaim kebenaran suatu agama terhadap agama yang lain yang juga mempunyai klaim kebenaran menurut versinya. Sebab memahami agama secara absolut, klaim kebenaran mutlak, ketika agama menjadi eksklusif dan tertutup, menganggap agama lain salah dan menyesatkan, maka agama akan menjadi pemantik timbulnya bentuk-bentuk kekerasan yang berujung konflik.

Nurcholish Madjid seringkali membenturkan relativisme dengan absolutisme. Menurutnya adanya klaim absolutisme yang ditunjukkan secara berlebihan adalah model pendekatan terhadap agama yang harfiah, karena dengan pendekatan agama yang melampaui teks-teksnya, tidak literal, seseorang akan melihat kebenaran pada agama lain sebagaimana ia menemukan kebenaran pada agamanya sendiri.

Menurut al-Imam al-Syathibi, “sedikit sekali-bahkan hampir dikatakan tidak ada- satu teks keagamaan baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits yang secara berdiri sendiri dapat dipahami memiliki interpretasi tunggal (sehingga menjadi absolut).”

M. Quraish Shihab dalam bukunya membumikan al-Qur’an, menyebutkan bahwa agama-agama monotehisme dengan ajaran ketuahanan yang maha esa, pada hakikatnya menganut universalisme, Tuhan yang maha esa itulah yang menciptakan seluruh manusia dan seluruh manusia bersumber dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa, atau warna kulit.

Disamping itu, diyakini secara penuh oleh setiap penganut agama bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama, tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Manusia diberi-Nya kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu pula Dia menuntut ketulusan beragama dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk nyata atau terselubung, besar atau sekecil-kecilnya sekalipun.

Yang dituju oleh setiap agama adalah kemaslahatan umat manusia. Tuhan sedemikian besar, sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhluk-Nya. Dia dapat “mengalah” dan menganugerahkan hak-Nya demi hasil karya seninya yang paling sempurna, yaitu manusia.

C. Kesimpulan

Perbincangan mengenai etika, ilmu dan agama adalah sama halnya dengan memperbincangkan tentang moral (tingkah laku) sebagai ukuran standar keselamatan agar manusia dapat menuju puncak keselamatan, ilmu sebagai penerangnya dan agama sebagai pedoman kebenaran yang hakiki dan sebagai pondasi bagi manusia dalam membangun jati dirinya.

Pengamalan agama adalah sebagai tolak ukur dari kebahagiaan seseorang, etika dan ilmu keduanya adalah sarana untuk menuju keselamatan dan kebahagiaan tersebut. Jadi etika, ilmu dan agama antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. ilmu menjadi pengendali dari perkembangan peradaban. Akan tetapi, keterbatasan akal manusia dalam eksperimentasi ilmu pengetahuan seringkali berlandaskan trial and erros.

Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.

Oleh karena itu, etika selalu dibutuhkan untuk menjaga kenetralan ilmu. Akan lebih sempurna, jika ilmu yang dilaksanakan dengan pertimbangan etika diperkuat dengan nilai-nilai religiusitas. Karena kebenaran ilmu adalah kebenaran ilmiah yang temporal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran absolut. Ibarat pepatah: “science without religion is blind, religion without science is lame” yang berarti ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.

DAFTAR PUSTAKA

Langgulung. Hasan, 2004. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru.

Langgulung. Hasan, 2003. Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru.

Shihab. Quraish, 2007. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan Pustaka.

Shihab. Quraish, 2009 Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Pustaka.

Runes. D, 1979. Dictionary Philosopy, Littlefield Adams dan Co. Totowa, New Jersey

Joesoef. Daoed, 1987. Pancasila Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit Kedaulatan Rakyat.

Van Melsen. Van, 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Jakarta: Gramedia

Situmorang. Josef, 1996. Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai, dalam Majalah Filsafat DRIYARKARA, No. 4 Th. XXII, Jakarta:

Ali. A. Mukti, 1972. Seni Ilmu dan Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida.

Mustansyir. Rizal & Munir. Misnal, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 1

[2] A. Mukti Ali, Seni Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972), hal. 5-7

[3] Slamet Ibrahim, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Sekolah Farmasi ITB, 2008)

[4] D. Runes, Dictionary Philosopy, Littlefield Adams dan Co. Totowa, (New Jersey: 1979), hlm. 196. dikutip dari Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 138

[5] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), hal. 115

[6] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hal. 332

[7] Istilah kebetulan disini digunakan untuk membedakannya dari kebenaran. Sebab kelemahan manusia, dalam usahanya mencari kebenaran, yang ditemuinya hanyalah kebetulan. (kebenaran yang tidak sempurna). Pencari-pencari kebenaran ini diumpamakan seperti orang buta dengan gajah. Gajah itulah kebenaran. Seorang yang buta ketika memegang kaki gajah kemudian ia mengatakan gajah itu seperti tiang rumah. Dalam hal ini dia betul tapi tidak benar. Yang satu lagi memegang telinganya dan berkat bahwa gajah itu seperti niru, dia betul tapi tidak benar.

[8] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 571

[9] Daoed Joesoef, Pancasila Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Kedaulatan Rakyat, 1987), hlm. 25-26. Dikutip dari Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001), hal. 140

[10] Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 65-66. Dikutip dari Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 141

[11] Josef Situmorang, Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai, dalam Majalah Filsafat DRIYARKARA, No. 4 Th. XXII, (Jakarta: 1996). Dikutip dari Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 170

[12] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), hal. 324

[13] Quraish, Membumikan…, hal. 338

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar positif dan membangun di harapkan