Selasa, April 07, 2009

Nahdlatul Ulama (NU)

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam'iyah diniyah islamiah) yang berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1334 H) oleh K.H. Hasyim Asy'ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur.
Sejak awal K.H. Hasyim Asy'ari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam NU. Tetapi, tidak diragukan bahwa penggerak di balik berdirinya organisasi NU adalah Kiai Wahab Chasbullah, putra Kiai Chasbullah dari Tambakberas, Jombang. Pada tahun 1924 Kiai Wahab Chasbullah mendesak gurunya, K.H. Hasyim Asy'ari, agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Namun, ketika itu pendiri pondok pesantren Tebu Ireng ini, K.H. Hasyim Asy'ari, tidak menyetujuinya. Beliau menilai bahwa untuk mendirikan organisasi semacam itu belum diperlukan. Baru setelah adanya peristiwa penyerbuan Ibn Sa'ud atas Mekah, beliau berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Semangat untuk merdeka dari penjajahan Belanda pada waktu itu, dan sebagai reaksi defensif maraknya gerakan kaum modernis (Muhammadiyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam kegiatan politik, Sarekat Islam) di kalangan umat Islam yang mengancam kelangsungan tradisi ritual keagamaan khas umat islam tradisional adalah yang melatarbelakangi berdirinya NU. Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yang untuk pertama kalinya yang diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang.
Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan dengan praktik keagamaan kaum tradisional yang kental dengan budaya lokal. Kaum puritan yang lebih ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk memberantas praktik ibadah yang dicampur dengan kebudayaan lokal, atau yang lebih dikenal dengan praktik ibadah yang bid'ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yang aslinya, yaitu Alquran dan hadis, yaitu dengan ijtihad para ulama yang memenuhi syarat, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional, yang dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani, pemikiran agama, dan kepercayaan lainnya.
Bagi banyak kalangan ulama tradisional, kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadian. Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini (meskipun mereka tetap mengakui mazhab yang lainnya). Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya, karena (dinilainya) di zaman sekarang ini tidak ada orang yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.
Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dari perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama di perempat abad ke-20. Berdirinya NU diawali dengan lahirnya Nahdlatul Tujjar (1918) yang muncul sebagai lambing gerakan ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Taswirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung oleh tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan. Tiga pilar pilar tersebut adalah (a) wawasan ekonomi kerakyatan; (b) wawasan keilmuan dan sosial budaya; dan (c) wawasan kebangsaan.
NU menarik massa dengan sangat cepat bertambah banyak. Kedekatan antara kiai panutan umat dengan masyarakatnya dan tetap memelihara tradisi di dalam masyarakat inilah yang membuat organisasi ini berkembang sangat cepat, lebih cepat daripada organisasi-organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing, yang terdiri dari keluarga-keluarga para santrinya dan penduduk desa yang biasa didatangi untuk berbagai kegiatan keagamaan. Dan, para santri yang telah kembali pulang ke desanya, setelah belajar agama di pondok pesantren, juga memiliki andil besar dalam perkembangan organisasi ini, atau paling tidak memiliki andil di dalam penyebaran dakwah Islam dengan pemahaman khas NU. Pada tahun 1938 organisasi ini sudah mencapai 99 cabang di berbagai daerah. Pada tahun 1930-an anggota Nu sudah mencapai ke wilayah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Selatan. Kini organisasi NU menjadi organisasi terbesar di Indonesia, yang tersebar di seluruh Provinsi, bahkan sekarang telah berdiri cabang-cabang NU di negara-negara lain.
Hubungan dengan kaum pembaru yang sangat tegang pada tahun-tahun awal berdirinya NU secara bertahap diperbaiki. Sekitar tahun 1930-an berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak. Pada muktamar ke-11 (1936) di Banjarmasin Kiai Hasyim Asy'ari mengajak umat Islam Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian, dan mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yang sebenarnya hanyalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Apa yang dikatakan oleh Kiai Hasyim Asy'ari adalah tepat, dan hal itu setidaknya dapat menumbuhkan rasa persatuan di kalangan umat Islam. Karena, perbedaan di antara umat Islam itu sudah pasti terjadi. Yang penting perbedaan itu tidaklah menyangkut hal-hal yang mendasar (ushul). Meskipun ajakan ini ditujukan bagi kalangan sendiri, tetapi mendapat respon yang positif dari kalangan pembaru. Sehingga, hubungan antara kedua belah pihak semakin lama semakin baik.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus tetap saja terjadi, bahkan hingga era reformasi sekarang ini. Ketegangan yang cukup besar terlihat menjelang jatuhnya pemerintahan Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) tahun 2001. Warga NU yang mendukung Gus Dur bersitegang dengan warga Muhammadiyah yang mendukung Amin Rais. Kejadian ini sempat membuat beberapa masjid Muhammadiyah diserang oleh pendukung fanatik Gus Dur di kantong-kantong NU.
Yang lebih unik lagi adalah bahwa perbedaan yang selama ini terjadi telah mengakibatkan tempat ibadah keduanya tidak bisa bersatu. Kristalisasi nilai-nilai ini menjadikan masjid NU berbeda dengan masjid Muhammadiyah. Perbedaan yang dimaksud dalam arti bahwa masjid NU tidak ditempati atau digunakan oleh warga Muhammadiyah dan sebaliknya. Jika di suatu masjid terlihat tidak ada zikiran yang panjang dan seru serta tidak ada kunut, orang NU akan mengatakan bahwa itu masjid Muhammadiyah. Nampaknya kelompok reformis itu terwakili oleh organisasi Muhammadiyah. Padahal, kelompok pembaru sesungguhnya tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah, masih banyak dari organisasi lain, seperti Persatuan Islam (persis), Al-Irsyad, dan lain-lain sejenisnya, mereka termasuk dalam kelompok pembaru. Namun, warga NU pada umumnya lebih mengenal Muhammadiyah. Karena, organisasi tersebut memang yang lebih besar, dan terbesar kedua setelah NU.
Dalam perjalanannya, NU pernah melibatkan diri dalam politik praktis, yaitu menjadi partai politik (parpol) sejak tahun 1954 (Orde Lama). Ini sebuah kesalahan besar bagi NU. Keberadaanya di kancah perpolitikan tidak membuatnya semakin maju, justru menjadi semacam komoditas politik murahan bagi kalangan politikus. Dengan pengalamannya yang pahit ini, di masa Orde Baru NU memutuskan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, dengan semangat kembali ke "Khittah 26". Sejak kembalinya orientasi NU kepada Khittah NU pada muktamar ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984, NU berhasil melaksanakan mabadi khaira ummah (prinsip dasar sebaik-baik umat) melalui pendekatan sosial budaya, bukan pendekatan kekuasaan-politik, dengan diperhatikannya NU sebagai jam'iyyah.
Keberhasilan mempertahankan NU sebagai jam'iyyah telah memberi andil besar kepapa perkembangan pluralisme politik di kalangan NU khususnya dan di masyarakat Indonesia pada umumnya, yang berarti telah menyumbang kepada praktik dasar-dasar kehidupan demokratis. Keberhasilan ini telah membangun citra NU sebagai organisasi yang cukup independent dalam menghadapi gempuran-gempuran politik dari penguasa, sebagai perekat bangsa dan pengayom kelompok minoritas. Di masa reformasi, ketika kran kebebasan mendirikan organisasi politik terbuka, muncul desakan dari warga NU sendiri untuk kembali menjadi parpol. Tetapi, belajar dari pengalaman masa lalu, NU berketetapan untuk mempertahankan diri sebagai organisasi sosial keagamaan, konsisten dengan Khittah 1926.
Masyarakat Pendukung NU
Masyarakat pendukung NU sangat beragam. Di satu pihak ada kelompok ulama, intelektual, birokrasi, politisi, professional, seniman, dan budayawan. Tokoh-tokoh elite merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang sering menjadi panutan bagi masyarakat, baik di desa maupun di perkotaan. Nasihat-nasihat dan saran-saran biasanya didengarkan oleh masyarakat secara umum. Kelompok inilah yang banyak memegang tampuk kepemimpinan NU di berbagai tingkatan.
Selain itu, yang termasuk pendukung NU, bahkan pendukung terbesar adalah petani, buruh, nelayan, pengusaha kecil, yang biasanya digolongkan sebagai kelompok masyarakat akar rumput (rakyat jelata) yang sebagian besar di daerah pedesaan.
Ciri Khas NU
Ciri khas NU, yang membuatnya berbeda dengan organisasi sejenis lainnya adalah ajaran keagamaan NU tidak membunuh tradisi masyarakat, bahkan tetap memeliharanya, yang dalam bentuknya yang sekarang merupakan asimilasi antara ajaran Islam dan budaya setempat.
Ciri khas yang satu ini juga lebih unik, bagi warga nahdliyyin, ulama merupakan maqam tertinggi karena diyakini sebagai waratsatul anbiya'. Ulama tidak saja sebagai panutan bagi masyarakat dalam hal kehidupan keagamaan, tetapi juga diikuti tindak tanduk keduniannya. Untuk sampai ke tingkat itu, selain menguasai kitab-kitab salaf, Alquran dan hadis, harus ada pengakuan dari masyarakat secara luas. Ulama dengan kedudukan seperti itu (waratsatul anbiya') dipandang bisa mendatangkan barakah. Kedudukan yang demikian tingginya ditandai dengan kepatuhan dan penghormatan anggota masyarakat kepada para kiai NU.
Persaudaraan (ukhuwah) di kalangan nahdliyyin sangat menonjol. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dengan nilai persaudaraan itu, NU ikut secara aktif dalam membangun visi kebangsaan Indonesia yang berkarakter keindonesiaan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan NU bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk final dari perjuangan kebangsaan masyarakat Indonesia. Komitmen yang selalu dikembangkan adalah komitmen kebangsaan yang religius dan berbasis Islam yang inklusif.
Ciri menonjol lainnya adalah bahwa komunikasi di dalam NU lebih bersifat personal dan tentu sangat informal. Implikasi yang sudah berjalan lama menunjukkan bahwa performance fisik terlihat santai dan komunikasi organisasional kurang efektif. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan organisasi seringkali sulit mengikat kepada jamaah. Jamaah seringkali lebih taat kepada kiai panutannya daripada taat kepada organisasi.
Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama
Untuk mengetahui lebih detail tentang organisasi keagamaan ini, lebih baiknya dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. (Anggaran Dasar yang tertulis berikut ini berdasarkan Surat Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 003/MNU-30/11/1999)
Mukadimah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Bahwa agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam di mana ajarannya mendorong kegiatan para pemeluknya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Bahwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah Indonesia terpanggil untuk melanjutkan dakwah islamiah dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan mengorganisasikan kegiatan-kegiatannya dalam satu wadah yang bernama Nahdlatul Ulama, yang bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah.
Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga Nahdlatul Ulama menuju khaira ummah adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Maka, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Taala, dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, jam'iyah Nahdlatul Ulama berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam merupakan keparcayaan terhadap Allah Subhanahu wa Taala, sebagai inti akidah Islam, yang meyakini bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Taala.
Bahwa cita-cita bangsa Indonesia hanya dapat diwujudkan secara utuh apabila seluruh potensi nasional difungsikan secara baik, dan Nahdlatul Ulama berkeyakinan bahwa keterlibatannya secara penuh dalam proses perjuangan dan pembangunan nasional merupakan suatu keharusan.
Bahwa untuk mewujudkan hubungan antarbangsa yang adil, damai, dan menusiawi menuntut saling pengertian dan saling membutuhkan, mak Nahdlatul Ulama bertekad untuk mengembangkan ukhuwah islamiah yang mengemban kepentingan nasional.
Menyadari hal-hal tersebut, maka disusunlah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama sebagai berikut.
BAB I
NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 1
Jam'iyah ini bernama Nahdlatul Ulama disingkat NU. Didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M, untuk waktu yang tidak terbatas.
Pasal 2
Pengurus Besar Jam'iyah Nahdlatul Ulama berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia.
BAB II
AQIDAH/ASAS
Pasal 3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah islamiah beraqidah/berasas Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah dan menganut salah satu dari empat mashab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan berdab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
LAMBANG
Pasal 4
Lambing Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis khatulistiwa, yang tersebar di antaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah khatulistiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri; semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

BAB IV
TUJUAN DAN USAHA
Pasal 5
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negar Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana Pasal 5 di atas, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut.
a. Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiah dan amar makruf nahi mungkar serta meningkatkan ukhuwah islamiah.
b. Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya penyelengaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
c. Di bidang sosial, mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat dan bantuan terhadap anak yatim, fakir-miskin, serta anggota masyarakat yang menderita lainnya.
d. Di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
e. Mengembangkan usaha-usaha lain yang beranfaat bagi masyarakat banyak (maslahat al-amanah), guna terwujudnya khaira ummah.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 7
1. Keanggotaan Nahdlatul Ulama terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan.
2. Tiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan sudah aqil baligh yang menyatakan keinginannya dan sanggup menaati Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama dapat diterima menjadi anggota.
3. Ketentuan menjadi anggota dan pemberhentian keanggotaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 8
1. Anggota Nahdlatul Ulama berkewajiban mendukung usaha-usaha yang dijalankan Nahdlatul Ulama, dan berhak untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama.
2. Ketentuan mengenai kewajiban dan hak anggota serta lain-lainnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VI
STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI
Pasal 9
Struktur organisasi Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Pengurus Besar
b. Pengurus Wilayah
c. Pengurus Cabang
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang
e. Pengurus Ranting
Pasal 10
1. Untuk melaksanakan tujuan dan usaha-usaha sebagaimana dimaksud pasal 5 dan 6, Nahdlatul Ulama membentuk perangkat organisasi yang meliputi: Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom yang merupakan bagian dari kesatuan organisatoris jam'iyah Nahdlatul Ulama.
2. Ketentuan pembentukan Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VII
KEPENGURUSAN
Pasal 11
1. Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri atas Mustasar, Syuriyah, dan Tanfidziyah.
2. Mustasyar adalah penasihat.
3. Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama.
4. Tanfidziyah adalah pelaksana harian.
5. Tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 12
1. Masa jabatan pengurus tersebut dalam pasal 9 adalah 5 (lima) tahun di semua tingkatan.
2. Masa jabatan pengurus Lembaga dan Lajnah disesuaikan dengan masa jabatan pengurus Nahdlatul Ulama di tingkat masing-masing.
3. Masa jabatan pengurus Badan-Badan Otonom ditentukan dalam peraturan dasar Badan Otonom yang bersangkutan.
Pasal 1
1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Besar.
b. Pengurus Besar Harian Syuriyah.
c. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Besar Harian Tandfidziyah.
e. Pengurus Besar Lengkap Tandfidziyah.
f. Pengurus Besar Pleno.
2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Wilayah.
b. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah.
c. Pengurus Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah
f. Pengurus Wilayah Pleno.
3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Cabang Harian Syuriyah.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.
4. Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Majelis Wakil Cabang.
b. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Majelis Wakil Cabang harian Tanfidziyah.
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang Pleno.
5. Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Pengurus Ranting Syuriyah.
b. Pengurus Ranting Tanfidziyah.
c. Pengurus Ranting Pleno.
6. Ketentuan mengenai susunan dan komposisi pengurus diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 14
1. Pengurus Nahdlatul Ulama di semua tingkatan dipilih dan ditetapkan dalam permusyawaratan sesui tingkatannya.
2. Ketentuan pemilihan dan penetapan pengurus Nahdlatul Ulama diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 15
Apabila terjadi lowongan jabatan antarwaktu dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama, maka ketentuan pengisiannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VIII
PERMUSYAWARATAN
Pasal 15
Permusyawaratan di lingkungan Nahdlatul Ulama meliputi:
1. permusyawaratan tingkat nasional,
2. permusyawaratan tingkat daerah,
3. permusyawaratan bagi tingkat organisasi Nahdlatul Ulama.
Pasal 17
1. Permusyawaratan tingkat nasional di lingkungan Nahdlatul Ulama:
i. Muktamar
ii. Konferensi Besar
iii. Muktamar Luar Biasa
iv. Musyawarah Nasional Alim-Ulama

2. Ketentuan permusyawaratan nasional sebagaimana disebut dalam huruf a, b, c, dan d diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 18
1. Permusyawaratan untuk kepengurusan tingkat daerah meliputi:
i. Konferensi Wilayah
ii. Musyawarah Kerja Wilayah
iii. Konferensi Cabang
iv. Musyawarah Kerja Cabang
v. Konferensi Majelis Wakil Cabang
vi. Musyawarah Kerja Majelis Wakil Cabang
vii. Rapat Anggota
2. Permusyawaratan tingkat daerah, sebagaimana disebut dalam ayat 1 di atas diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 19
Permusyawaratan untuk lingkungan Lembaga dan Badan Otonom diatur dalam ketentuan intern Lembaga dan Badan Otonom yang bersangkutan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut.
a. Permusyawaratan tertinggi Badan Otonom diselenggarakan segera sesudah muktamar Nahdlatul Ulama berlangsung dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah muktamar berakhir;
b. Permusyawaratan tertinggi Badan Otonom merujuk kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan program-program Nahdlatul Ulama;
c. Segala hasil permusyawaratan dan kebijakan Lembaga Lajnah, dan atau Badan Otonom dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku jika bertentangan dengan keputusan muktamar, musyawarah nasional alim-ulama dan konferensi besar.
BAB IX
KEUANGAN DAN KEKAYAAN
Pasal 20
1. Keuangan Nahdlatul Ulama digali dari sumber-sumber dana di lingkungan Nahdlatul Ulama, umat Islam, maupun sumber-sumber lain yang halal dan tidak mengikat.
2. Sumber dana di lingkungan Nahdlatul Ulama diperoleh dari:
a. uang pangkal,
b. uang i'anah syahriyah,
c. uang i'anah sanawiyah,
d. sumbangan dari warga dan simpatisan Nahdlatul Ulama,
e. usaha-usaha lain yang halal.
3. Pemanfaatan uang pangkal, i'anah syahriyah dan i'anah sanawiyah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 21
1. Kekayaan Nahdlatul Ulama dan perangkatnya berupa dana inventaris kantor, gedung, tanah, dan lain-lain, benda bergerak maupun tidak, harus dicatatkan sebagai kekayaan organisasi.
2. Rais aam dan ketua umum pengurus besar Nahdlatul Ulama mewakili Nahdlatul Ulama di dalam maupun di luar pengadilan tentang segala hal dan segala kejadian, baik mengenai kepengurusan maupun tindakan kepemilikan, dengan tidak mengurangi pembatasan yang diputuskan muktamar.
3. Pengurus besar Nahdlatul Ulama dapat melimpahkan pemilikan atau penguasaan dan atau pengurusan kekayaannya kepada pengurus tingkat di bawahnya yang ketentuannya diatur di dalam peraturan organisasi.
BAB X
PERUBAHAN
Pasal 22
1. Anggaran Dasar ini hanya dapat diubah oleh keputusan muktamar yang sah yang dihadiri sedikitnya dua pertiga dari jumlah wilayah dan cabang yang sah dan sedikitnya disetujui oleh dua pertiga dari jumlah suara yang sah.
2. Dalam hal muktamar yang dimaksud ayat 1 (satu) ini tidak dapat diadakan karena tidak tercapai kuorum, maka ditunda selambat-lambatnya satu bulan dan selanjutnya dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang sama muktamar dapat dimulai dan dapat mengambil keputusan yang sah.
BAB XI
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal 23
1. Apabila Nahdlatul Ulama dibubarkan maka segala kekayaannya diserahkan kepada organisasi atau badan amal yang sepaham.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 di atas berlaku pula untuk pembubaran Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 24
Muqaddimah Qanum Asasy oleh Rais Akbar Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan naskah Khittah Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari Anggaran Dasar.
Pasal 25
Segala sesuatu yang belum cukup diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 26
Anggaran Dasar ini mulai berlaku sejak saat disahkan.
Ditetapkan di: Kediri
Tanggal: 18 Sya'ban 1420/16 November 1999
MUKTAMAR XXX NAHDLATUL ULAMA
PIMPINAN SIDANG PLENO XI

ttd.---------------------------------------------ttd.---------------------ttd.
Prof. Dr. Sayyid Aqiel al-Munawar --- H.M. Rozi Munir, S.E., M.Sc. --- H. Ahmad Bagja
Katib------------------------------- Ketua-------------------------Sekretaris


ANGGARAN RUMAH TANGGA
NAHDLATUL ULAMA
Bismillaahirrahmaanirrahiim
BAB I
KEANGGOTAN
Pasal 1
Keanggotaan Nahdlatul Ulama terdiri atas:
1. Anggota biasa, selanjutnya disebut anggota, ialah setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam, menganut salah satu mazhab empat, sudah aqil baligh, menyetujui akidah, asas, tujuan, usaha-usaha serta sanggup melaksanakan semua keputusan Nahdlatul Ulama;
2. Anggota luar biasa, ialah setiap orang yang beragama isla, sudah aqil baligh, menyetujui akidah, asas, tujuan, dan usaha-usaha Nahdlatul Ulama, namun yang bersangkutan berdomisili secara tetap di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Anggota kehormatan, ialah setiap orang yang bukan anggot biasa atau anggota luar biasa yang dianggap telah berjasa kepada Nahdlatul Ulama, dan ditetapkan dalam keputusan pengurus besar.
BAB II
TATA CARA PENERIMAAN DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN
Pasal 2
1. Anggota biasa pada dasarnya diterima melalui ranting di tempat tinggalnya.
2. Dalam keadaan khusus pengelolaan administrasi anggota yang diterima tidak melalui pengurus ranting diserahkan kepada pengurus ranting di tempat tinggalnya atau ranting terdekat jika di tempat tinggalnya belum ada pengurus ranting Nahdlatul Ulama.
3. Anggota luar biasa diterima melalui pengurus cbang dengan persetujuan pengurus besar.
Pasal 3
1. Penerimaan anggota biasa maupun anggota luar biasa menganut cara aktif dan diatur dengan cara:
a. Mengajukan permintaan menjadi anggota disertai pernyataan setuju pada akidah, asas, tujuan, dan usaha-usaha Nahdlatul Ulama secara tertulis atau lisan, dan membayar uang pangkal Rp500,00 (lima ratus rupiah);
b. Jika permintaan itu diluluskan, maka yang bersangkutan menjadi calon anggota selama 6 (enam) bulan, dengan hak menghadiri kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama yang dilaksanakan secara terbuka;
c. Apabila selama menjadi calon anggota yang bersangkutan menunjukkan hal-hal yang positif maka ia diterima menjadi anggota penuh dan kepadanya diberikan kartu tanda anggota (Kartanu);
d. Permintaan menjadi anggota dapat ditolak apabila terdapat alas an yang kuat, baik syar'i maupun organisasi.
2. Anggota keluarga dari anggota biasa Nahdlatul Ulama diakui sebagai anggota keluarga besar jam'iyah Nahdlatul Ulama.
Pasal 4
1. Anggota kehormatan dapat diusulkan oleh pengurus cabang atau pengurus wilayah dengan mempertimbangkan kesedian yang bersangkutan;
2. Setelah memperoleh persetujuan pengurus besar Nahdlatul Ulama, kepadanya diberikan surat pengesahan.
Pasal 5
1. Seorang dinyatakan berhenti dari keanggotaan Nahdlatul Ulama karena permintaan sendiri, dipecat, atau tidak lagi memenuhi syarat keanggotaan Nahdlatul Ulama.
2. Seseorang berhenti dari keanggotaan Nahdlatul Ulama karena permintaan sendiri yang diajukan kepada pengurus ranting secara tertulis, atau jika dinyatakan secara lisan perlu disksikan oleh 2 (dua) orang anggota pengurus ranting;
3. Seseorang dipecat dari keanggotaan Nahdlatul Ulama, karena dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang mencemarkan dan menodai nama Nahdlatul Ulama, baik ditinjau dari segi syar'i, kemaslahatan umu, maupun organisasi, dengan prosedur sebagai berikut:
a. Pada dasarnya pemecatn dilakukan berdasarkan keputusan rapat pengurus cbang pleno setelah menerima usul dari pengurus ranting berdasarkan rapat pengurus ranting pleno;
b. Sebelum dipecat anggota yang bersangkutan diberi peringatan oleh pengurus ranting;
c. Jika setelah 15 (lima belas) hari peringatan itu tidak diperhatikan, maka pengurus cabang dapat memberhentikan sementara 3 (tiga) bulan;
d. Anggota yang diberhentikan sementara atau dipecat dapat membela diri dalam suatu konferensi cabang atau naik banding ke pengurus wilayah. Pengurus wilayah dapat mengambil keputusan atas permintaan itu;
e. Surat pemberhentian atau pemecatan sebagai anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang bersangkutan atas keputusan rapat pengurus cabang pleno. Surat keputusan kemudian diserahkan kepada anggota yang dipecat;
f. Jika selama pemberhentian sementara yang bersangkutan tidak ruju' ilal-haq, maka keanggotaannya gugur dengan sendirinya;
g. Pengurus besar mempunyai wewenang memecat seorng anggota secara langsung. Surat keputusan pemecatan ini dikirimkan kepada cabang dan anggota yang bersangkutan;
h. Pemecatan kepada seorang anggota yang dilakukan langsung oleh pengurus besar merupakan hasil rapat pengurus besar pleno;
i. Anggota yang dipecat langsung oleh pengurus besar dapat membela diri dalam konferensi besar atau muktamar.
4. Pertimbangan dan tata cara tersebut pada ayat (3) juga berlaku terhadap anggota luar biasa dan anggota kehormatan, dengan sebutan pencabutan keanggotaan.
BAB III
KEWAJIBAN DAN HAK ANGGOTA
Pasal 6
Anggota Nahdlatul Ulama berkewajiban:
1. Setia, dtunduk, dan taat kepada jam'iyah Nahdlatul Ulama;
2. Bersungguh-sungguh mendukung dan membantu segala langkah Nahdlatul Ulama, serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya;
3. Membayar i'anah syahriyah (iuran bulanan) atau i'anah tsanawiyah (iuran tahunan) yang jumlahnya ditetapkan oleh pengurus besar Nahdlatul Ulama;
4. Memupuk dan memelihara ukhuwah islamiah serta perstuan nasional.
Pasal 7
1. Anggota biasa berhak:
a. Menghadiri rapat anggota ranting, mengemukakan pendapat dan memberikan suara;
b. Memilih dan dipilih menjadi pengurus atau jabatan lain yang ditetapkan baginya;
c. Menghadiri ceramah, kursus, latihan, pengajian, dan lain-lain majelis yang diadakan oleh Nahdlatul Ulama;
d. Memberikan peringatan dan koreksi kepada pengurus dengan cara dan tujuan yang baik;
e. Mendapatkan pembelaan dan pelayanan;
f. Mengadakan pembelaan atas keputusan Nahdlatul Ulama terhadap dirinya;
g. Mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama.
2. Anggota luar biasa berhak:
a. Menghadiri ceramah, kursus, latihan, pengajian, dan lain-lain majelis yang diadkan oleh Nahdlatul Ulama;
b. Memberikan peringatan dan koreksi kepada pengurus dengan cara dan tujuan yang baik;
c. Mendapatkan pelayanan informasi tentang program dan kegiatan Nahdlatul Ulama;
d. Mengadakan pembelaan atas keputusan Nahdlatul Ulama terhadap dirinya.
3. Anggota kehormatan berhak menghadiri kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama atas undangan pengurus dan dapat memberikan saran-saran/pendaatnya, namun tak memiliki hak suara maupun hak memilih dan dipilih.
4. Anggota biasa da luar biasa Nahdlatul Ulama tidak diperkenankan merangkap menjadi anggota organisasi sosial kemasyarakatan lain yang mempunyai akidah, asas, dan jutuan yang berbeda atau merugikan Nahdlatul Ulama.
BAB IV
TINGKAT KEPENGURUSAN
Pasal 8
Tingkat kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Pengurus Besar (PB) untuk tingkat pusat;
b. Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat provinsi;
c. Pengurus Cabang (PC) untuk tingkat kabupaten/kotamadya/kota administratif; dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri;
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat kecamatan;
e. Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat desa/kelurahan.
Pasal 9
1. Pengurus Besar adalah kepengurusan organisasi di tingkat pusat dan berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Pengurus Besar sebagai tingkat kepengurusan tertinggi dalam Nahdlatul Ulama merupakan penanggung jawab kebijaksanaan dalam pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar.
Pasal 10
1. Pengurus Wilayah adalah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di provinsi (daerah tingkat I) atau daerah yang disamakan dengan itu. Pengurus Wilayah berkedudukan ibu kota provinsi (daerah tingkat satu) atau yang disamakan dengan itu;
2. Pengurus Wilayah dapat dibentuk jika terdapat sekurang-kurangnya 5 (lima) cabang.
3. Permintaan untuk membentuk Pengurus Wilayah disampaikan kepada Pengurus Besar dengan disertai keterangan tentang daerah yang bersangkutan dan jumlah cabang yang ada di daerah itu dengan melalui masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. Ketentuan mengenai keterangan/data wilayah tersebut ditetapkan oleh Pengurus Besar.
4. Pengurus Wilayah berfungsi sebagai koordinator cabang-cabang di daerahnya dan sebagai peaksana Pengurus Besar untuk daerah yang bersangkutan.
Pasal 11
1. Pengurus Cabang adalah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di kabupaten/kotamadya/kota administratif dan berkedudukan di ibu kota kabupaten/kotamadya/kota administratif; dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri ditentukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
2. Dalam hal-hal yang menyimpang dari ketentuan ayat 1 di atas disebabkan oleh besarnya penduduk luasnya daerah atau sulitnya komunikasi dan atau faktor kesejarahan pembentukan cabang diatur oeh kebijaksanaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
3. Pengurus Cabang dapat dibentuk jika terdapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Majelis Wakil Cabang;
4. Permintaan utk membentuk Pengurus Cabang dismpaikan kepada Pengurus Besar dalam bentuk suatu permohonan yang dikuatkan oleh Pengurus Wilayah yg bersangkutan, kecuali Pengurus Cabang Istimewa (PCI) dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan;
5. Pengurus Cabang memimpin dan mengoodinir Majelis Wakil Cabang dan Ranting di daerah kewenangannya, melaksanakan kebijaksanaan Pengurus Wilayah dan Pengurus Besar untuk daerahnya.
Pasal 12
1. Pengurus Majelis Wakil Cabang adalah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di kecamatan atau daerah yang disamakan dengan itu;
2. Pengurus Majelis Wakil Cabang dapat dibentuk jika terdapat sekurang-kurangnya 4 (empat) ranting di kecamatan atau yang disamakan dengan itu;
3. Permintaan untuk membentuk Majelis Wakil Cabang disampaikan kepada Pengurus Wilayah dengan diajukan rekomendasi Pengurus Cabang, dan dapat disahkan oleh Pengurus Wilayah setelah memulai masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.
Pasal 13
1. Pengurus Ranting adalah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di desa/kelurahan atau yang disamakan dengan itu;
2. Pengurus Ranting dapat dibentuk jika di suatu desa/kelurahan, atau daerah yang disamakan dengan itu terdapat sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang anggota;
3. Dalam suatu desa/keluarhan atau daerah yang disamakan dengan itu dapat dibentuk lebih dari 1 (satu) ranting jika keadaan daerah dan penduduknya memerlukan;
4. Permintaan pembentukan Ranting disampaikan kepada Pengurus Cabang dengan diajukan dan direkomendasi oleh Pengurus Majelis Wakil Cabang dan dapat disahkan oleh Pengurus Cabang setelah melalui masa percobaan selama 3 (tiga) bulan;
5. Untuk efektivitas organisasi dan pembangunan anggot, jika dianggap perlu dapat dibentuk Kelompok Anak Ranting (KAR). Setiap KAR sedikitnya terdiri dari 10 orang anggota, dipimpin oleh seorang ketua KAR. Dalam KAR tidak terdapat struktur kepengurusan.
BAB V
PERANGKAT ORGANISASI
Pasal 14
Perangkat organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Lebaga;
b. Lajnah;
c. Badan Otonom.
Pasal 15
1. Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama, khususnya yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu.
2. Lembaga yang ada di tingkat Pengurus Besar pada saat Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan adalah:
a. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama disingkat LDNU, bertugas melaksanakan kebijakan nahdlatul Ulama di bibang penyiaran agama Islam Ahli Sunnah wal-jamaah;
b. Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama disingkat LP Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan dan pengajaran, baik formal maupun nonformal, selain pondok pesantren;
c. Lembaga Sosial Mabarrot Nahdlatul Ulama disingkat LS Mabarrot NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang sosial dan kesehatan;
d. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama disingkat LP NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama;
e. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama disingkat LP-2 NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pertanian dalam arti luas, termasuk eksplorasi kelautan;
f. Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah disingkat RMI, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren;
g. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama disingkat LKK NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kemaslahatan keluarga, kependudukan, dan lingkungan hidup;
h. Haiah Ta'miril Masajid Indonesia disingkat HTMI, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pemakmuran masjid;
i. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia disingkat Lakpesdam, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia;
j. Lembaga Seni-Budaya Nahdlatul Ulama disingkat LSB NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan seni dan budaya termsuk seni hadrah;
k. Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja disingkat LPTK NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan ketenagakerjaan;
l. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum disingkat LPBH NU, bertugas melaksanakan penyuluhan dan memberikan bantuan hukum.
m. Lembaga Pencak Silat disingkat LPS Pagar Nusa, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan seni bela diri pencak silat.
n. Jamiyyatul Qurra wal Hufadz, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan tilawah, metode pengajaran, dan hafalan Al-Qur'an.

3. Pembentukan dan penghapusan Lembaga ditetapkan oleh permusyawaratan tertinggi pada masing-masing tingkat kepengurusan Nahdlatul Ulama.
4. Pembentukan Lembaga di tingkat wilayah, cabang, majelis wakil cabang dan ranting disesuaikan dengan kebutuhan penanganan program.
Pasal 16
1. Lajnah adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama untuk melaksanakan program Nahdlatul Ulama yang memerlukan penanganan khusus.
2. Lajnah yang ada di tingkat Pengurus Besar pada saat Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan adalah:
a. Lajnah Falakiyah, bertugas mengurus masalah hisab dan ru'yah;
b. Lajnah Ta'lif wan Nasyr, bertugas di bidang penerjemahan, penyusunan, dan penyebaran kitab-kitab menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah;
c. Lajnah Auqof Nahdlatul Ulama, bertugas menghimpun, mengurus, dan mengelola tanah serta bangunan yang diwakafkan kepada Nahdlatul Ulama;
d. Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah, bertugas menghimpun, mengelola, dan menasharufkan zakat, infaq, dan shadaqah;
e. Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, bertugas menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang maudlu'iyyah dan waqi'iyyahah yang harus segera mendapatkan kepastian hokum..

3. Pembentukan dan penghapusan Lajnah ditetapkan oleh permusyawaratan tertinggi pada masing-masing tingkat kepengurusan Nahdlatul Ulama.
4. Pembentukan Lajnah Wilayah dan Cabang dan MWC dilakukan sesuai dengan kebutuhan penanganan program khusus dan tenaga yang tersedia.
Pasal 17
1. Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu yang beranggotakan perseorangan.
2. Kepengurusan Badan Otonom diatur menurut Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga masing-masing.
3. Keputusan kongres atau konferensi badan otonom dilaporkan kepada pengurus Nahdlatul Ulama menurut tingkatannya masing-masing.
4. Pengurus Nahdlatul Ulama berhak mengadakan perubahan jika ada hal-hal yang bertentangan dengan garis kebijaksanaan Nahdlatul Ulama.
5. Badan Otonom yang ada pada saat Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan adalah:
a. Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah, adalah badan otonom yang menghimpun pengikut aliran tarekat yang mu'tabar dilingkungan Nahdlatul Ulama;
b. Muslimat Nahdlatul Ulama, disingkat Muslimat NU, adalah badan otonom yang menghimpun anggota perempuan Nahdlatul Ulama;
c. Fatayat Nahdlatul Ulama, disingkat Fatayat NU, adalah badan otonom yang menghimpun anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama;
d. Gerakan Pemuda Ansor, disingkat GP Ansor, adalah badan otonom yang menghimpun anggota pemuda Nahdlatul Ulama;
e. Ikatan Putra Nahdlatul Ulama, disingkat IPNU, adalah badan otonom yang menghimpun pelajar laki-laki, santri laki-laki, dan mahasiswa laki-laki;
f. Ikatan Putra-Putri Nahdlatul Ulama, disingkat IPPNU, adalah badan otonom yang menghimpun pelajar perempuan, santri perempuan, dan mahasiswa perempuan;
g. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, disingkat ISNU, adalah badan otonom yang menghimpun para sarjana dan kaum intelektual di kalangan Nahdlatul Ulama.

Pasal 18
Pengurus Nahdlatul Ulama berkewajiban membina dan mengayomi seluruh lembaga lajnah dan badan otonom pada tingkatannya masing-masing.
BAB VI
SUSUNAN PENGURUS BESAR
Pasal 19
1. Mustasyar Pengurus Besar terdiri atas sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang;
2. Pengurus Besar Harian Syuriyah terdiri atas Rais 'Aam, Wakil Rais 'Aam, beberapa Rais, Katib 'Aam, dan beberapa Wakil Katib;
3. Jumlah Rais dan Wakil Katib disesuaikan dengan kebutuhan tugas dan tenaga yang tersedia;
4. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah terdiri atas Pengurus Besar Harian Syuriyah dan beberapa A'wan.
Pasal 20
1. Pengurus Besar Harian Tanfidziyah terdiri atas Ketua Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Jenderal, beberapa Wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara;
2. Jumlah Ketua, Wakil Sekretaris Jenderal, dan Wakil Bendahara disesuaikan dengan kebutuhan tugas dan tenaga yang tersedia;
3. Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah terdiri atas Pengurus Besar Harian Tanfidziyah ditambah dengan ketua-ketua lembaga dan ketua-ketua lajnah pusat.
Pasal 21
Pengurus Besar Pleno terdiri atas Mustasyar, Pengurus Besar Lengkap Syuriyah, Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah ditambah ketua-ketua umum badan otonom tingkat pusat.
BAB VII
SUSUNAN PENGURUS WILAYAH
Pasal 22
1. Mustasyar Pengurus Wilayah terdiri atas sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang;
2. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah terdiri atas Rais, beberapa Wakil Rais, Katib, dan beberapa Wakil Katib;
3. Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah terdiri atas pengurus wilayah harian syuriyah ditambah beberapa a'wan.
Pasal 23
1. Pengurus Wilayah Harian Tanfidziyah terdiri atas ketua, beberapa wakil ketua, sekretaris, beberapa wakil sekretaris, bendahara, dan wakil bendahara;
2. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah terdiri atas pengurus wilayah harian tanfidziyah ditambah ketua-ketua lembaga dan ketua-ketua lajnah dingkat wilayah.
Pasal 24
Pengurus Wilayah Pleno terdiri atas Mustasyar Wilayah, Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah, Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah, dan ketua-ketua badan otonom tingkat wilayah.
BAB VIII
SUSUNAN PENGURUS CABANG
PASAL 25
1. Mustasyar Pengurus Cabang terdiri atas sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang;
2. Pengurus Cabang Harian Syuriyah terdiri atas rais, beberapa wakil rais, katib, dan beberapa wakil katib;
3. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah terdiri atas pengurus cabang harian syuriyah ditambah dengan beberapa a'wan.
Pasal 26
1. Pengurus cabang tanfidziyah terdiri dari ketua, beberapa wakil ketua, sekretaris, beberapa wakil sekretaris, bendahara, dan wakil bendahara;
2. Pengurus cabang lengkap tanfidziyah terdiri atas pengurus cbang harian ditambah ketua-ketua lembaga dan ketua-ketua lajnah tingkat cabang.
Pasal 27
Pengurus Cabang Pleno terdiri atas Mustasyar Cabang, Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah, Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah, dan ketua-ketua badan otonom tingkat cabang.
BAB IX
SUSUNAN PENGURUS MAJELIS WAKIL CABANG
Pasal 28
1. Mustasyar Majelis Wakil Cabang terdiri sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang;
2. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Harian Syuriyah terdiri atas rais, beberapa wakil rais, katib, dan beberapa wakil katib;
3. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Lengkap Syuriyah terdiri atas Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) harian syuriyah ditambah beberapa a'wan.
Pasal 29
1. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) harian tanfidziyah terdiri atas ketua, beberapa wakil ketua, sekretaris, beberapa wakil sekretaris, bendahara, dan wakil bendahara;
2. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) lengkap tanfidziyah terdiri atas Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) harian tanfidziyah serta ketua-ketua lembaga dan lajnah di tingkatannya.
Pasal 30
Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Pleno terdiri atas mustasyar, pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Lengkap Syuriyah, Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Lengkap Tanfidziyah serta ketua-ketua badan otonom dan lembaga di tingkatannya.
BAB X
SUSUNAN PENGURUS RANTING
Pasal 31
1. Pengurus Ranting Harian Syuriyah terdiri atas rais, beberapa wakil rais, katib, dan wakil katib;
2. Pengurus Ranting Lengkap Syuriyah terdiri atas Pengurus Ranting Harian Syuriyah dan a'wan.
Pasal 32
1. Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah terdiri atas ketua, beberapa wakil ketua, sekretaris, dan bendahara;
2. Pengurus Ranting Lengkap Tanfidziyah terdiri atas Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah ditambah beberapa pembantu dan ketua-ketua lembaga di tingkatannya.
Pasal 33
Pengurus Ranting Pleno terdiri atas pengurus ranting lengkap syuriyah, Pengurus Ranting Lengkap dan ketua-ketua lembaga dan ketua-ketua badan otonom.
BAB XI
SYARAT MENGJADI PENGURUS
Pasal 34
1. Untuk menjadi pengurus ranting atau majelis wakil cabang, seorang calon harus sudah aktif menjadi anggota Nahdlatul Ulama atau badan otonomnya sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun;
2. Untuk menjadi pengurus cabang, seorang caloin sudah harus aktif menjadi anggota Nahdlatul Ulama atau badan otonomnya sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun;
3. Untuk menjadi pengurus wilayah, seorang calon sudah harus aktif menjadi anggota Nahdlatul Ulama atau badan otonomnya sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
4. Untuk menjadi pengurus besar, seorang calon sudah harus aktif menjadi anggota Nahdlatul Ulama atau badan otonomnya sekurang-kurangnya selama 4 (empat) tahun;
5. Keanggotaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah yang dimaksud oleh bab V pasal 8 Anggaran Dasar dan bab I pasal 1 Anggaran Rumah Tangga;
6. Anggota kehormatan tidak diperkenankan menjadi pengurus.
BAB XII
PEMILIHAN DAN PENETAPAN PENGURUS
Pasal 35
Pemilihan dan penetapan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
a. Rais Aam, Wakil Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar dipilih oleh Muktamar;
b. Rais Aam dan Wakil Rais Aam dipilih secara langsung;
c. Ketua Umum dipilih secara langsung dengan terlebih dahulu calon yang diajukan untuk menjadi Ketua Umum mendapat persetujuan dari Rais Aam dan Wakil Rais Aam terpilih;
d. Rais Aam, Wakil Rais Aam, dan Ketua Umum terpilih bertugas melengkapi susunan Pengurus Besar, Mustasyar, Harian Syuriyah, dan Harian Tanfidziyah, dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta muktamar;
e. Pengisian jabatan-jabatan lain untuk melengkapi susunan Pengurus Besar Lengkap ditetapkan oleh Pengurus Besar Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
Pasal 36
Pemilihan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama:
a. Rais Aam dan Ketua dipilih oleh Konferensi Wilayah;
b. Rais dipilih secara langsung;
c. Ketua dipilih secara langsung, dengan terlebih dahulu calon yang akan diajukan untuk menjadi ketua mendapat persetujuan dari Rais Aam terpilih;
d. Rais dan Ketua terpilih bertugas melangkapi susunan pengurus wilayah dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta konferensi wilayah;
e. Pengisian jabatan-jabatan lain untuk melengkapi susunan pengurus wilayah syuriyah dan tanfidziyah ditetapkan oleh pengurus wilayah harian syuriyah dan tanfidziyah.
Pasal 37
Pemilihan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama:
A. Rais dan Ketua dipilih oleh Konferensi Cabang;
B. Rais dipilih secara langsung;
C. Ketua dipilih secara langsung, dengan terlebih dahulu calon yang akn diajukan untuk menjadi ketua mendapat persetujuan dari rais terpilih;
D. Rais dan ketua terpilih bertugas melengkapi susunan pengurus cabang dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta konferensi cabang;
E. Pengisian jabatan-jabatan lain untuk melengkapi susunan pengurus cabang syuriyah dan tanfidziyah ditetapkan oleh pengurus cabang harian syuriyah dan tanfidziyah.
Pasal 38
Pemilihan pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama:
a. Rais dan Ketua dipilih oleh Konferensi Majelis Wakil Cabang;
b. Rais dipilih secara langsung;
c. Ketua dipilih secara langsung, dengan terlebih dahulu calon yang akan diajukan untuk menjadi ketua mendapat persetujuan dari rais terpilih;
d. Rais dan ketua terpilih bertugas melengkapi susunan pengurus majelis wakil cabang dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta konferensi wakil cabang;
e. Pengisian jabatan-jabatan lain untuk melengkapi susunan pengurus wakil cabang syuriyah dan tanfidziyah ditetapkan oleh pengurus wakil cabang harian syuriyah dan tanfidziyah.
Pasal 39
Pemilihan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama:
a. Rais dan Ketua dipilih oleh Rapat Anggota;
b. Rais dipilih secara langsung;
c. Ketua dipilih secara langsung, dengan terlebih dahulu calon yang akan diajukan untuk menjadi ketua mendapat persetujuan dari rais terpilih;
d. Rais dan ketua terpilih bertugas melengkapi susunan pengurus ranting dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta rapat anggota;
e. Pengisian jabatan-jabatan lain untuk melengkapi susunan pengurus ranting syuriyah dan tanfidziyah ditetapkan oleh pengurus ranting harian syuriyah dan tanfidziyah.
BAB XIII
PENGISIAN JABATAN ANTARWAKTU
Pasal 40
1. Apabila terjadi lowongan jabatan Rais Aam, maka Wakil Rais Aam menjadi Rais aam;
2. Apabila terjadi lowongan jabatan Wakil Rais aam, maka jabatan Wakil Rais aam diisi oleh salah seorang rais yang ditetapkan dalam rapat pleno PBNU sebagai pejabat Wakil Rais Aam;
3. Apabila terjadi lowongan jabatan Ketua Umum, maka jabatan Ketua umum diisi oleh salah seorang ketua yang ditetapkan dalam rapat pleno PBNU sebagai Pejabat Ketua Umum;
4. Apabila terjadi lowongan jabatan antarwaktu selain ayat (1), (2), dan (3), maka lowongan jabatan tersebut diisi langsung oleh pejabat di bawahnya yang ditetapkan dalam rapat pleno PBNU;
5. Apabila pengurus yang berada di bawah urutan langsung tidak ada, maka lowongan jabatan tersebut diisi oleh pejabat sementara yang ditetapkan dalam rapat pleno PBNU sampai dengan terselenggaranya muktamar;
6. Pengisian lowongan antarwaktu Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Majelis Wakil Cabang dan Ranting menyesuaikan dengan ketentuan ayat (1) s.d. (5) di atas.
BAB XIV
MASA JABATAN
Pasal 41
1. Masa jabatan dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama mengikuti ketentuan Pasal 12 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama dan dapat dipilih kembali;
2. Masa jabatan Badan Otonom sesuai dengan ketentuan Badan otonom yang bersangkutan.
BAB XV
PERANGKAPAN JABATAN
Pasal 42
1. Jabatan Pengurus Harian Nahdlatul Ulama, Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom tidak dapat dirangkap dengan jabatan pada tingkat kepengurusan yang lain, baik dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama maupun dalam Badan Otonom;
2. Jabatan Pengurus Harian Nahdlatul Ulama, Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom pada semua tingkat kepengurusan tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian organisasi sosial politik dan organisasi yang berafiliasi kepadanya;
3. Rincian aturan pelarangan rangkap jabatan tersebut ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh Pengurus Besar, dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas serta tenaga yang tersedia.
BAB XVI
PENGESAHAN DAN PEMBEKUAN PENGURUS
Pasal 43
1. Susunan dan personalia Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang memerlukan pengesahan Pengurus besar;
2. Dalam pengesahan susunan dan personalia Pengurus Cabang, kecuali Pengurus Cabang Istimewa (PCI), diperlukan rekomendasi Pengurus Wilayah;
3. Susunan dan personalia Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) memerlukan pengesahan Pengurus Wilayah dengan rekomendasi Pengurus Cabang;
4. Susunan dan personalia Pengurus Ranting memerlukan pengesahan Pengurus Cabang dengan rekomendasi Pengurus Majelis Wakil Cabang;
5. Susunan dan personalia pimpinan Lembaga dan Lajnah tingkat pusat disahkan oleh Pengurus Besar;
6. Susunan dan personalia pimpinan Lembaga dan Lajnah dibentuk dan disahkan oleh pengurus Nahdlatul Ulama pada tingkatnya masing-masing dan dilaporkan kepada pimpinan pusat.
Pasal 44
1. Pengurus Besar dapat membekukan pengurus tingkat di bawahnya melalui keputusan yang ditetpkan sekurang-kurangnya oleh rapat Pengurus Besar Pleno;
2. Alasan pembekuan harus kuat, baik dilihat secara syar'i maupun secara organisatoris;
3. Sebelum pembekuan dilakukan, terlebih dahulu diberi peringatan untuk memperbaiki pelanggarannya sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari;
4. Kepengurusan yang dibekukan dipegang oleh pengurus yang setingkat lebih tinggi, dengan tugas mempersiapkan penyelenggaraan permusyawaratan yang akan memilih pengurus baru;
5. Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pembekuan harus sudah terselenggara permusyawaratan untuk memilih pengurus baru.
BAB XVII
TUGAS DAN WEWENANG PENGURUS
Pasal 45
Mustasyar bertugas menyelenggarakan pertemuan, setiap kali dianggap perlu, untuk secara kolektif memberikan nasihat kepada pengurus Nahdlatul Ulama menurut tingkatannya, dalam rangka menjaga kemurnian Khittah Nahdliyin dan ishlahu dzati bain (arbitrase).
Pasal 46
Pengurus Syuriyah selaku pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai Pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijaksanaan Nahdlatul Ulama mempunyai tugas:
a. Menentukan arah kebijakan Nahdlatul Ulama dalam melakukan usaha dan tindakan untuk mencapai tujuan Nahdlatul Ulama;
b. Memberikan petunjuk, bimbingan, dan pembinaan memahami, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah, baik di bidang akidah, syariah maupun akhlak/tasawuf;
c. Mengendalikan, mengawasi, dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat Nahdlatul Ulama berjalan di atas ketentuan jam'iyah dan agama Islam;
d. Membimbing, mengawasi, dan mengawasi Badan otonom, lembaga, dan Lajnah yang langsung berada di bawah Syuriyah;
e. Jika keputusan suatu perangkat organisasi Nahdlatul Ulama dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-Jamaah, maka pengurus syuriyah yang berdasarkan keputusan rapat dapat membatalkan keputusan atau langkah perangkat tersebut.
Pasal 47
1. Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban memimpin jalannya organisasi sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pengurus syuriyah;
2. Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana harian mempunyai tugas:
a. Memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh Pengurus Syuriyah;
b. Melaksanakan program jam'iyah Nahdlatul Ulama;
c. Membina dan mengwasi kegiatan semua perangkat jam'iyah yang berada di bawahnya;
d. Menyampaikan laporan secara periodic kepada Pengurus Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya.
3. Dalam menggerakkan dan mengelola program, Pengurus Besar Tanfidziyah berwenang membentuk tim kerja tetap atau sementara sesuai kebutuhan;
4. Ketua Umum Pengurus Besar, Ketua Pengurus Wilayah, Ketua Pengurus Cabang, Ketua Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Ketua Pengurus Ranting karena jabatannya dapat menghadiri rapat-rapat Pengurus Syuriyah sesuai dengan tingkatannya masing-masing;
5. Pembagian tugas di antara anggota Pengurus Tanfidziyah diatur dalam Peraturan Tata Tertib.
BAB XVIII
KEWAJIBAN DAN HAK PENGURUS
Pasal 48
1. Pengurus berkewajiban:
a. Menjaga dan menjalankan amanat organisasi;
b. Mematuhi ketentuan-ketentuan organisasi dan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya.

2. Pengurusberhak:


a. Membuat kebijaksanaan, keputusan, dan peraturan organisasi sepanjang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, atau keputusan pengurus Nahdlatul Ulama yang lebih tinggi;
b. Memberikan saran atau koreksi kepada pengurus setingkat lebih tinggi dengan cara dan tujuan yang baik.
Pasal 49
Untuk pengembangan kelembagaan, kegiatan, dan sumber daya jam'iyah Nahdlatul Ulama, Pengurus Besar berhak melakukan pemeringkatan pengurus tingkat di bawahnya.

BAB XIX
PERMUSYAWARATAN TINGKAT NASIONAL
Pasal 50
1. Muktamar adalah instansi permusyawaratan tertinggi di Nahdlatul Ulama, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sekali dalam (lima) tahun;
2. Muktamar dipimpin oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
3. Muktamar dihadiri oleh:
a. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
b. Pengurus Wilayah
c. Pengurus Cabang
4. Muktamar adalah sah apabila dihadiri oleh dua pertiga jumlah wilayah dan cabang yang sah;
5. Untuk kelancaran penyelenggaraan muktamar, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dapat membentuk panitia penyelenggara yang bertanggung jawab kepoada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
6. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama membuat rancangan peraturan tata tertib muktamar yang mencakup susunan dan tata cara pemilihan pengurus;
7. Muktamar Luar Biasa sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar Bab VII Pasal 17 huruf c, dapat diselenggarakan atas permintaan Pengurus Besar Syuriyah dengan ketentuan:
a. Diselenggarakan untuk menyelesaikan masalah-masalh kepentingan umum secara nasional atau mengenai keberadaan jam'iyah Nahdlatul Ulama;
b. Penyelesaian masalah-masalah dimaksud (huruf a) tak dapat diselesaikan dalam permusyawaratan lain;
c. Permintaan Pengurus Besar Syuriyah didasarkan pada keputusan rapat Pengurus Besar Lengkap atau rekomendasi Musyawarah Nasional Alim-Ulama.
Pasal 51
1. Musyawarah Nasional alim-ulama ialah musyawarah alim-ulama yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Syuriyah, sekurangkurangnya satu kali dalam 1 (satu) periode kepengurusan untuk membicarakan masalah keagamaan;
2. Musyawarah alim-ulama yang serupa dapat juga diselenggarakan oleh wilayah atau cbang, sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) periode;
3. Musyawarah tersebut dapat mengundang tokoh-tokoh alim-ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari dalam maupun dari luar kepengurusan Nahdlatul Ulama, terutama ulama pengasuh pondok pesantren, dan dapat pula mengundang tenaga ahli yang diperlukan;
4. Musyawarah Nasional Alim-Ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan muktamar dan tidak mengadakan pemilihan pengurus.
Pasal 52
1. Konferensi Besar merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah muktamar dan diadakan oleh Pengurus Besar;
2. Konferensi Besar dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno dan utusan pengurus wilayah;
3. Konferensi Besar dapat juga diselenggarakan atas permintaan sekurang-kurangnya separoh dari jumlah wilayah yang sah;
4. Konferensi Besar membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;
5. Konferensi Besar tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan muktamar dan tidak memilih pengurus baru;
6. Konferensi Besar adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari separoh jumlah peserta Konferensi Besar. Dalam pengambilan keputusan setiap peserta mempunyai hak 1 (satu) suara;
7. Konferensi Besar dipimpin oleh Pengurus Besar. Susunan acara dan peraturan tata tertib Konferensi Besar ditetapkan oleh Pengurus Besar.
BAB XX
PERMUSYAWARATAN TINGKAT DAERAH
Pasal 53
1. Konferensi Wilayah adalah instansi permusyawaratan tertinggi untuk tingkat wilayah, dihadiri oleh pengurus wilayah dan utusan pengurus cabang yang ada di daerahnya, terdiri dari syuriyah dan tanfidziyah;
2. Konferensi Wilayah diselenggarakan sekali dalam 5 (lima) tahun;
3. Konferensi Wilayah diselenggarakan atas undangan pengurus wilayah atau atas permintaan sekurang-kurangnya separoh jumlah cabang yang ada di daerahnya.
4. Konferensi Wilayah membicarakan pertanggungjawaban pengurus wilayah, menyusun rencana kerja 5 (lima) tahun, memilih pengurus wilayah yang baru dan membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di daerah wilayah bersangkutan;
5. Pengurus Wilayah membuat rancangn tata tertib konferensi termasuk di dalamnya tata cara pemilihan pengurus baru untuk disahkan oleh konferensi;
6. Selain ketentuan yang tercantum pada ayat (1) sampai (5) pasal ini, pengurus wilayah sewaktu-waktu menganggp perlu dan sekurang-kurangnya sekali dalam 2 (dua) tahun mengadakan musyawarah kerja untuk membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Wilayah, mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di tengah masyarakat, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam musyawarah kerja tidak diadakan pemilihan pengurus baru; Konferensi Wilayah adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari separoh jumlah cabang di daerahnya. Dalam pengambilan keputusan pengurus wilayah sebagai satu kesatuan dan tiap-tiap cabang yang hadir mempunyai hak 1 (satu) suara.
Pasal 54
1. Konferensi Cabang adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada itngkat cabang, dihadiri oleh utusan-utusan syuriyah dan tanfidziyah Majelis Wakil Cabang dan Ranting di daerhnya dan diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun;
2. Konferensi Cabang diadakan atas undangan pengurus cabang atau atas permintaan sekurang-kurangnya 1/2 (separoh) dari jumlah Majelis Wakil Cabang dan Ranting di daerahnya;
3. Konferensi Cabang membicarakan pertanggungjawaban pengurus cabang, menyusun rencana kerja 5 (lima) tahun, memilih pengurus cabang dan membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di daerah cabang yang bersangkutan;
4. Pengurus cabang membuat rancangan tata tertib konferensi, termasuk tata cara pemilihan pengurus yang diatur dalam ART Bab XII Pasal 37 untuk disahkan oleh Konferensi;
5. Selain ketentuan yang tercantum pada ayat (1) sampai (4) pasal ini, pengurus cabang sewaktu-waktu dianggap perlu dan sekurang-kurangnya dua tahun sekali, dapat mengadakan rapat kerja untuk membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Cabang, mengkaji perkembangan organisasi dan perannya di tengah masyarakat, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam rapat kerja tidak diadakan acara pemilihan pengurus;
6. Konferensi Cabang adalah sah jika dihadiri oleh lebih dari 1/2 (setengah) jumlah Majelis Wakil Cabang dan Ranting di daerahnya. Dalam setiap pengambilan keputusan, pengurus cabang sebagai satu kesatuan dan tiap majelis wakil cabang dan ranting yang hadir mempunyai hak 1 (satu) suara.
Pasal 55
1. Konferensi Majelis Wakil Cabang adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat Majelis Wakil Cabang, yang dihadiri oleh utusan-utusan Syuriyah dan Tanfidziyah Ranting di daerahnya, dan diselenggarakan sekali dalam 5 (lima) tahun;
2. Konferensi Majelis Wakil Cabang diselenggarakan atas undangan pengurus majelis wakil cabang atau atas permintaan sekurang-kurangnya setengah dari jumlah ranting;
3. Konferensi Majelis Wakil Cabang membicarakan pertanggungjawaban pengurus majelis wakil cabang, penyusunn rencana kerja untuk masa 5 (lima) tahun, memilih pengurus wakil cabang dan membahas masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di daerahnya;
4. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) membuat rancangan tata tertib konferensi, termasuk tata cara pemilihan pengurus yang diatur dalam ART Bab XII Pasal 38 untuk disahkan oleh Konferensi;
5. Selain keputusan yang tercantum pada ayat (1) sampai (4) pasal ini, pengurus MWC sewaktu-waktu dianggap perlu sekurang-kurangnya sekali dalam dua setengah tahun menyelenggarakan rapat kerja untuk membicarakan pelaksanaan konferensi MWC, mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di tengah masyarakat, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam rapat kerja tidak diadakan acara pemilihan pengurus;
6. Konferensi Majelis Wakil Cabang adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (setengah) dari jumlah ranting di daerahnya. Dalam setiap pengambilan keputusan, pengurus majelis wakil cabang sebagai satu kesatuan dan tiap-tiap ranting yang hadir masing-masing mempunyai 1 (satu) suara.
Pasal 56
1. Rapat Anggota adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat ranting yang dihadiri oleh anggota-anggota Nahdlatul Ulama di daerah ranting dan diselenggarakan sekali dalam 5 (lima) tahun;
2. Rapat Anggota diselenggarakan atas undangan pengurus ranting atau atas permintaan sekurang-kurangnya separoh dari jumlah anggota Nahdlatul Ulama di ranting bersangkutan;
3. Rapat Anggota membicarakan laporan pertanggungjawaban pengurus ranting, menyusun rencana kerja untuk 5 (lima) tahun, memilih pengurus ranting dan membahas masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di daerah ranting;
4. Selain ketentuan yang tercantum pada ayat (3), pengurus ranting sewaktu-waktu dianggap perlu dan sekurang-kurangnya dalam dua setengah tahun menyelenggarakan forum musyawarah. Pada forum ini tidak dilakukan pemilihan pengurus.
5. Rapat Anggota adalah sah apabila dihadiri lebih dari separoh anggota Nahdlatul Ulama di ranting tersebut. Setiap anggota mempunyai hak 1 (satu) suara.
BAB XXI
KEUANGAN DAN KEKAYAAN
Pasal 57
Uang pangkal, i'anah syariyah dan i'anah tsanawiyah yang diterima dari anggota Nahdlatul Ulama digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi dan dimanfaatkan dengan perimbangan sebagai berikut:
a. 50% untuk membiayai kegiatan Ranting;
b. 20% untuk membiayai kegiatan MWC;
c. 15% untuk membiayai kegitan Cabang;
d. 10% untuk membiayai kegitan Wilayah;
e. 5% untuk membiayai kegiatan Pengurus Besar.
Pasal 58
1. Dalam laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar kepada Muktamar, dilaporkan pula pertanggungjawaban keuangan dan inventaris Pengurus Besar, Lembaga, dan Lajnah;
2. Dalam laporan pertanggungjawaban Pengurus Wilayah kepada Konferensi, dilaporkan pula pertanggungjawaban keuangan dan inventaris Pengurus Wilayah, Lembaga, dan Lajnah;
3. Dalam laporan pertanggungjawaban Pengurus Cabang kepada Konferensi, dilaporkan pula pertanggungjawaban keuangan dan inventaris Pengurus Cabang, Lembaga, dan Lanjah;
4. Dalam laporan pertanggungjawaban Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) kepada Konferensi, dilaporkan pula pertanggungjawaban keuangan dan inventaris majelis Wakil Cabang;
5. Dalam laporan pertanggungjawaban Pengurus Ranting kepada Rapat Anggota, dilaporkan pula pertanggungjawaban keuangan dan inventaris Ranting.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
1. Segala sesuatu yang belum cukup diatur atau belum cukup diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan oleh keputusan Pengurus Besar;
2. Anggaran Rumah Tangga ini hanya dapat diubah oleh Muktamar.

Ditetapkan di: Kediri
Pada tanggal: 17 Sya'ban 1420/25 November 1999

MUKTAMAR XXX NAHDLATUL ULAMA
PIMPINAN SIDANG PLENO XI
ttd.---------------------------------------------ttd.---------------------ttd.
Prof. Dr. Sayyid Aqiel al-Munawar --- H.M. Rozi Munir, S.E., M.Sc. --- H. Ahmad Bagja
Katib------------------------------- Ketua-------------------------Sekretaris

Tim perumus:
Drs. K.H. H. A. Hafizh Ustman (PBNU)---------Ketua merangkap anggota
H. Abdul Hadi (Kalsel)------------------------Wakil Ketua merangkap anggota
Drs. H. Syarbini Mahya (Irja)-----------------Sekretaris merangkap anggota
Prof. Dr. A. Rivai Siregar (Sumut)-------------Anggota
K.H. Abdul Mujib Imron (Jatim)----------------Anggota
Dr. K.H. Sahabuddin (Sulsel)------------------Anggota
Drs. Marinah Hardy (NTB)---------------------Anggota
Ratu Dian Hatifah, S.Ag (PBNU)---------------Anggota
Drs. Hasyim Umasuqi (Maluku)----------------nggota
Referensi:
1. NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, Martin van Bruinessen
2. Hasil-Hasil Muktamar XXX Nahdlatul Ulama, Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar positif dan membangun di harapkan