Minggu, Mei 08, 2011

MENGGAPAI SECERCAH KEBAHAGIAAN

Satu kata yang banyak diidamkan oleh orang dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Ungkapan kata kebahagiaan, mungkin bagi setiap orang berbeda dalam mengartikannya. Ada sebagian orang bahagia dengan ketiadaannya sebagian lain bahagia dengan apa yang dia miliki baik dalam keadaan kekurangan maupun keberadaan, segolongan yang lain bahagia dengan banyak anak dan segolongan yang lain “mungkin” bahagia dengan tidak memiliki anak “bukan karena kemauan”. Ungkapan ini semua mengindikasikan bahwa kata bahagia sungguh sangat relatif, tergantung kepada siapa yang merasakan dan mengartikulasikannya.
Pertanyaanya adalah apakah kita termasuk orang yang bahagia? Sebuah pertanyaan yang layak untuk dilontarkan kepada diri kita masing-masing. Mungkin di antara kita saat ini ada yang memiliki harta melimpah ruah, tetapi tidak bisa merasa bahagia. Ada pula yang memiliki popularitas dan jabatan yang tinggi, namun dia tidak merasa bahagia. Ada juga di antara kita yang sangat terpandang di masyarakat dan menjadi tokoh terkemuka, tetapi itu pun tidak membuatnya bahagia. Ada juga yang mencoba melancong ke luar negeri mengunjungi tempat-tempat wisata yang beraneka ragam namun ternyata kebahagiaan itu tidak juga menyertainya.
Kalau demikian, ternyata ukuran bahagia itu bukan ada pada banyaknya harta, bukan ada di jabatan dan ketenaran, bukan pula pada ketokohan seseorang dan juga bukan dengan melancong. Lantas di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita dapat merealisasikannya?
Kebahagiaan adalah kondisi jiwa ketika seseorang mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah subhanahu wata’ala yang membuat jiwa lapang dan bergembira.
Bahagia adalah kejernihan hati, kebersihan prilaku dan keelokan ruhani. Hal itu merupakan pemberian Allah subhanahu wata’ala yang diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji.
Bahagia adalah rasa ridha yang mendalam dan sikap qana'ah. Ia bukan barang dagangan yang bisa dibeli di pasar oleh orang sekaya apa pun, tetapi merupakan dagangan Allah subhanahu wata’ala yang dikaruniakan kepada jiwa-jiwa yang terpilih.
Kebahagiaan itu kelapangan jiwa, bahagia itu tatkala anda bisa membuat senang hati orang lain, menyungging senyum di wajah, dan anda merasa lega tatkala dapat ber
buat baik kepada sesama, merasa nikmat ketika anda bersikap baik kepada mereka.
Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negatif dan mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencari solusi bukan berdasarkan emosi.
Kebahagian itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, ada dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap kepemilikan orang lain. Bahagia itu terdapat dalam dzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, syukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya. Dan kebahagiaan hakiki adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.
Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain dan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan pelajaran oleh orang lain.Bahagia adalah jika anda senang untuk berbuat kebaikan, bukan dengan berbuat apa saja yang anda senang. Orang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari masa lalu dan berhati-hati terhadap dirinya. Orang celaka adalah orang yang mengumpulkan harta untuk orang lain dan bakhil untuk memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri. Orang bahagia yaitu yang mau mengambil faidah dari pengalaman masa lalu, bersemangat pada hari ini dan optimis menyambut masa depan. Kebahagiaan itu diraih dengan menjaga lisan. Seseorang tidak akan meraih kebahagiaan kecuali jika dia hidup merdeka, terbebas dari cengkraman syahwatnya serta mampu menahan hawa nafsunya. Kesungguhan anda dalam mencintai ketaatan, hati yang selalu anda hadapkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala, dan kehadiran hati ketika sedang beribadah merupakan indikasi cepatnya kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak bisa dibeli dengan harta tetapi ia sering dijual.

Tanda-tanda Kebagiaan
Kebahagiaan memiliki tanda-tanda, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan tiga perkara yaitu:
1. Jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur.
2. Jika mendapatkan ujian, dia bersabar.
3. Jika berbuat dosa, dia beristighfar.
Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah saw, dimana ia pernah secara khusus dido’akan oleh Rasulullah saw. Selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal al-Qur’an dan telah menjadi Imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para tabi’in (generasi setelah wafatnya Rasulullah saw) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas, ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan di dunia.
1. Qolbun Syakirun atau Hati Yang Selalu Bersyukur. (Lahu Qolbun Syakirun)
Memiliki jiwa/hati yang selalu bersyukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak terjadi stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah swt. Sehingga apapun yang diberikan Allah ia tetap menerima dan bersyukur dengan apa yang telah diputuskan kepadanya. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat kepada Allah swt dan sabda Rasulullah saw yaitu “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi dan pabila ia tetap “membandel” dengan terus bersyukur maka Allah swt akan mengujinya lagi dengan memberikan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur.
2. Al-Azwaju al-Shalihah (Lahu zawjatun Shalihah)
Yaitu memliki pasangan hidup yang shalih/shalihah. Pasangan hidup yang shalih/shalihah akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang shalih pula. Di akherat kelak seorang suami (sebagai imam dalam keluarga) akan diminta pertanggung jawabannya dalam mengajak istri dan anaknya untuk berbuat kebaikan dan keshalihan. Berbahagialah seorang suami memiliki istri yang shalihah dan sebaliknya akan berbahagia pula seorang istri memiliki suami yang shalih. Yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak anak istrinya menjadi muslim yang sholih. Demikian pula seorang istri yang sholihah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki istri yang shalihah.
3. Al-Auladu al-Abrar (Lahu Awladun Mabrurun)
Yaitu memiliki anak keturunan yang sholih dan sholihah. Saat ketika Rasulullah lagi thawaf Rasulullah saw bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah bertanya kepada anak muda tersebut, “Apa yang terjadi dengan pundakmu itu wahai anak muda”, anak muda itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat sayang dan mencintainya dan saya tidak pernah melepaskannya dari pundakku, saya melepaskan ibu saya ketika buang hajat, ketika sholat dan ketika istirahat, selain itu sisanya saya menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya, Ya Rasulullah, apakah saya termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua. Kemudian sambil memeluk anak muda itu, Rasulullah mengatakan, “Sungguh Allah swt ridho kepadamu, kamu anak yang sholih, anak yang berbakti kepada orang tua, tapi anakku ketahuilah, bahwa cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadits tersebut kita mendapat pelajaran dan gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita. Namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang sholih, dimana do’a anak yang sholih kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah, maka berbahagialah bagi orang tua yang memiliki anak yang sholih.
4. Al-Bi’atu al-Sholihah (memiliki lingkungan yang baik dan kondusif)
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah kita boleh mengenal siapapun tetapi apabila mau menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang-orang yang sholih. Orang-orang yang sholih akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholih adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholih.
5. Al-Mal al-Halal (harta yang halal)
Paradigma Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk menjadi kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab Shadaqah, Rasulullah saw pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdo’a mengangkat tangan. “kamu berdo’a sudah bagus”, kata Nabi saw, “namun sayang makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana do’anya di kabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena do’anya sangat mudah dikabulkan oleh Allah swt. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
6. Semangat Untuk Memahami Ajaran Agama
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Sesungguhnya Allah menjanjikan bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin belajar semakin cinta ia kepada agamanya. Bukankah Allah swt menjanjikan bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi. Semangat untuk menuntut ilmu adalah sangat dianjurkan oleh agama, apalagi menuntut ilmu-ilmu agama. Sesungguhnya siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuk baginya, maka sesungguhnya akan bertambah jauhlah ia dari sisi Allah, oleh karenanya semakin tinggi ilmu seseorang hendaknya semakin bersikap dan bersifat rendah hati, bijaksana dan adil dan yang lebih penting lagi adalah haruslah ia semakin mendekatkan diri kepada Allah swt. Maka berbahagialah orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tinggi yang dibarengi dengan pengetahuan agama, sungguh mulya orang yang berilmu dan taqarrub kepada Allah swt, subhanallah...
7. Umur Yang Barokah
Umur yang barokah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholih yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan belaka). Pada masa mudanya ia pun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akherat (melalui amal ibadah), maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan sang pencipta-Nya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan sang maha pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah swt. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.

Dan sesungguhnya amal sholih yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal sholih sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah swt.
Rasulullah saw berkata, “Amal sholih yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?, jawab Rasulullah saw, “amal sholih saya pun tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya, “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga ?, Rasulullah saw kembali menjawab, “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat, puasa dan taqarrub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk masuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, amiin...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar positif dan membangun di harapkan