Minggu, April 10, 2011

PEMBELAJARAN KITAB KUNING DI PESANTREN TRADISIONAL (SALAF)

Abstrak

Pondok pesantren paling tidak mempunyai tiga peran utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah dan sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren sampai hari ini telah mengalami berbagai pengembangan baik dari sistem pendidikannya, kurikulum pembelajarannya, pola pengajaran bahkan sampai materi pelajaran yang disampaikan. Padahal esensi dasar dari pondok pesantren tidak akan pernah terlepas dari elemen-elemen pesantren itu sendiri yakni pondok, masjid, kyai, santri dan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning). Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning. Adapun dari sisi materi yang termuat di dalam kitab kuning itu, sebenarnya sangat beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng. Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang ini. Hal lain adalah bahwa kitab kuning merupakan sebuah dokumen intelektual keislaman, sebuah khazanah Islam yang “lengkap” yang berisi beragam pendapat para ulama, memuat teks-teks al-Qur’an beserta tafsir yang dikemukakan sejak sahabat sampai tabi’in, menampung berbagai penjelasan status hadits dari yang shahih sampai dha’if dan bahkan hadits maudhu’i dll.


Kata Kunci : Implementasi, Pembelajaran, Kitab Kuning


PENDAHULUAN

Pondok pesantren adalah termasuk pendidikan khas Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta telah teruji kemandiriannya sejak berdirinya hingga sekarang. Pada awal berdirinya, bentuk pondok pesantren masih sangat sederhana. Kegiatannya masih diselenggarakan di dalam masjid dengan beberapa orang santri yang kemudian dibangun pondok-pondok sebagai tempat tinggalnya. Pondok pesantren paling tidak mempunyai tiga peran utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah dan sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Jawa, pesantren sudah sering menjadi objek penelitian. Sebut saja seperti Brumund telah menulis sebuah buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1875, kemudian diikuti oleh sejumlah sarjana lain seperti Clifford Ceetz, Karl Steenbrink, Martin Van Bruinessen, dan Zamakhsyari Dhofier, dengan masing-masing karyanya yang kontemporer. Namun, menurut Profesor Johns sebagaimana dikutip oleh Dhofier bahwa penelitian yang dilakukan oleh para sarjana itu belum dapat mengungkap seluruh khazanah pesantren yang begitu kaya, mereka baru mengungkap sedikit saja tentang pesantren.
Dalam perkembangannya, pondok pesantren menjelma sebagai lembaga sosial yang memberikan warna khas bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. Perannyapun berubah menjadi agen pembaharuan (agen of change) dan agen pembangunan masyarakat. “Sekalipun demikian apapun usaha yang dilakukan pondok pesantren tetap saja yang menjadi khittah berdirinya dan tujuan utamanya, yaitu tafaquh fiddin”. Dilingkungan pesantren terdapat santri dengan berbagai latar belakang kehidupan sosial, ekonomi dan suku. Namun keragaman tersebut relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas karena memegang prinsip agama, ideologi, nilai moral dan tradisi keagamaan yang sama. Komunitas pesantren ini menunjukkan kesantrian mereka, sehingga membentuk semacam lingkungan dan tradisi yang khas dan hanya dipahami oleh komunitasnya sendiri. Gus Dur mengatakan, “Komunitas pesantren pada dasarnya adalah sebuah komunitas yang memiliki subkultural tersendiri di tengah masyarakat dengan kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya”.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, pesantren tetap memegang teguh dan mengutamakan pentingnya akhlak al-karimah sebagai pedoman prilaku sehari-hari. Senada dengan pernyataan ini, Mastuhu menyebutkan, “pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari”. Pedoman moral keagamaan yang baik atau akhlak al-karimah tersebut telah termaktub banyak di beberapa literatur klasik atau kitab kuning yang dipelajari langsung oleh para santri di pondok pesantren. Sehingga kemudian, pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab buah pemikiran dan “karya tulis para ulama klasik-skolastik yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya”. Boleh dibilang, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren.
Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning. Adapun dari sisi materi yang termuat di dalam kitab kuning itu, sebenarnya sangat beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng. Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang ini. Hal lain adalah bahwa kitab kuning merupakan sebuah dokumen intelektual keislaman, sebuah khazanah Islam yang “lengkap” yang berisi beragam pendapat para ulama, memuat teks-teks al-Qur’an beserta tafsir yang dikemukakan sejak sahabat sampai tabi’in, menampung berbagai penjelasan status hadits dari yang shahih sampai dha’if dan bahkan hadits maudhu’i dll. Singkatnya, kitab kuning dianggap sudah menyediakan “segalanya” bagi umat Islam dewasa ini yang menginginkan basis penggalian hukum. Oleh karena itu, berpegang pada kitab kuning dalam istinbath al- hukm, disamping lebih praktis karena didalamnya menyediakan “menu” yang beraneka ragam, juga untuk menghindari kesalahan dalam memahami al-Qur’an dan hadits. Pada kenyataan inilah kemudian, kitab kuning tetap eksis dan dipelajari oleh kaum santri di pondok pesantren, meskipun jumlah santri yang mempelajarinya dan lembaga yang masih menerapkan metoda tradisonal ini telah relatif berkurang.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Belajar dan mengajar (pembelajaran) merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik) sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh pengajar (guru/ ustadz pada kalangan pesantren). Di dalam psikologi pendidikan/belajar dijelaskan tentang pengertian belajar sebagai berikut: (1) perubahan prilaku sebagai hasil dari pengalaman, karena itu belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami; (2) mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengarkan dan mengikuti arah yang disepakati; (3) berusaha melakukan perubahan dalam penampilan dan/atau kemampuan sebagai hasil dari praktek; dan (4) kegiatan latihan di laboratorium atau lingkungan alam dan sosial. Dari pengertian tersebut, bahwa belajar adalah merupakan suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan pada individu sebagai hasil dari bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan keyakinan terhadap suatu kebenaran yang diperoleh selama proses belajar.

KITAB KUNING DAN PESANTREN
a. Kitab Kuning
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke 17 an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan Ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kutub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah). Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matn (teks asal) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kyai.
Selain itu, yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning. Pertama, metode sorogan dan Kedua, metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan kyai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kyai sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi partisipatoris) dan halaqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.
Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab kuning di kalangan pesantren, ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati. Pertama, cara pandang masyarakat terhadap pesantren. Pesantren jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘subkultur’ yang mengembangkan pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di samping faktor kepemimpinan kyai-ulama, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik subkultur itu. Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab yang terus “diwariskan” turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas. Dengan begitu, ini merupakan bagian dari sebuah proses berlangsungnya pembentukan dan pemeliharaan subkultur yang unik tersebut.
Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai “referensi” nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat. Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar sebuah hadist yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “Al-ulama warosatul Anbiya”, ulama adalah pewaris para Nabi.
Dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: 1) kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah, hadits dan tafsir; dan 2) kitab kuning yang menyajikan materi yang berbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul fiqh dan mustalah al-hadits (istilah-istilah yang berkenaan dengan hadits). Sementara itu dilihat dari kadar penyajiannya, kitab kuning dapat dibagi tiga macam, yaitu: 1) mukhtasar, yaitu kitab yang tersusun secara ringkas dan menyajikan pokok-pokok masalah, baik yang muncul dalam bentuk nazam atau syi’r (puisi) maupun bentuk nasr (prosa); 2) syarah, yaitu kitab kuning yang memberikan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komparatif, dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan argumentasi masing-masing, dan 3) kitab kuning yang penyajian materinya tidak terlalu ringkas, tetapi juga tidak terlalu panjang (mutawassitah).
Kemudian dilihat dari kreatifitas penulisannya, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam; 1) kitab kuning yang menampilkan gagasan-gagasan baru, seperti kitab ar-Risalah (kitab ushul fiqh) karya Imam Syafi’i, al-‘Arud wa al-Qowafi (kaidah-kaidah penyusunan sya’ir) karya Imam Khalil bin Ahmad al-farahidi, atau teori-teori ilmu kalam yang dimunculkan Wasil bin Atha’, Abu Hasan al-Asy’ari dll. 3) kitab kuning yang muncul sebagai penyempurnaan terhadap karya yang telah ada, seperti kitab Nahwu (tata bahasa Arab) karya as-Sibawaih yang menyempurnakan karya abul aswad ad-Duwali. 3) kitab kuning yang berisi komentar (syarh) terhadap kitab yang telah ada, seperti kitab hadits karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan komentar terhadap kitab sahih al-Bukhari. 4) kitab kuning yang meringkas karya yang panjang lebar, seperti Alfiah Ibn Malik (buku tentang nahwu yang disusun dalam bentuk sya’ir sebanyak 1.000 bait) karya Ibnu Aqil dan Lubb al-Usul (buku tentang ushul fiqh) karya Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari Jam’ al Jawami’ (buku tentang ushul fiqh) karrangan as-Subki. 5) kitab kuning yang berupa kutipan dari berbagai kitab lain, seperti ‘Ulum al-Qur’an (buku tentang ilmu-ilmu al-Qur’an) karya al-Aufi. 6) kitab kuning yang memperbaharui sistematika kitab-kitab yang telah ada, seperti kitab Ihya Ulum ad-Din karya imam al-Ghozali. 7) kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-kitab yang telah ada, seperti kitab Mi’yar al-‘Ilm (sebuah buku yang meluruskan kaidah-kaidah logika) karya al-Ghozali.
Bagaimanapun juga, bahwa indigenous khazanah keilmuan kitab kuning dalam dunia pesantren harus tetap dilestarikan, dipupuk dan dikembangkan. Sehingga lembaga pendidikan pessantren model salafi tetap eksis dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Warisan ulama-ulama klasik tentang model pesantren dan kurikulum pengajarannya yang telah mereka pelopori sejak puluhan abad sebelumnya merupakan bukti yang menyejarah terhadap kemajuan dan kehebatan para peserta didiknya hingga saat ini. Maka, sangatlah positif sekali kemudian langkah yang diambil oleh Departemen Agama melalui program mu’adalah ijazah pesantren untuk mengembangkan jenis pesantren model salaf seperti ini .
b. Pengertian dan Sejarah Berdiri Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Istilah pesantren muncul dan berdiri kira-kira pada abad ke-15 di zaman wali songo. Penjelasan mengenai perkembangan pendidikannya dimulai pada masa kejayaan Islam di Jawa dan Madura sekitar abad ke-15 dan ke-16 M; pendidikan Islam pesantren tumbuh dan berkembang dengan baik. Tokoh yang dianggap paling berhasil dalam mengembangkan pendidikan pesantren dan Sunan Ampel (salah seorang dari wali songo), yang mendirikan pesantren di Kembang Kuning Surabaya. Dari keberhasilan beliau inilah kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru oleh para santri dan termasuk putra beliau sendiri. Seperti pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pesantren Demak oleh Raden Fatah, Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang dan pesantren Lamongan oleh Sunan Derajat. Eksistensi dari lembaga pendidikan pesantren hingga saat ini masih tetap berlangsung bahkan perkembangan pendidikan dan pengajarannya mengalami banyak perubahan dan kemajuan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang relevan dengan zamannya.
Keberadaan pondok pesantren tersebut pada dasarnya lahir sebagai perwujudan dari dua keinginan yang bertemu. Keinginan orang yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup (santri) dan keinginan orang yang secara ikhlas mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada umat (kyai). Sehingga secara fisik penggambaran pondok pesantren adalah sebuah lembaga yang memadukan dua keinginan tersebut. Adapun tempatnya dapat berupa langgar, mushalla atau masjid yang berkembang berdasarkan bertambahnya santri yang menuntut ilmu. Ditempat ini pula kemudian aktivitas santri diselenggarakan.
Merujuk kepada beberapa literatur, bahwa kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil seperti pernyataan Manfred yang dikutip oleh Hanum Asrohah yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India seperti disebutkan juga oleh Karel A. Steenbrink yakni shastri dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama” atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Penyebutan kata pesantren di disesuaikan dengan daerah masing-masing di Indonesia seperti surau di Sumatra Barat, Dayah di Aceh dan Pondok di daerah lain.
Sedangkan kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia yang mengandung makna kesederhanaan bagunan fisik dan tampilan perilaku penghuninya. Pondok juga diturunkan dari bahasa Arab “funduq” (ruang tidur, wisma, pemondokan). Pengertian lain dari pondok adalah pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang berpergian. Dalam kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga, pondok diartikan dengan sebagai madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).
Terlepas dari semua persoalan itu, menurut Sukamto berdirinya sebuah pondok pesantren biasanya tidak dapat dipisahkan dari keadaan sosial budaya masyarakat setempat, menurut tradisi lisan, tidak jarang tempat asal mula pondok pesantren berdiri berbeda di pedukuhan kecil yang penduduknya beragam atau belum menjalankan syari’at agama. Sekalipun belum ada data tertulis mengenai keberadaan awal berdirinya sebuah pondok pesantren secara pasti, namun informasi lisan tersebut sering menceritakan bahwa lingkungan yang akan menjadi lokasi lembaga pondok pesantren tersebut merupakan tempat orang-orang yang melakukan kejahatan atau kemiskinan.
Tradisi lisanpun menjelaskan bahwa berdirinya pesantren di Indonesia sering memiliki latar belakang yang sama, dimulai dengan usaha seorang atau beberapa orang yang berkeinginan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat luas. Mereka membuka pengajian secara sederhana kepada penduduk setempat. Baisanya pengajian yang mula-mula dilaksanakan adalah membaca al-Qur’an, ada yang ada di rumah, mushalla atau masjid. Beberapa waktu kemudian tumbuh kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan keagamaan dan mengakui kemampuan sang guru, sehingga akhirnya banyak penduduk sekitar belajar agama dan mereka memanggil sang guru itu dengan sebutan “kiai” (Jawa), “ajengan” (Sunda). Dan mereka yang menuntut ilmu agama di tempat tersebut disebut “santri”.
Secara spesifik bahwa makna, pengertian atau defenisi pesantren adalah, menurut Sudjoko Prasodjo pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Islam non klasikal, dimana kyai mengajarkan ilmu agama kepada santri berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan para santri tinggal di pondok dalam pesantren tersebut. Defenisi tersebut mengungkapkan unsur-unsur dasar sebuah pesantren seperti yang disebutkan oleh Zamakhsyari Dhofier yaitu kyai, masjid, pondok (asrama), santri dan kitab kuning.
c. Tipologi dan Elemen-Elemen Pondok Pesantren
1) Tipologi Pondok Pesantren
Dalam pelaksanaannya, dari sekian banyak sistem atau tipe pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren, secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua bentuk :
a). Pondok Pesantren Salafiyah
Pondok pesantren Salafiyah adalah pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu agama Islam, dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pembelajaran (pendidikan dan pengajaran) yang ada pada pondok pesantren ini dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis pondok pesantren ini pun dapat meningkat dengan membuat kurikulum sendiri, dalam arti sendiri berdasarkan ciri khas yang dimiliki oleh pondok pesantren.
Perjenjangan dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun (tema kitab) yang sama setelah tamatnya suatu kitab. Dan para santri dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan pondok pesantren, dapat juga mereka tinggal di luar lingkungan pondok pesantren (santri kalong).
b). Pondok Pesantren Khalafiyah
Pesantren khalafiyah mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah baik Kemneterian Agama maupun Kementerian Pendidikan Nasional. Biasanya kegiatan pembelajaran pada pondok pesantren memiliki kurikulum pondok pesantren yang klasikal dan berjenjang, bahkan pada sebagian kecil pondok pesantren pendidikan formal yang diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum mandiri, bukan dibawah naungan Kementerian Agama atau dibawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional.
Pondok pesantren jenis ini selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik jalur sekolah umum seperti SD, SMP, SMU, dan SMK dan jalur sekolah berciri khas agama Islam seperti MI, MTs, MA. Sehingga para santrinya adakalanya menginap “mondok” dalam arti sebagai santri dan siswa sekolah. Adakalanya pula sebagian siswanya (santri) bukan santri pondok pesantren, tetapi hanya ikut pada lembaga formalnya saja dan atau santrinya hanya mengikuti pendidikan kepesantrenannya saja.
Pesantren khalafiyah bercirikan; Pertama, memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern. Kedua, tidak terikat atau tersentral pada figur kyai. Ketiga, memiliki pola dan sistem modern dengan perpaduan kurikulum antara mata pelajaran berbasis ilmu agama dan mata pelajaran berbasis pengetahuan umum.
Disamping dua bentuk pondok pesantren tersebut diatas, ada juga pesantren yang bertipe semi salafiyah sekaligus semi khalafiyah atau bisa disebut pesantren terpadu. Pesantren jenis ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kyai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan non pesantren.
2). Elemen-Elemen Pondok Pesantren
Perkembangan pesantren yang melalui rentang waktu sangat yang panjang, selain memperlihatkan jumlah yang sangat besar juga telah mengalami corak pertumbuhan yang beraneka ragam sehingga terkadang terasa sulit untuk membuat gambaran suatu pola pesantren dan mengadakan generalisasi tentang lembaga pendidikan tersebut.
Terlepas dari corak masing-masing pesantren tersebut, yang jelas untuk membentuk suatu suatu lembaga pendidikan pesantren, paling tidak harus memiliki lima elemen penting seperti telah disebutkan oleh Zamakhsyari Dhofier sebelumnya yaitu; pondok, masjid, santri, kyai dan kitab kuning. Kelima elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yang mendasari terbentuknya tradisi pesantren. Bila sebuah lembaga pendidikan yang menamakan dirinya sebagai pesantren tetapi tidak memiliki elemen tersebut, maka ia bukanlah lembaga pesantren. Berikut penjabaran dari masing-masing elemen tersebut.
a) Pondok
Pondok atau yang dikenal juga dengan sebutan asrama adalah tempat tinggal para santri dan pondok ini memberikan ciri khas tradisi pesantren dan sekaligus membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain bahkan sistem ini pula yang membedakan pesantren dengan sistem pendidikan surau di Minangkabau. Pondok pada lembaga pesantren merupakan sebagian dari gambaran kesederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhanaan santri di pesantren.
b) Masjid
Masjid adalah merupakan tempat ibadah bagi kaum muslimin untuk melakasanakan shalat lima waktu secara berjama’ah. Begitu juga halnya masjid-masjid yang ada di pesantren. Di pesantren, masjid tidak hanya berfungsi untuk shalat berjama’ah bagi kaum santri, akan tetapi masjid sesungguhnya adalah simbol bagi pesantren setelah kyai (pimpinan pondok), untuk melaksanakan beberapa kegiatan seperti tempat pengajian, tempat belajar, tempat diskusi, zikir, i’tikaf, dan lain-lain. Bahkan bagi pesantren masjid juga difungsikan sebagai pusat kegiatan thariqat, disamping itu juga masjid memiliki fungsi tambahan yaitu sebagai tempat amaliah ketasawufan.
c) Santri
Santri merupakan elemen penting dalam setiap pesantren, dan berdasarkan tradisi pesantren santri terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, santri mukim; santri yang menetap atau tinggal bersama kyai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kyai. Dalam pengertian lain, santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Kedua, santri kalong; seorang murid yang berasal dari daerah sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan menetap di dalam pesantren, melainkan hanya belajar yang kemudian pulang ke rumah setelah belajar di pesantren.
Pada awalnya, komunitas pesantren hanya mempunyai santri kalong (tanpa menginap), akan tetapi karena pertumbuhan santri semakin lama semakin meningkat dan mereka tidak saja berasal dari daerah sekitar tempat tinggal kyai, tetapi dari daerah-daerah yang jauh, maka dibutuhkan tempat penginapan. Di sinilah pondok mulai dibangun. Maka jadilah sebuah lembaga yang disebut dengan pesantren. Santri di pondok pesantren bersosialisasi dengan sesama santri memiliki pola kehidupan yang diikat oleh tata nilai yang utuh dan bulat, tata nilai tersebut berfungsi sebagai pencipta rasa ketertiban satu sama lain, sehingga menimbulkan jalinan persaudaraan yang erat.
d) Kyai
Kyai adalah termasuk elemen yang paling esensial bagi lembaga pondok pesantren. Sebab kyai dari suatu pesantren, disamping sebagai pengajar yang menguasai kitab kuning sekaligus sebagai perintis, pendiri pengasuh dan pemimpin sebuah pesantren. Kyai memiliki otoritas dan wewenang yang bersifat mutlak. Berjalan atau tidaknya suatu pesantren bergantung pada sang kyai yang sebagai pemegang kendali manajerial pesantren. Bentuk dan model pesantren yang variatif adalah pantulan dari kecenderungan sosok seorang kyai.
Ada perbedaan antara ulama dengan kyai, menurut Horikhosi perbedaan tersebut terletak pada fungsi sosialnya. Sedang ulama lebih berperan dalam komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi sosial kyai lebih besar daari ulama, karena ditopang oleh kekuatan-kekuatan kharismatik.
e) Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik
Unsur lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah kajian kitab-kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Kitab kuning pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ‘ulama dan pemikir muslim dimasa lampau khususnya yang berasal dari Timur Tengah.
3). Pembelajaran Kitab Kuning dan Ciri-Cirinya
Belajar merupakan aktifitas yang dilakukan oleh siswa dalam rangka membangun makna atau pemahaman. Karenanya dalam pembelajaran guru perlu memberikan motivasi kepada siswa untuk menggunakan potensi dan otoritas yang dimilikinya untuk membangun suatu gagasan. Pencapaian keberhasilan belajar tidak hanya menajdi tanggung jawab siswa, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat.
Setiap siswa pada dasarnya berbeda dan telah ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style), yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Begitu juga kemampuan siswa dalam belajar, siswa tertentu lebih mudah belajar dengan mendengar dan membaca, siswa lain dengan cara menulis dan membuat ringkasan, siswa lain dengan melihat dan yang lain dengan cara melakukan belajar secara langsung. Oleh karena itu guru harus mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media dan sumber belajar dan cara penilaian yang disesuaikan dengan karakteristik individual siswa. Karenanya kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru harus mendorong siswa agar dapat mengembangkan potensi, bakat serta minat yang dimilikinya secara optimal dan maksimal.
Pembelajaran adalah salah satu proses untuk memperoleh pengetahuan, sedangkan pengetahuan adalah salah satu cara untuk memperoleh kebenaran/nilai, sementara kebenaran adalah pernyataan tanpa keragu-raguan yang dimulai dengan adanya sikap keraguan terlebih dahulu. Sedangkan proses pembelajaran dalam istilah pendidikan Islam selalu memperhatikan perbedaan individu peserta didik serta menghormati harkat, martabat, dan kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan menerapkan pendiriannya, sehingga bagi peserta didik, belajar merupakan hal yang menyenangkan dan sekaligus mendorong kepribadiannya berkembang secara optimal, sedangkan bagi guru, proses pembelajaran merupakan kewajiban yang bernilai ibadah, yang dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. di akherat.
Pembelajaran yang dilaksanakan dilembaga pendidikan seperti pesantren adalah proses interaksi yang dilakukan antara ustadz dengan santri pada setiap aspek kehidupan dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Maksudnya adalah karena para santri dan ustadz tinggal bersama dalam satu lingkungan pondok yang serba mungkin untuk melakukan pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam lokal kelas saja. Unsur inilah kemudian yang membedakan lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan formal lainya.
Unsur lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah kajian kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Kitab kuning pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau khususnya yang berasal dari Timur Tengah, sejak abad ke-9 dan seterusnya. Pembelajaran kitab-kitab Islam klasik tersebut, terutama karangan-karangan ulama Syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren, dengan tujuan utama mendidik calon-calon ulama muslim.
Ciri-Ciri Kitab Kuning
Kitab-kitab kuning yang menjadi literatur-literatur keagamaan tersebut umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Kitab-kitabnya berbahasa Arab, Tidak memakai syakal (tanda baca), Umum menggunakan kertas berwarna kuning, Metode penulisannya dianggap kuno, Berisikan ilmu yang cukup berbobot, Lazimnya hanya dikaji di pondok pesantren.
Diskursus mengenai metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren Salafiyah tidak akan terlepas dari penggunaan metode tradisional konvensional. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyapaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren Salafiyah, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Dalam perjalanannya, selama kurun waktu yang panjang pondok pesantren jenis ini menerapkan beberapa metode pembelajaran diantaranya; wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan (tahfidz) dan munazharah (musyawarah/muzkarah).
Berikut beberapa metode pembelajaran kitab kuning beserta defenisinya:
1. Metode Wetonan atau Bandongan
Sistem bandongan sering juga disebut “halaqah”. Halaqah artinya lingkaran, disebut halaqah karena santri duduk melingkar dilantai menghadap ke kyai. Dalam sistem bandongan ini, kyai membacakan salah satu kitab, menerjemahkannya dan memberikan keterangan terhadap kata-kata yang sulit. Sementara para santri duduk bersila mengitarinya, dan mereka menyimak kitab masing-masing sambil mencatat terjemahan dan penjelasan alakadarnya yang diberikan oleh kyai disela-sela teks aslinya atau di pinggiraan-pinggiran kitab. Dan maskud lain dari metode wetonanan atau bandongan ini adalah cara penyampaian ajaran kitab kuning di mana seorang guru, kyai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi ajaran kitab kuning tersebut, sementara santri mendengarkan, memaknai dan menerima sehingga dalam metode ini terkesan hanya guru yang aktif sementara santri bersikap pasif.
2. Metode Sorogan
Kata “sorogan” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau disodorkan”. Maksudnya adalah suatu sistem belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru (kyai). Jadi sistem sorogan bersifat individual, sedangkan kyai menghadapi santri itu datang secara bersama, namun mereka antri menunggu giliran masing-masing. Dalam pengajaran sistem ini seroang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kyai, lalu santri membaca dan memaknai sendiri kitabnya, kyai membetulkan atau meluruskan jika apa yang dibaca santri itu salah.
3. Halaqoh
Sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqoh yang arti bahasanya lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam suatu tempat. Halaqoh ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab akan tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh sebuah kitab. Metode halaqoh ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini kyai atau guru bertindak sebagai moderator dengan tujuan agar santri aktif dalam belajar dan dengan melalui metode ini santri akan tumbuh dan berkembang pemikiran yang kritis, analitis dan logis.
4. Metode Muhawaroh
Sebentuk latihan berbahasa arab yang diwajibkan kepada semua santri. Muhawaroh ini dilakukan dalam upaya memperlancar para santri menguasai bahasa arab secara aktif di dalam pesantren maupun dalam masyarakat. Dalam hal ini semua santri diajurkan mampu berbicara dalam bahasa arab dan berpidato, berkhutbah dalam bahasa arab.
5. Metode Bahtsul Masa’il
Metode ini merupakan pertemuan ilmiyah yang membahas masalah diniyah seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah, hanya perbedaannya pada pesertanya, dimana peserta pada metode ini adalah kyai/ ustadz dan santri tingkat tinggi. Pada pelaksanaannya metode ini dapat dikelompokkan menjadi dua; a) yang diadakan oleh sesama kyai atau ustadz. Pada tipe ini biasanya disediakan kitab-kitab besar yang merupakan rujukan utama dan dilengkapi dengan dalil-dalil dan metode istinbath (pengambilan hukum) yang lengkap. Tujuannya adalah untuk memecahkan suatu masalah agama dan kemasyarakatan yang timbul atau sekedar untuk memperdalam pengetahuan agama. b) yang diadakan antar sesama santri, tujuannya adalah untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan-rujukan yang jelas dan melatih cara berargumentasi dengan menggunakan nalar yang lurus.
6. Metode Mudzakarah
Merupakan pertemuan ilmiah yang spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Mudzakarah ada dua; a). Mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, b). Mudzakarah sesama santri
7. Takhassus
Yang dimaksud takhassus ialah pengambilan spesialisasi kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) yang diajarkan beserta perangkat ilmu yang mendukungnya. Dengan adanya takhassus ini, maka dipesantren lahirlah berbagai disiplin ilmu, seperti menekuni kitab-kitab ilmu fiqh dan segala perangkatnya, kitab-kitab tentang aqidah/ teologi Islam, bidang tafsir dan hadits dll.
Dibeberapa pesantren takhassus merupakan ilmu keahlian yang dimiliki oleh setiap kyai. Oleh sebab itu, para kyai akan mengajar para santri itu sesuai dengan keahliannya. Disamping itu para santri pun diberi kesempatan untuk memilih bidang keahliannya yang diinginkan oleh para santri. Diantaranya bidang fiqh, tafsir, hadits, tasawuf, ilmu kalam (teologi).

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMBELAJARAN KITAB KUNING
Sebuah sistem tidak terlepas dari kelemahan dan kelebihan. Sistem pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) di berbagai pesantren juga tidak terlepas dari dua hal tersebut. Di antara kelemahan sistem pengajaran kitab-kitab di pesantren adalah sebagai berikut :
1. Orientasi keilmuan dipesantren lebih dititik beratkan pada kajian ilmu-ilmu terapan, seperti fiqh, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu sharf). Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu terapan ialah ilmu-ilmu yang perlu diketahui untuk segera diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pengajaran ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengembangan wawasan dan menajamkan penalaran seperti ilmu mantiq, filsafat, sejarah, bahasa dan tarikh tasyri’ masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penerapan ilmu fiqh yang dipelajari di pesantren sering menjadi lemah ketika berhadapan pada realita sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer.
2. liberalisasi dalam proses belajar mengajar di pesantren sering menjadi faktor utama, karena panjangnya masa belajar seorang santri di pesantren. Liberalisasi secara tegas menjadikan para santri bebas memilih bidang studi yang disukainya. Sehingga bidang studi yang favorit mengalami kelebihan santri sedang bidang lain kekurangan.
3. konsep barokah yang semula sebagai motivasi para santri agar lebih giat dalam belajar, akan tetapi kenyataannya konsep barokah dapat mematikan orientasi ilmiah. Dengan konsep barokah, maka seorang santri tidak akan pernah melakukan kritik dan analisis terhadap sebuah kitab melalui tela’ah ilmiah.
4. Proses belajar mengajar secara monolog (one way traffic), dimana seorang kyai yang mentransfer ilmunya kepada santrinya, hanya membacakan dan menterjemahkan serta memberi komentar atas kitab yang dikaji. Sedangkan para santri hanya mendengar sambil mencatat makna harfiahnya dan memberikan simbol-simbol i’rab (kedudukan kata dalam struktur kalimat), berdasarkan pada aturan yang telah dirancang sedemikian rupa.
5. Kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) yang dijadikan rujukan utama adalah buku teks, yang merupakan kitab yang ditulis pada abad pertengahan dengan konteks dan permasalahan pada abad tersebut, sehingga berbagai persoalan yang muncul kepermukaan pada kurun waktu tertentu tidak didapati.
Sedangkan kelebihan dari pembelajaran kitab kuning diantaranya adalah :
1. Dalam proses belajar mengajar kitab-kitab Islam klasik/kitab kuning tidak menggunakan kurikulum dan silabus yang terprogram, melainkan mengikuti bab-bab yang ada dalam kitab yang dijadikan sebagai panduan tersebut. Sistem ini akan memudahkan santri yang mempelajari bab khusus yang diinginkan. Sebab di dalam kitab kuning tersebut antara satu dengan bab lain terlepas sehingga memudahkan bagi mereka yang hendak mempelajari atau membahas bab yang diiginkan.
2. Pengajaran yang dilakukan bersifat Disain Sirkuler, artinya para santri setelah mempelajari teori-teori yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut dituntut untuk mempraktekkannya. Sesudah dipraktekkan selanjutnya mereka membahas hasil-hasil praktek tersebut untuk diuji kembali dengan teori-teori yang dipelajarinya, demikian selanjutnya.
3. Pengajaran yang tidak mengenal jenjang, berdasarkan kelompok umur tertentu dalam menentukan kurikulum dan konsekuensi pengajaran bersifat belajar tuntas dan maju berkelanjutan. Cara belajar semacam ini menunjuk kemampuan individu dari santri dalam menerima pelajaran. Jika seorang santri tersebut pintar dan cerdas serta sungguh-sungguh, maka semakin cepat ia menyelesaikan mata pelajaran yang ditekuni kemudian pindah mata pelajaran lain. Demikianlah seterusnya yang dilakukan di beberapa pesantren salaf atau tradisional.
4. Sistem evaluasi yang bersifat self evaluation yang ditetapkan di pesantren tradisional, yang memungkinkan kyai melakukan penilaian secara lebih objektif. Melalui self evaluation santri dapat mengukur sendiri hasil belajarnya, dengan cara ini, dimungkinkan tidak terjadi manipulasi nilai.
5. Motivasi keagamaan menjadi faktor instrinsik pendorong utama terciptanya suasana sakral dalam proses belajar mengajar, dimana pengajar dan santri yang menerima pelajaran, meyakini bahwa mereka sedang melaksanakan ibadah. Keyakinan tersebut membuat pengajar dan para santrinya benar-benar konsentrasi dalam kegiatan proses belajar mengajar.
6. Sangat selektif dalam memilih tenaga pengajar karena mereka harus mengalami proses yang panjang dimulai dari masalah profesionalisme, kecerdasan, sikap dan perilaku, ketekunan dalam melaksanakan ibadah. Loyalitas serta dedikasi yang tinggi. Untuk seorang kyai akan mengajarkan kitab kuning dituntut untuk benar-benar menguasai materi yang akan disampaikan kepada santri secara profesional.

KESIMPULAN
Pesantren pada awalnya merupakan sebuah lembaga pendidikan agama, sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di seluruh Indonesia. Pendidikan pesantren umumnya diberikan melalui sistem tradisional. Dimana seorang kyai atau ustadz dikelilingi oleh para santri kemudian mentransfer ilmunya. Para santri belajar dengan cara berjenjang, maksudnya santri yang senior diberi kewajiban mengajar santri yunior atau yang lebih muda, sedangkan kyai dan ustadz mengajar santri keseluruhan. Dengan cara ini para santri akan lebih menguasai ilmu yang telah diajarkan oleh kyai dan ustadz, sehingga santri yang menyelesaikan studinya atau yang telah dianggap bisa mengembangkan ilmunya, mereka akan lebih mandiri setelah terjun ketengah-tengah masyarakat di daerahnya masing-masing.
Secara tradisional pembelajaran kitab kuning dapat membina dan mendidik sikap pribadi santri. Dengan mengajarkan kepribadian atau akhlak. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan sistem atau metode tradisionil. Diskursus mengenai metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren Salafiyah tidak akan terlepas dari penggunaan metode tradisional konvensional. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyapaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren Salafiyah, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Dalam perjalanannya, selama kurun waktu yang panjang pondok pesantren jenis ini menerapkan beberapa metode pembelajaran diantaranya; wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan (tahfidz) dan munazharah (musyawarah/muzkarah).



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. 1983. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali.
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Barat, Ciputat: PT Logos Wacana Islam.
Arifin, Imron. 1993. Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Malang: Kalimasahada Press.
Asrohah, Hanum. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos.
Dhofier. Zamakhsyari, 1994. Tradisional Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES
Dirdjosanyoto, Prajoto. 1999. Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kia Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKIS.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Departemen Agama RI, 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan dan Pondok Pesantren.
F. Masudi, Masdar. 1998. Pandangan Hidup Ulama Indonesia Dalam Literatur Kitab Kuning: Makalah pada Seminar Nasional Tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia, Jakarta: LIPI
Fazlurrahman, Islam, 1979. Chicago-London: University of Chicago
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa (terj.) Aswab Mahatin, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
H. Mudjahid AKA, M.Sc. dkk, 2006. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Hasbullah, 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LSIK.
Hasbullah, 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
H.M.Suyudi, 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj.
Horikhosi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M.
Kafrawi, 1978. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Jakarta: PT Cemara Indah.
Koentjaraningrat, 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia
M. Amin, Abdullah.1998. Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. Dalam Abd. Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS
M. Basyuni, Muhammad. 2006. Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah dan Refleksi, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dirjen Pendis Depag RI
Muhaimin dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Tiga Karya.
Muhaimin, 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM).
M. Mukhsin, dkk, 2007. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Depag RI
Nata, Abuddin. dkk,. 1999. Suplemen Ensiklopedi Islam 1, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve
Narbuko. Cholid. & Achmadi, Abu. 2005. Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara
Oetomo, Wahyu. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Press.
Rahardjo, Dawam. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M.
Ramayulis, 2008. Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulya
Syah, Darwyn. dkk, 2007. Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press.
Sukamto, 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: Pustaka, LP3ES.
Suryabrata, Sumadi. 1987. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali
Syafi’ie Noor, Ahmad. 2009. Orientasi Pengembangan Pendidikan Pesantren Tradisional, Jakarta: Prenada Media Group.
Taufik, Abdullah. & Surjomihardjo, Abdurrahman. (ed), 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta, Gramedia
Tabloid Pondok Pesantren untuk Kemaslahatan Umat, 2009. Masa Depan Pesantren Salafiyah, diterbitkan oleh Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman dan Sosial (LeKDiS) Nusantara.
Tim Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, 2009. Pedoman Pengembangan Kurikulum Pesantren, (Jakarta Pusat: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren & Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI.
Tim Penyusun Kamus, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Haji Zainawi bin Zahrian; (Wawancara) pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren,, hari Rabu tanggal 22 September 2010, jam 14.15 WIB di Pondok Pesantren Salaf Nurul Muhibbin
Ustadz Abdullah, S.Ag; (Wawancara), tenaga pengajar sekaligus wakil pimpinan pondok pesantren, Rabu tanggal 22 September 2010, jam 15.00 WIB di Pondok Pesantren Salaf Nurul Muhibbin.
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in The Pesantren Milleau
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esei-Esei Pesantren, Yogyakarta: LKis
Wahid, Abdurrrahman. 1985. Nilai-Nilai Kaum Santri dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar positif dan membangun di harapkan