Kamis, Oktober 01, 2009

Al-Ghazali (1059-1111 M)


Nama lengkapnya Zainuddin Hujjatul-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di Tous (Khurasan). Al-Ghazali dikenal luas sebagai peletak pilar ilmu Tasawuf Islam, dan berhasil menempatkan disiplin ilmu Tasawuf sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sebelumnya, praktik Tasawuf banyak dikecam terutama oleh kalangan fuqaha (ahli-ahli hukum), karena banyak dari praktisi Tasawuf mengeluarkan pernyataan-pernyataan controversial yang dinilai menyimpang dari ajaran baku Islam. Al-Ghazali juga dikenal sebagai Faqih (ahli hukum), Mutakallim (ahli teologi), Filosof (ahli filsafat), di samping juga memiliki pengetahuan yang bersifat ensiklopedik. Tidak dapat dipungkiri, tokoh ini sangat produktif dalam menghasilkan tulisan. Dalam bidang filsafat bukunya yang sangat kritis terhadap para difilosof berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kerancuan para filosof). Karya spektakulernya adalah Ihya Ulumuddin (kebangkitan ilmu-ilmu agama). Tulisan ini dapat dikategorikan sebagai pedoman bagi mereka yang ingin mengetahui Tasawuf dan Eika Islam. Karya ini ditulis seusai masa pengembaraan dalam mencari kebenaran, dan dengan proses penelusuran yang teliti, serta penguasaan begitu banyak disiplin ilmu Islam.

Kitab Ihya terdiri dari 4 bagian penting meliputi: al-Ibadat (ritual-ritual), al-Aadaat (kebiasaan-kebiasaan), al-Muhlikaat (penyebab kebinasaan), dan al-Munjiyaat (penyebab keselamatan). Karya-karya penting lainnya meliputi auto-biografi berjudul al-Munqiz min al-Dhalal (menyerupai buku Santa Augustine “confession”, dimana dalam buku ini keduanya menuturkan pengalaman spiritual mereka ); bidang Usul Fiqh atau hukum berjudul al-Mustasfaa’ ; bidang logika berjudul Mi’yaarul Ilm; bidang filsafat berjudul Tahafut al-Falasifah, Maqasil Falasifah, Talbis Iblis; bidang Teologi berjudul al-Iqtisad fi al-I’tiqad, al-Qiathas al-Mustaqim, al-Tsaringah ilaa Makarim al-Shari’ah; bidang tasawuf berjudul Kimiya al-Sa’adah, al-Risalah al-Laduniyah, Minhaj al-Abdidin, dan Mishqata al-Anwar.

Menurut penulis Mesir Abdurrahman Badawi, karya al-Ghazali yang dapat di kategorikan sebagai hasil otentik sebanyak 73 buku, sedangkan hampir mencapai sebanyak 500-600 berupa bukudan catatan, banyak diantaranya yang menggunakan nama al-Ghazali namun ditulis oleh orang lain. Ihya Ulumuddin misalnya, dikenal sebagai buku rujukan akhlak dan tasawuf Islam, banyak mengundang pujian dan kritikan. Kritik yang sering dilontarkan terhadap buku ini pada umumnya berupa kelemahan-kelemahan al-Ghazali dalam memilih hadits-hadits Nabi dan penyajiannya. Dimana sering dinilai oleh pakar hadits sebagai kurang otentik. Kritikan lain yang sering dilontarkan adalah kealpaan Ghozali dalam memberikan porsi bagi anjuran jihad (perjuangan) terhadap agresi umat Kristiani Krusada (perang Salib) yang memporak porandakan kewibawaan umat Islam.

Sebaliknya bagi penyanjung al-Ghazali, terutama tentang bukunya Ihya Ulumuddin, dapat dikemukakan disini bahwa ungkapan-ungkapan denganpenuh pujian dilontarkan seperti oleh al-Imam an-Nawawi. Disebutkan oleh an-Nawawi bahwa kitab Ihya mewadahi nilai-nilai al-Qur’an dalam manfaatnya. Bagi praktisi dan penggemar tasawuf, tidak dapat dipungkiri bahwa kitab Ihya merupakan rujukan utama, sebalinya bagi kelompok yang menilai tasawuf bagian dari infiltrasi budaya luar yang merongrong kemurnian ajaran Islam, ktab ini dianggap menyesatkan sehigga perlu dilenyapkan dari peredaran. Sikap terakhir pernah terjadi di Negara-negara Islam Afrika Utara Islam pada masa silam.

Karena al-Ghozali begitu mendalam dalam menitikberatkan nilai spiritual Tasawuf Islam, dan mengkritisi kaum filosof, maka tidak ada anggapan yang menilai bahwa al-Ghozali sebagai penghambat utama munculnya filosof Islam dan pemikiran rasional di kalangan umat Islam. Bahka satu hal yang tidak dapat disangkal bahwa kehadiran al-Ghozali dalam pentas pemikiran Islam telah mempengaruhi peta pemikiran dunia Islam. Dalam hal ini al-Ghozali telah berhasil memantapkan disiplin ilmu tasawuf beserta dan perkembangannya dalam dunia Islam. Dari aspek teologi al-Ghozali menganut aliran sunni Asyariyah, yang didirikan oelh Abu al-Hasan al-Asy’ari; dalam sisi hukum menganut mazhab Syafi’i yang didirikan oleh pendirinya Abu Idris al-Syafi’i dan dalam tasawuf al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang beraliran moderat yang dirintis oleh sufi-sufi kenamaan seperti al-Harits al-Muhasiby, Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Thalib alp-Makki, al-Qusyairi. Akhirnya berkat kepiawaian al-Ghozali dalam memaparkan disiplin ilmu tasawuf dalam kaitannya dengan ajaran Islam, maka tokoh-tokoh tasawuf lainnya mulai dapat diterima oleh para fuqaha (ahli hukum) yang selama ini mencurigai gerak dan sikap para sufi. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa maraknya kelahiran tokoh-tokoh Tariqah (tarekat) seperti Sheikh Abdul Qadir al-Jailani, Abdul Hasan al-Shazili, Ahmad al-Badawi, tidak terlepas dari pengaruh pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali.

Rabi'ah al-'Adawiyah (Wafat 801 M)


Perempuan sufi paling terkenal dalam sejarah Tasawuf yang juga dikenal sebagai Rabi’ah dari Bashrah. Kehadiran Rabi’ah dalam sejarah Tasawuf menggambarkan betapa isu jender tidak menjadi kendala dalam mencapai pengakuan superioritas spiritual. Sebagai seorang perempuan yang pernah mengalami status budak, yang memiliki kedekatan dengan Allah atas dasar cinta, Rabi’ah sering dipersamakan dengan istri Nabi Ibrahim dan ibu Nabi Isma’il, Hajar. Dalam kepasrahannya kepada Allah ditengah-tengah sahara Makkah, Allah berdialog dengan perempuan bernama Hajar, lalu menganugerahinya Sumur Zam-Zam.

Rabi’ah dikenal sbagai pencetus konsep jalinan cinta mendalam antara manusia dengan Allah. Sejarah yang selalu melekat pada pribadi Rabi’ah adalah ketika dirinya berkeliling kota Basra sambil membawa obor di genggaman tangan kirinya dan gayung air di tangan kanannya, menjawab pertanyaan yang membuat orang terheran-heran. Rabi’ah berkata,” Untuk membakar surga dan memadamkan neraka; hal ini saya lakukan untuk mengetahui secara jelas siapa yang menyembah Allah karena takut dari api neraka atau mengharap surga.” Dengan kata-kata ini, Rabi’ah ingin menyadarkan manusia bahwa seseorang menyembah Allah harus karena kesadaran yang dilandasi cinta kepada-Nya. Bagi Rabi’ah, hatinya telah terisi penuh dengan kecintaan kepada Allah sehingga tak ada tempat tersisa untuk kecintaan selain-Nya, walau terhadap Nabi Muhammada sekalipun.

Rabi’ah dapat dikatakan sufi pertama yang berbicara tentang kecemburuan Tuhan, yakni bahwa cinta tidak boleh tertuju selain-Nya. Konsep cinta yang mendalam kepada Allah, menurut Rabi’ah, sebagai manifestasi dari jalinan al-Qur’an (QS. 5: 54). Dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa jalinan cinta bermula dari Allah kepada hamba-Nya, baru kemudian dari hamba-Nya kepada Allah. Tidak dapat disangkal, Rabi’ah telah meletakkan dasar-dasar konsep cinta sejati kepada Allah, yang lantas menjadi inspirasi bagi para sufi sepanjang masa. Untuk itu, Rabi’ah senantiasa dikenang sebagi seorang panutan dan model serta sosok seorang hamba yang mencintai Allah tanpa pamrih apapun.

Rabi'ah al-'Adawiyah