Sabtu, Januari 24, 2009

BANGUNAN EKONOMI YANG BERKEADILAN

Judul Buku : Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam)
Penulis : Ir. Adiwarman Azwar Karim. MAEP, MBA. Dkk.
Penerbit : Magistra Insania Press Yogyakarta bekerjasama dengan MSI UII
Tebal : xxxii + 240 hlm.; 11 x 21 cm
Cetakan : Pertama, September 2004

1.Summary / Abstract
Sistem ekonomi Islam adalah sebagai golden ways atau boleh dikatakan satu-satunya solusi harapan untuk mengatasi krisis ekonomi global yang melanda dunia. Sehingga masih kita lihat realitas kaum muslimin di negara-negara yang berpenduduk Islam hingga saat ini masih jauh dari kemajuan ekonomi dan kesejahteraan. Berangkat dari urgen dan titik penting inilah maka kemudian sistem ekonomi Islam adalah sandaran utama untuk mengangkat derajat kesejahteraan dan perekonomian kaum muslimin, mulai dari lembaga perbankannya, lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya, sistem jual beli dengan segala variannya dan lain-lain. Meskipun Max Weber mensangsikan dengan eksistensi ekonomi Islam, dia menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. tetapi kemudian kesimpulan Max Weber tersebut dibantah oleh Chapra, dia mengatakan “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.
Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statement menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut. Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi.

2.The Hipotesis Problem or Question / sense of academic crisis
Isi buku merupakan kumpulan makalah seminar dari beberapa ilmuwan dan profesor dalam ekonomi Islam. Buku ini ditulis untuk menguraikan tentang bangunan ekonomi yang berkeadilan: teori, praktek dan realitas ekonomi Islam. Seperti apa yang ditulis oleh Ir. Adiwarman Azwar Karim, MAEP, MBA. Bahwa tulisan ini menyajikan bagaimana ajaran ekonomi Islam khususnya lembaga keuangan Islam berkontribusi terhadap peningkatan perdagangan dan pembangunan.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa membahas perbankan Islam merupakan sebuah perbankan yang bersandarkan sektor riil. Oleh karena itu dengan sistem ini tidak akan terdapat ketimpangan antara finansial dan sektor riil. Dengan sistem bebas bunga, sektor keuangan hanya akan menjadi perwujudan dari sektor riil tersebut. Konsekwensi logisnya dari perbankan dengan dasar sektor riil ini adalah bahwa bank-bank akan menyalurkan dananya kepada sektor riil dari pada pasar uang. Dengan demikian kontribusi lembaga keuangan Islam terhadap perdagangan menjadi semakin jelas.
Lebih jauh masalah krisis ekonomi yang dialami dan terjadi oleh hampir banyak negara belum bisa keluar dari krisis tersebut. Ada upaya untuk keluar dari permasalahan itu dengan mengambil kebijakan dan melalui pendekatan ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi kedua sistem ekonomi ini tidak memberi peran yang sangat signifikan untuk mengatasi krisis yang melanda tersebut. Sehingga senjata teakhir untuk keluar dari krisis itu adalah menggunakan pendekatan sistem ekonomi Islam seperti yang ditulis dalam buku Adiwarman dkk ini.


3.The Importance of topik
Sangat ironis dan miris memang ketika melihat negara-negara muslim dengan masyarakatnya yang hingga saat ini masih rata-rata sebagai penghuni apa yang sering dikatakan orang dengan negara ketiga. Kondisi negara dunia ketiga sampai saat ini umumnya makin dalam pada keterpurukan ekonomi. Masyarakat muslim baik secara ekonomi maupun politik masih sangat miskin, terbelakang, terlilit utang, penuh konflik politik dan sosial, serta tergantung terhadap belas kasihan bangsa-bangsa maju di bilangan dunia Barat. Untuk mengatasi hal ini, berbagai upaya pun dilakukan. Langkah-langkah yang digariskan lembaga-lembaga – Barat termasuk IMF dan Bank Dunia – juga telah diusahakan. Program restrukturisasi ekonomi, proses demokratisasi, dan proses sekularisasi seluruh aspek kehidupan dijalankan atas nama solusi krisis.
Namun itu semua alih-alih memecahkan masalah yang ada. Solusi yang dibawa dunia Barat ini ternyata malah menimbulkan problem baru baik di bidang ekonomi maupun sosial politik yang lebih kompleks. Dalam bidang ekonomi, hampir seluruh negeri Islam atau yang berpenduduk mayoritas muslim masuk kategori dunia ketiga atau negara-negara miskin.
Masalah kemiskinan negara-negara muslim ini merupakan salah satu bagian terpenting dari persoalan ekonomi. Jika diamati, ternyata kemiskinan ini merupakan produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang saat ini menghantui seluruh dunia. Dari sistem ekonomi kapitalistik tersebut kemudian melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Salah satu fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan.
Kesenjangan ekonomi juga semakin tajam, kemiskinan dan pengangguran yang semakin menggurita. Pendeknya, kemakmuran dan kesejahteraan berlangsung secara tidak adil. Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Tidak terhitung banyaknya para pakar ekonomi Barat yang mengkritik sistem ekonomi kapitalisme dan mendesak dilakukannya perubahan paradigma ke arah paradigma yang adil dan manusiawi.
Sehingga dalam rangka mengurangi kemiskinan masyarakat di negara-negara muslim tersebut, maka dibutuhkan adanya suatu sistem ekonomi yang mampu mengangkatnya pada derajat yang lebih humanis. Setelah pencarian yang panjang dan cukup melelahkan, para ekonom muslim ternyata menemukannya dalam konsep Islam sendiri. Sistem yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ini dimulai pada tahun 1970an, ekonomi Islam mulai bangkit dan dikaji secara ilmiah dan empiris. Setiap tahun forum-forum ilmiah internasional digelar sejak tahun 1976 yang dimulai dari Mekkah, seterusnya setiap tahun para pakar ekonomi Islam dunia mengadakan pertemuan untuk mengembangkan studi ekonomi Islam di dunia.
Dalam buku ekonomi Islam, yang ditulis oleh P3EI Universitas Islam Indonesia, menyebutkan bahwa, ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karenanya ia merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Seperti diketahui bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yang menaungi segenap manusia dengan segenap aspek kebutuhan pada kehidupannya dengan tidak memandang tingkat dan derajat manusia. Rahmatan pada semua aspek dan ruang kehidupan umat manusia sehingga kemudian apabila ekonomi disandingkan dengan konsep-konsep Islam maka sudah barang tentu sisi keadilan dan kemanusiaan akan terbangun dan tercipta sesuai dengan misi dari sistem ekonomi Islam itu sendiri.
Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang berpihak kepada semua pelaku ekonomi, bahkan kepada semua orang dan tidak hanya orang muslim saja. Di samping itu, sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada mekanisme pasar, tapi tetap memberikan peran pada pemerintah, kekuatan sosial dan hukum untuk melakukan intervensi dan koreksi demi terjaminnya pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat banyak. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang menjamin kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha, disamping mampu melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat banyak, serta memberikan kesejahteraan lahir batin secara hakiki.
Keyakinan akan mampunya sistem ekonomi Islam untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda dunia ketiga ini terpancar dari prinsip-prinsip dan adanya beberapa konsep yang memang sangat humanis. Seperti yang dinyatakan oleh M. Sholahuddin, bahwa sistem ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan non muslim) secara menyeluruh. Barang-barang berupa pangan , sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan, “bahwa sistem ekonomi Islam mengambil jalan yang sama sekali berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh pakar ekonomi filsafat dan politik. Ia meneruskan bahwa ekonomi Islam benar-benar melahirkan sistem yang adil dan merata. Prinsip utama dalam sistem ini adalah mendorong peningkatan hasil kekayaan disertai dengan sirkulasi kekayaan yang lancar, yang mengarah kepada pembagian kekayaan yang merata diberbagai kalangan masyarakat yang berbeda”.
Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya mengingatkan bahwa kesenjangan ekonomi adalah pangkal kejahatan dan kekacauan masyarakat yang akhirnya akan membawa kepada kehancuran. “pada satu sisi kekayaan dapat membahayakan keimanan dan moral umat Islam dan pada sisi lain, kemiskinan dapat menyeret mereka kepada kakufuran”.
Sistem ekonomi Islam yang diterapkan ini untuk memenuhi semua kebutuhan dan diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun non muslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga atas mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam). Sebagai bukti empiris bahwa, orang-orang non muslim telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di bawah naungan daulah Islamiyah.
Diceritakan dalam kitab al-Kharaj karangan Imam Abu Yusuf, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khattab r.a., pernah melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, ”Apakah ada yang bisa saya bantu ?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. Usiaku sudah lanjut, katanya. Amirul Mukminin berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami mengambil sesuatu darimu disaat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu”. Setelah kejadian itu, khalifah Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah yahudi tersebut, dan memerintahkan baitul mal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini membuktikan bahwa, sistem ekonomi Islam memandang semua hak masyarakat adalah sama secara humanis dan melindungi segenap sistem kehidupan ekonomi masyarakat pada setiap aspeknya baik muslim maupun non muslim.

4.The Prior Research on Topic
Buku ini sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar sekali bagi perkembangan ilmu ekonomi Islam meskipun hanya kumpulan dari beberapa makalah seminar. Tema-tema yang diusungkan berbeda pula tetapi tidak terlepas kaitannya dengan perkembangan ekonomi dan solusi yang diberikan dalam mengatasi krisis global yang telah melanda dunia, terlebih lagi dengan apa yang dialami oleh negara ketiga khususnya negara-negara Islam.
Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Husein Sahatah, dia menyebutkan bahwa krisis ekonomi yang melanda dunia dapat kita sebut dengan krisis ekonomi global, sedangkan krisis ekonomi yang pernah terjadi dan dialami oleh negara Mesir dapat disebut dengan krisis ekonomi khusus. Krisis ekonomi di Mesir pengaruhnya sangat dirasakan sekali oleh masyarakat miskin dan belum ada yang bisa menemukan jalannya. Hal ini juga merupakan kondisi yang dialami oleh mayoritas masyarakat dunia.
Diantara krisis ekonomi yang dialami Mesir dan berbagai negara dunia ketiga yang biasa disebut negara berkembang ataupun negara terbelakang adalah krisis berkepanjangan di bidang anggaran pendapatan dan belanja negara, lemahnya investasi, moneter, cadangan devisa, pengangguran yang terus meningkat, lemahnya bidang eksport import, dan banyaknya tenaga kerja yang terbuang ke luar negeri. Semua krisis ini menyebabkan makin terbelakang dan sempitnya kehidupan masyarakat negara tersebut.
Pemerintah Mesir telah berusaha keras untuk menyelesaikan masalah tersebut, bahkan telah berusaha untuk menyelesaikannya dengan sistem ekonomi kontemporer dan bergabung dengan sistem kapitalis serta sosialis. Tetapi hal ini tidak dapat meningkatkan perekonomian Mesir kecuali makin menambah keterpurukan ekonomi. Keadaan ini disebabkan karena sistem-sistem yang diapakai bertentangan dengan teologi dan moralitas bangsa Mesir, yang percaya bahwa Allah adalah Tuhannya, Islam agamanya, al-Qur’an sebagai jalan hidupnya dan Muhammad sebagai pembimbingnya. Sehingga solusi akhir untuk mengatasi krisis tersebut, kemudian banyak pakar yang mengusulkan jalan penyelesaian krisis tersebut dengan konsep-konsep ekonomi Islam. Karena sistem ekonomi Islam ditegakkan atas sendi-sendi konsep universal diantaranya :
1.Keharusan untuk selalu menjaga aqidah dalam menjalankan perekonomian.
2.Keharusan untuk selalu menjaga moralitas dalam segala transaksi ekonomi.
3.Pada dasarnya setiap transaksi ekonomi hukumnya halal kecuali yang sudah digariskan dalam nash keharamannya.
4.Negara tidak boleh memungut harta masyarakat melebihi zakat (jizyah) ataupun pungutan lainnya.
5.Asas kerja adalah usaha yang keras, memerangi para spekulan dan segala macam penipuan.
6.Bahwa Allah telah memberikan rizqi yang mampu mencukupi setiap hamba-Nya agar hidup dengan layak.
7.Bahwa perbuatan yang baik merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan materil.
8.Bahwa transaksi ekonomi merupakan hubungan kontrak yang tunduk pada syarat-syarat dan hukum-hukum universal yang berlaku pada jual beli.
9.Pengawasan terhadap harta milik individu berdasarkan atas azas kebebasan dan tidak ada pengambilan hak dari orang lain, yang digunakan untuk kemaslahatan masyarakat.
10.Lapangan transaksi ekonomi adalah segala perbuatan yang baik yang sesuai dengan dasar-dasar Islam yang terdiri dari kebuthan primer, sekunder dan tersier untuk mencapai tujuan atas dasar syari’at Islam yaitu menjaga agama, akal, jiwa, kehormatan dan harta.
Bangsa Indonesia juga pernah mengalami himpitan multi krisis seperti yang dialami oleh Mesir. Banyak orang mencatat bahwa krisis tersebut mulai dari Thailand kemudian menyebar ke negara-negara tetangga dalam bentuk (hanya) krisis moneter, tetapi untungnya negara-negara tetangga telah mampu melokalisasi krisis tersebut dengan baik dan cepat. Sayangnya, situasi itu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia yang belum mampu keluar dari krisis seperti yang dapat dilakukan oleh negara-negara tetangga. Krisis tersebut bahkan meluas kepada krisis-krisis lainnya seperti krisis ekonomi, sosial, politik, kepemimpinan, agama, keamanan nasional, dan barangkali semua aspek kehidupan manusia.

5.The Theoritical Framework, Approach and Research Methodology
Dalam hal ini, penulis hanya memaparkan teori-teori yang telah ditulis dalam buku ini dan mengembangkannya dengan mengadopsi beberapa pendapat para ahli ekonomi dari buku-buku lain. Penulis juga mengkaji lebih lanjut tentang pola dan sistem ekonomi Islam dalam memberikan solusi untuk keluar dari krisis yang telah melanda beberapa negara, sehingga akibat dari krisis ekonomi tersebut telah mambuat negara jatuh miskin lebih-lebih apa yang dialami oleh negara muslim yang masuk kategori negara ketiga atau negara berkembang atau negara miskin. Kemudian penulis juga mempertanyakan seberapa besarkah andil dan peran dari sistem ekonomi Islam dan landasan-landasan apakah yang melatar belakangi bangunan ekonomi Islam yang diasumsikan sebagai bangunan ekonomi yang berkeadilan.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam me-review buku ini, penulis menggunakan pendekatan perbandingan, historis, normatif, empiris dan juga fenomena yang dihadapi dan dialami oleh negara-negara muslim yang sedang berkembang. Perbandingan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Seperti tulisan yang diketengahkan oleh Prof. Dr. Husein Sahatah mengatakan, “suatu kesalahan besar seseorang yang berpendapat bahwa sistem ekonomi Islam mengadopsi dari sistem ekonomi kapitalis. Perbedaan keduanya sangatlah jelas, sistem ekonomi Islam dibangun atas dasar syari’at Allah yang mengetahui segala sesuatu, sedangkan sistem ekonomi konvensional dibangun atas dasar konsep manusia yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada hari esok dan dimana ia akan meninggal. Walaupun sebagian pakar ekonomi Islam melarang membandingkan sistem ekonomi Islam dengan sistem-sistem ekonomi konvensional, karena tidak mempunyai sisi-sisi yang dapat diperbandingkan”.


6.The Limitation and Keys Assumption
Pada sisi ini, asumsi yang dibangun adalah ada perbedaan yang riil antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional (sosialis kapitalis). Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Prof. Dr. Husain Sahatah dalam makalahnya Dasar-Dasar Pokok Sistem Ekonomi Islam, Antara Teori dan Realitas bahwa ada beberapa perbedaan yang mendasar antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional baik kapitalis maupun sosialis. Salah besar bagi orang yang mengatakan bahwa ekonomi adalah ekonomi dan tidak ada perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional.
Ketika dasar-dasar sistem ekonomi Islam direalisasikan dalam masyarakat niscaya kehidupan yang sejahtera dan mulia akan didapatkan oleh seluruh umat manusia. Kewajiban negara selanjutnya adalah pemberian ruang yang cukup untuk setiap individu.

7.Contribution of Knowledge
Meskipun buku ini adalah kumpulan dari beberapa makalah seminar para pakar ekonomi Islam, namun buku ini mempunyai nilai dan kontribusi yang luar biasa bagi para ekonom-ekonom muslim dan bagi ilmu pengetahuan tentunya, khususnya bagi kalangan mahasiswa yang menekuni dan ingin mengembangkan ilmu ekonomi Islam.
Dengan bahasa dan gaya tulisan yang cukup susah untuk diapahami karena buku ini adalah kumpulan dari beberapa makalah seminar yang tema dari masing-masing penulis berbeda-beda. Tetapi sisi positif yang diambil kemudian adalah bahwa dari sejumlah tema tersebut dapat di ambil kesimpulan dari masing-masing para penulis ingin menampilkan bahwa sistem ekonomi Islam bisa mengambil peran yang sangat signifikan dalam mengatasi krisis, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan dengan mengedepankan konsep keadilan bagi seluruh lapisan masyatrakat.

8.The Comments
Harapan besar mungkin bisa saja disandarkan kepada sistem ekonomi Islam, yang banyak disebut-sebut bahwa dengan sistem ini lebih mengutamakan dan meprioritaskan masyarakat kelas bawah pada setiap aspeknya. Keberpihakan ekonomi Islam kepada masyarakat muslim dan pembangunan ekonomi Islam cukup untuk membanggakan dengan juga tidak meninggalkan sama sekali kepentingan yang lainya selain Islam. Buku ini sekaligus adalah kumpulan dari makalah seminar para pakar ekonomi Islam cukup memberi warna bagi kemajuan dan perkembangan khazanah intelektual ilmu ekonomi Islam. Dengan menggembar gemborkan kelebihan, keistimewaan dan perbandingan yang signifikan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional, semestinya tidak terlalu berlebihan, karena dalam tataran praktis dan realita dilapangan mungkin yang hanya bisa diandalkan dari sistem ekonomi Islam sekarang ini hanyalah melalui perbankan saja. Inilah mungkin yang harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan ekonomi Islam selanjutnya yang tidak hanya sebatas pada dunia perbankan saja. Sehingga mungkin harapan besar yang ditumpukan kepada sistem ekonomi Islam dapat dicapai.

9.Kesimpulan
Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam berikutnya dalam mengatasi krisis “Mesir” pada waktu itu sangatlah diperhitungkan. Ketika krisis Mesir terjadi dengan memakai sistem ekonomi konvensional ternyata tidak banyak membantu menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan masalah baru, karena perbedaan landasan pijak dan syari’at yang sangat mendasar adalah penyebab utama ketidak berdayaan sistem ekonomi konvensional dalam mengatasi krisis tersebut. Lebih jauh dari hal tersebut bahwa ekonomi Islam sangat mengedepankan keseimbangan dan kesejajaran (al-‘Adl wa al-Ihsan), dua konsep ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial yang tinggi.
Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip keseimbangan yang berkeadilan merupakan nilai etik fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam - yakni diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real, manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme). Untuk memastikan bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia modern.
Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik tujuan maupun sarana.

DAFTAR PUSTAKA
Azwar Karim, Adiwarman. Dkk. 2004. Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam, Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Max Weber, Max. 1965. The Sociology of Religion, London: Methuen.
Chapra, Umar. M. The Future of Economics: An Islamic Perspective, Leicester, The Islamic Foundation.
Misanam. Munrokhim. dkk. 2008. Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rahman, Afzalur. 1995. Jilid 1. Doktrin Ekonomi Islam.
Sholahuddin, M. 2007. Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nawab Haider Naqvi, Syed. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Http://agustino.niriah.com/2008/07/29/implementasi-ekonomi-islam-untuk -kemakmuran-yang-berkeadilan/

SHOUTH AL-QOLBIYYAH

SUARA HATI PENUMPANG KAPAL

Adakah cintamu telah engkau serahkan semuanya hanyalah kepada-Nya, hidup dan matimu adalah di tangan-Nya. Maka, janganlah engkau berpaling dari-Nya. Tidak ada satu saat dan jeda sedikitpun dari nafasmu yang dihembuskan kecuali hanyalah untuk mengingat dan menyebut nama-Nya. Dengan penuh rasa khusyu’, tadharru’ dan tawadhu’ engkau tundukkan pandangan dan hatimu hanyalah untuk menghadap kepada-Nya. Jangan engkau takut dan bersedih dengan apa yang telah ditimpakan kepadamu dari ujian dan cobaan, karena semua itu adalah ujian seberapa besar kekuatan dan keteguhan iman dan keyakinan serta kepercayaanmu kepada-Nya.
Engaku habiskan sisa-sisa umurmu dengan perbuatan yang tidak Dia ridhoi, engkau habiskan sisa-sisa umurmu dengan perbuatan yang menjerumuskan dirimu sendiri kejurang kehancuran dan siksaan. Sesungguhnya Dia tidak pernah mennjadikanmu sebagai orang yang kufur kepada-Nya, dan sesungghnya Dia tidak pernah sekali-kali memaksamu untuk melakukan perbuatan yang bukan dijalan-Nya. Tetapi engkaulah nakhoda dari kapal besarmu ini, engakulah nakhoda terhandal yang akan membawa keselamatan kapal yang engkau sendiri termasuk penumpangnya, mau dibawa kemana kapal ini, dan mau oleng kemana kapal ini, engkaulah nakhoda yang terbaik yang selama ini mendapat izin untuk mengemudi dan membawa keselamatan kapal besar dari yang memliki kapal ini.
Tidaklah engkau sadari, bahwa hidup, kesenangan, kebahagiaan, kesengsaraan dan kesedihan ini hanyalah sementara belaka, maka janganlah engaku menyesali diri dengan keadaanmu sekarang. Jalani hidup ini apa adanya, jalani hidup ini diatas rel yang telah disediakan oleh-Nya, janganlah engkau belokkan sedikit dari rel tersebut, karena itu akan membawa malapetaka bagi dirimu dan orang lain apalagi orang yang terdekat denganmu. Tanamkan dan hujamkanlah di hati sanubarimu, bahwa engkau bisa selamat dari kapalmu ini, engkau bisa sampai ke tujuan yang semua orang menantikan dan orang-orang suci menunggumu di perbatasan abadi. Disana semua orang bahagia, selamat, aman, damai, tenteram abadi selamanya. Akankah engkau berbelok dan tidak mau berkumpul dengan orang-orang yang membawa panji kemenangan itu, sungguh sangatlah merugi selamanya, rugi yang tidak bisa tergantikan oleh apapun jua di duniamu sekarang ini.
Akhir dari hidup ini adalah kebahagiaan, inilah yang di mohonkan setiap insan di kapal besar ini. Kebahagiaan berjumpa orang-orang shalih yang telah menunggu selama ini. Kebahagiaan abadi yang tidak bisa terjualkan dan tergantikan oleh apapun. Sungguh indah jika setiap penumpang dikapal besar ini mengabdikan dirinya hanyalah kepa-Nya, upah yang sangat besar dikemudian hari yang dijanjikan oleh-Nya pasti akan di bayarkan sesuai dengan seberapa besar kerja mereka untuk-Nya. Sungguh kebahagiaan itu akan ada dan pasti ada menunggu orang yang berhak mengambil jatahnya. Wallahu a’lam bi Showab... smoga...

SAB'ATU MANABI' SA'ADATTID DUNYA

TUJUH SUMBER KEBAHAGIAAN DI DUNIA

Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah saw, dimana ia pernah secara khusus dido’akan oleh Rasulullah saw. Selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal al-Qur’an dan telah menjadi Imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para tabi’in (generasi setelah wafatnya Rasulullah saw) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas, ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan di dunia.

1.Qolbun Syakirun atau Hati Yang Selalu Bersyukur. (Lahu Qolbun Syakirun)
Memiliki jiwa/hati yang selalu bersyukur berarti selalu menerima apa adanya qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak terjadi stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah swt. Sehingga apapun yang diberikan Allah ia tetap menerima dan bersyukur dengan apa yang telah diputuskan kepadanya. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat kepada Allah swt dan sabda Rasulullah saw yaitu “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi dan pabila ia tetap “membandel” dengan terus bersyukur maka Allah swt akan mengujinya lagi dengan memberikan kemudahahn yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur.

2.Al-Azwaju al-Shalihah (Lahu zawjatun Shalihah)
Yaitu memliki pasangan hidup yang shalih/shalihah. Pasangan hidup yang shalih/shalihah akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang shalih pula. Di akherat kelak seorang suami (sebagai imam dalam keluarga) akan diminta pertanggung jawabannya dalam mengajak istri dan anaknya untuk berbuat kebaikan dan keshalihan. Berbahagialah seorang suami memiliki istri yang shalihah dan sebaliknya akan berbahagia pula seorang istri memiliki suami yang shalih. Yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak anak istrinya menjadi muslim yang sholih. Demikian pula seorang istri yang sholihah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki istri yang shalihah.

3.Al-Auladu al-Abrar (Lahu Awladun Mabrurun)
Yaitu memiliki anak keturunan yang sholih dan sholiahah. Saat ketika Rasulullah lagi thawaf Rasulullah saw bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah bertanya kepada anak muda tersebut, “Apa yang terjadi dengan pundakmu itu wahai anak muda”, anak muda itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat sayang dan mencintainya dan saya tidak pernah melepaskannya dari pundakku, saya melepaskan ibu saya ketika buang hajat, ketika sholat dan ketika istirahat, selain itu sisanya saya menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya, Ya Rasulullah, apakah saya termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua. Kemudian sambil memeluk anak muda itu, Rasulullah mengatakan, “Sungguh Allah swt ridho kepadamu, kamu anak yang sholih, anak yang berbakti kepada orang tua, tapi anakku ketahuilah, bahwa cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadits tersebut kita mendapat pelajaran dan gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita. Namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang sholih, dimana do’a anak yang sholih kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah, maka berbahagialah bagi orang tua yang memiliki anak yang sholih.

4.Al-Bi’atu al-Sholihah (memiliki lingkungan yang baik dan kondusif)
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah kita boleh mengenal siapapun tetapi apabila mau menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang-orang yang sholih. Orang-orang yang sholih akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholih adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholih.

5.Al-Mal al-Halal (harta yang halal)
Paradigma Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk menjadi kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab Shadaqah, Rasulullah saw pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdo’a mengangkat tangan. “kamu berdo’a sudah bagus”, kata Nabi saw, “namun sayang makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana do’anya di kabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena do’anya sangat mudah dikabulkan oleh Allah swt. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

6.Semangat Untuk Memahami Ajaran Agama
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Sesungguhnya Allah menjanjikan bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin belajar semakin cinta ia kepada agamanya. Bukankah Allah swt menjanjikan bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi. Semangat untuk menuntut ilmu adalah sangat dianjurkan oleh agama, apalagi menuntut ilmu-ilmu agama. Sesungguhnya siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuk baginya, maka sesungguhnya akan bertambah jauhlah ia dari sisi Allah, oleh karenanya semakin tinggi ilmu seseorang hendaknya semakin bersikap dan bersifat rendah hati, bijaksana dan adil dan yang lebih penting lagi adalah haruslah ia semakin mendekatkan diri kepada Allah swt. Maka berbahagialah orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tinggi yang dibarengi dengan pengetahuan agama, sungguh mulya orang yang berilmu dan taqarrub kepada Allah swt, subhanallah...

7.Umur Yang Barokah
Umur yang barokah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholih yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan belaka). Pada masa mudanya ia pun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akherat (melalui amal ibadah), maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan sang pencipta-Nya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan sang maha pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah swt. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dapat meraih ketujuh indikator kebahagiaan tersebut, selain dengan usaha keras, sungguh-sungguh beribadah untuk memperbaiki diri, maka mohonkanlah do’a kepada Allah swt dengan sesering dan sekhusyu’ mungkin. Sesungguhnya Allah sami’ud du’a mendengar dan mengabulkan do’a orang-orang yang ikhlas dalam melakukannya.

Dan sesungguhnya amal sholih yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal sholih sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah swt.
Rasulullah saw berkata, “Amal sholih yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?, jawab Rasulullah saw, “amal sholih saya pun tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya, “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga ?, Rasulullah saw kembali menjawab, “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat, puasa dan taqarrub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk masuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, amiin...)

Jumat, Januari 16, 2009

HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian dari perjalanan hidup umat manusia yang ingin maju. Pendidikan adalah salah satu aspek dalam Islam dan menempati kedudukan yang sentral, karena peranannya dalam membentuk pribadi muslim yang utuh sebagai pembawa misi kekhalifahan. Allah telah membekali manusia dengan akal ( kemampuan rasio ) dan al – Qur’an memberi dukungan yang kuat bagi usaha manusia untuk meningkatkan standard kehidupan.
Pendidikan juga termasuk pendidikan Islam merupakan instrumen bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang dianugerahkan Tuhan. Fungsi pendidikan yang utama adalah mentransformasikan pengetahuan, keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup sempurna sebagai manusia. Dari sudut pandang manusia, pendidikan adalah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durkheim, dalam karyanya, Education and Sociology (1956) mengatakan bahwa pendidikan merupakan produk manusia yang menetapkan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.
Mengenai pendidikan Islam, ia merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan secara ideal memiliki fungsi budaya, yaitu untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakat. Sebagai suatu organized intelligence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang beradab.
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya oleh pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya. Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan tentang pengertian humanisasi dalam pendidikan, orientasi pendidikan Islam dan paradigma pendidikan Islam humanis.

B.Pengertian Humanisasi atau Humanisme dan Pendidikan
Dalam kamus ilmiah populer arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif). Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.
Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang. Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto/pernyataan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini. Humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, (QS. al-Baqarah, 2:187 ) al-nas,( QS. al-Hujurat, 49:13) bani adam (QS. al-Isra, 17:70) dan al-insan (QS. al-Dzariyat , 51:56). Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Kata Humanisasi atau humanisme kemudian apabila disandingkan dengan kata pendidikan, maka akan nampak pengertian bahwa sistem kerja dari proses sebuah pendidikan haruslah mengedepankan dan mementingkan aspek-aspek kemanusiaan. Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut dengan Education adalah berasal dari bahasa latin Educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Dalam bahasa Arab beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan. Biasa dipergunakan dengan kata ta’lim. Juga kata tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 24. Disamping itu kata ta’dib dipergunakan dalam istilah pendidikan, seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, yang berbunyi “Allah mendidikku, maka Ia memberiku sebaik-baik pendidikan”.
Walaupun ketiga istilah pendidikan seperti telah disebutkan diatas, bisa dipergunakan dengan pengertian yang sama. Al-Attsa, 1980 berpendapat bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Dengan kata lain kata ta’lim hanyalah sebagian dari pendidikan. Sedang kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan oleh negara-negara Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, menternak, dan lain-lain lagi. Sedang pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja.
Sehingga menurut Al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam penerapan istilah pendidikan, karena ta’dib tidak hanya dalam arti sempit mengajar saja dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia, jadi ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta’dib itu erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam sisi pendidikan. Kemudian selanjutnya jika term “pendidikan” dikontekskan dengan kata “Islam” bukan hanya proses transmisi atau alih budaya, ilmu, pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga sebagai proses penanaman nilai, karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al-falah) dunia dan akherat.
Sampai disini, barangkali dapat dipahami bahwa pendidikan Islam haruslah mengutamakan aspek-aspek manusiawi, karena hal itu merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu menjadikan manusia bahagia di dunia dan di akherat. Dengan pendidikan manusia bisa menghargai dan memahami manusia lainnya sehingga terciptalah kondisi dimana dengan pendidikan manusia bisa memanusiakan lainnya.

C.Orientasi Pendidikan Islam
Beberapa pengamat pendidikan Islam mengatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam lebih pada upaya kebahagian di dunia dan diakherat, menghamba diri kepada Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak mulia. Sehingga terkesan bahwa tekanan utama dari tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal shalih, manusia yang berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang lebih bersifat metafisik.
Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi sesungguhnya tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan dengan sibuk memuliakan manusai dan dunianya” serta memuliakan dan memperdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini, dirasakan tidaklah benar-benar kearah tujuan positif, tetapi tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat difensif, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Implikasinya, rumusan tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terlihat bahwa rumusannya lebih bersifat normatif dan tidak bersifat problematik.
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, apabila dicermati sebenarnya, seluruh model pendidikan Islam, baik itu pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, tujuan utama membentuk pribadi muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan memiliki etos kerja yang tinggi untuk bekerja di masyarakat. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenjang pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, hinggga kini belum ada sistem evaluasi yang dapat dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian muslim, dan akhlak mulia telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lainnya yaitu terfokus pada “kemampuan kognisi” peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang dapat menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Ada beberapa pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam yang senada dengan ungkapan diatas mengenai defenisi pendidikan Islam, diantaranya adalah :
a.Muhammad Fadlil al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahakan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya.
b.Omar Mohammad al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu maupun bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam.
c.Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.
d.Hasan Langgulung. Pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nlai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat.
Dengan demikian, “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fithrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut hemat penulis, bahwa tujuan dari pendidikan Islam belumlah dikatakan istimewa, karena proses yang diolah hanyalah aspek kognisi saja, bagaimana manusia itu selamat dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan konteks agama, sehingga terkesan terlalu egoistis. Mengapa egosistis, karena upaya untuk menjadikan manusia memiliki keimanan dan akhlak mulia tidaklah cukup untuk menghadapi problematika dan banyaknya tantangan yang akan dihadapi manusia, jika bekal tersebut tidak di barengi dengan aspek-aspek lain seperti karya dan terampil “psikomotoriknya”. Bahwa pendidikan Islam hendaknya tidaklah hanya menekankan kepada aspek theosentris saja tetapi aspek anthroposentris sebagai realitas yang harus dihadapi dalam keberlangsungan dari proses pendidikan yang pasti akan di temui.

D.Paradigma Pendidikan Islam Humanis
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.

E.Kesimpulan
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthroposentris dan theosentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan. Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat.
Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya. Dimensi theosentris (hablun min Allâh) dan anthroposentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthroposentris dan dimensi theosentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthroposentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan. Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis. Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Propetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan, Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Genta Press.
Malik Fadjar, Malik. 2004. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.
www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm.
Langgulung, Hasan. 2003. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
_______________. 2004. Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Soeroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Muslih USA (ED.), 1991. Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Arifin, HM. 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Mohammad al-Toumy al-Syaebany, Omar. 1979. Falsafah Pendidikan Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Munir Mursyi, Muhammad. 1977. Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo: Dar al-Kutub.
Qadir, C. A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ilyas, Yunahar dan Azhar, Muhammad. 1999. (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogykarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY.
Sholeh, A Khudhori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela.
website Pendidikan Network, judul Artikel Melacak Paradigma Pendidikan Islam.
Suyudi, H.M. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj

Minggu, Januari 11, 2009

DAKWAH HATI NURANI

DAKWAH HATI NURANI PADA WUJUD FISKAL MANUSIA YANG SEDIKIT MENYINGUNG TENTANG HAKIKAT
{“MANUSIA”}, {“BAIK”, “BURUK”}, {“ADA”, “TIDAK ADA”}, DAN {“TUHAN”}

“Tebarkan kebaikan dirimu sebagai manusia seperti ketika engkau menghirup udara, memandang indahnya cahaya atau ketika engkau sadar keberadaanmu sebagai manusia. Lupakan semua yang “ada” menuju ke satu titik, titik tertinggi dalam diri dan alam semesta. Letakkan dirimu apa adanya pada posisi yang tak mungkin tergapai siapa pun, saat itu akan kau dapati dirimu adalah “Tuhanmu”. Tak ada batas dan tak ada jarak. Semua satu dan satu adalah semua. Sujudlah ragamu dalam tunduk dan kepatuhan tak terbatas.

Suatu saat kau akan sadar ,hidup tak harus selamanya dalam kelam ketidakberdayaan, ataupun keinginan atas kekuasaan yang tanpa batas. Ketika engkau mencapai satu titik tetinggi dalam sujud dan taklukmu, kau akan dapati sosokmu yang sesungguhnya. Jalani hidup seperti ketika kau menjalani sebuah mimpi. Sesaat..., kemudian hilang tertelan waktu. Ketika kau terbangun semua telah berlalu sebagai satu perjalanan sejarah hidup yang tak mungkin terulang. Saat itu ingatlah; bagi manusia yang baik adalah baik, yang benar adalah benar, yang buruk adalah buruk dan yang salah adalah salah, setelah itu gapailah semua kebaikan dan kebenaran yang hakiki dalam hidup.

Kebaikan tak selamanya melekat dalam diri, tapi keburukan adalah perangkat sejarah yang akan terbawa sampai mati. Tangis seperti senandung lagu duka akan nista diri, dan tawa seperti kebohongan dalam diam. Jangan biarkan keangkuhan menutupi mata hati dari salah dan dosa. Redakan semua tawa, hilangkan semua tangis dan hapus duka lara, berjalanlah seperti angin..., halus, lembut dan sejuk, bicaralah seperti air yang mengalir tenang, ... damai ... dan menghanyutkan. Pandanglah dunia sebagaimana mestinya dan apa adanya, jauhkan pikiran picik, licik, iri dan dengki.

Tuhan tak pernah merasa duka ataupun terluka, marah ataupun dendam. Semua dibiarkan berlalu menurut ketentuan yang melekat dalam masing-masing wujud, ada yang baik, ada yang buruk, ada yang benar, dan ada yang salah. Namun ingatlah hidup tak lebih dari perhiasan keindahan mata dunia. Yang baik belum tentu baik, yang buruk belum tentu buruk, dan yang salah belum tentu salah. Baik bisa menjadi baik namun juga menjadi buruk, sedangkan yang benar bisa menjadi benar bisa juga menjadi salah. Tak ada yang mutlak “benar” dan tak ada yang pasti “salah”. Baik-buruk dan benar-salah tak lebih dari kesempurnaan hidup yang “ada” dan “tidak ada”.
Tempatkanlah dirimu “diluar” yang “ada” dan “tidak ada” saat itu akan kaudapati dirimu adalah “Tuhanmu”.

Yogyakarta, 10 Januari 2009
By Subri / Abu Syika