Minggu, Agustus 17, 2008

KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI’I



A. LATAR BELAKANG
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan aayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadist atau Sunnah.
Begitu pula selanjutnya setelah masa Nabi, apabila para sahabat menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadist Nabi. Dan apabila mereka belum menemukan juga jawabannya dari kkedua sumber tersebut. Maka , mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan Ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka menccari titik kesamaam dari suatu kejadian yang dihadapi dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan ummat” yang menjadi dasar penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muadz Ibn jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduannya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi. Nabi berkata : “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?. Muadz menjawab: “ Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah, kemudian Rasullah bertanya lagi : “Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah ?. Muadz pun menjawab : “ Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi. Rasulullah kembali bertanya : “ Bila dalam sunnah,tidak ditemukan juga, maka Muadz menjawab : “Aku melakukan Ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam Ijtihadku”. Jawaban muadz dengan urut-urut seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW. Ini berarti konsep ijtihad boleh dilakukan ketika kedua sumber hukum tersebut yakni al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan hukum secara rinci menjelaskan jawaban terhadap suatu masalah. Dalam rangka inilah Rasulullah membolehkan konsep ijtihad dilakukan, sehingga para ulama dan empat mazhab fikih yang terkenal melakukan ijtihad.
Pada zaman Rasulullah ternyata ijtihad dilakukan oleh Rasulullah dan juga para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad.,” seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga kasus Muadz ibn Jabal yang diutus ke Yaman”,
[1] hanya saja ijtihad
Pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri.
Tetapi kemudian, pada masa setelah zaman Rasulullah pintu ijtihad terbuka lebar, karena masalah-masalah yang muncul pada zaman setelah Rasulullah berbeda dan banyak hal-hal baru yang muncul yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah. Meskipun al-Qur'an adalah mu'jizat Nabi Muhammad yang sempurna dan kitab yang paling sempurna, bukan berarti tidak bisa menjawab permasalahan tersebut, demikian juga al-Hadits. Akan tetapi Islam memberi peluang kepada para ahli khususnya ahli fiqih dan para ahli hukum Islam untuk menggali ilmu lebih dalam lagi, karena Rasulullah sendiri memberi izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena, "memberikan contoh bagaimana cara beristinbath dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an dan as-Sunnah".
[2]
Imam Syafi’i tampil setelah masa Imam Abu hanifah dan Imam Malik, ia menemukan pada masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubuh Madinah dan Irak. Imam Syafi’i menggali pengalaman dalam berbagai diskusi ditengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh maliki yang diterimanya langsung dari Imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu ia mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengetahuan dan pengalaman yang luas tersebut, akhirnya memberi petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk meletakkan pedoman dan metoda berpikirnya yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan seorang mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metoda berpikir yang dirumuskan itulah yang kemudian disebut “ Ushul Fiqh”
Imam Syafi’i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul Fiqh. Sehingga tidak salah jika seorang orientalis Inggris, N.J. Coulson, mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan ulama Syi’ah sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis, sehingga ilmu tesebut pada waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Berangkat dari permasalahan inilah, maka penulis ingin membahas tentang ijtihad, namun penulis membatasinya dengan titik tolak kontstruksi ijtihad Imam Syafi'i, sistem dan cara ijtihadnya.

B. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad secara etimologi adalah berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata ijtihad, seperti dikemukakan imam al-Ghozali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mengangkat biji sawi.
Di kalangan ulama Usul fiqh terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun intinya adalah sama. Seperti Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai : "Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara' sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu".
Sedangkan al-Baidawi (W.685), ahli ushul Fiqh dari kalangan Syafi'iyah mendefinisikannya sebagai : " Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara". Lebih jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu Zahrah. Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai : "Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya." Defenisi lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah : "Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbath-kan hukum syara', maupun dalam penerapannya".

C. DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak alasan yang menunukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain adalah :
1. Ayat 59 surat an-Nisa' :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal :
ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan al-Qur'an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan :" segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya. Hadits tersebut:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu'adz, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu'adz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu'adz, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia menjawab, dasarnya adalah kitab Allah, Nabi bertanya :"kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah ?", dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi :"kalau tidak anda temukan dalam Sunnah Rasulullah ?"' Mu'adz menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata :" segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW." (HR. Tirmizi)

D. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakuya di bagi menjadi dua : ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar, seperti Imam Abu Hanifah, Imam malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan ijtihad jama’i adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW, setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah usul fikih, ijtihad jama’i dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu ilmu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, di samping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu. Ijtihad jama’i merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin ilmu di samping ilmu fikih itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mengingat masalah-masalah yang bermunculan ada yang berkaitan dengan ilmu-lmu selain ilmu fikih, seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.


KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

A. RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI'I
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama (mujaddid) pada abad kedua Hijrah.
Imam Syafi’i di lahirkan di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 105 H
[3], beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H / 754-774 M. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf.
Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu ke beberapa daerah, seperti di Mekah beliau belajar hadits dan fiqh. Kemudian pada umur beliau tiga belas tahun beliau mengembara ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan Imam Malik sampai Malik meninggal dunia.
Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Irak beliau belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan beraliran hanafi (murid Imam Abu Hanifah). Setelah selesai menunutut ilmu dari beberapa daerah tersebut “Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fiqh Irak. Kemudian beliau mengajar di Masjidil Haram, ia mengajarkan fiqh dalam dua corak, yaitu corak madinah dan corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun”.
[4]
Di samping itu, al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah dan Madinah.[5] Di antara ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim, (2) Hisyam ibn Yusuf, (3) ‘Umar ibn Abi Salmah, dan (4) Yahya ibn Hasan. Sedangkan guru Imam Syafi’i petama adalah Muslim Khalid Az Zinji, seorang ulama Mekah. Dengan pengembaraan menuntut ilmu, mengajar dan mengamalkan ilmunya ke beberapa daerah tersebut, maka beliau menjadi seorang ulama besar dan terkenal.

B. KONSTRUKSI IJTIHAD IMAM SYAFI'I
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah al-Qur’an , maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunujuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunnah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah kepada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak mengggunakan hadits Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini baisa disebut “ Ahlu al-Hadits” kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya di Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadits, meskipun hadits juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahlu Ar-Ra’yu” . kelompok ini lebih banyak mengambil tempat diwilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda berbeda. Ahlu al-Hadits muncul diwilayah Hijaz adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan mengetahui hadits dari Nabi. Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka tentang hadits Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu kehidupan sosial dan mu’amalat begitu luas dan komplek karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam menetapkan fiqih. Ijtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metoda qiyas sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya.
Dan selanjutnya, kedua kelompok ini menonjol dengan madrasah masing-masing, Ahlu al-Hadits menonjolkan dengan dua madrasahnya yaitu madrasah Madinah dan madrasah Mekah. Sedangkan, Ahlu ar-Ra’yu menonjolkan dua madrasahnya juga yaitu madrasah Kufah dan Basrah di Irak. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqih dan menghasilkan banyak para ahli fiqih.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriyah tampil seorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari madrasah kedua kelompok ini, yaitu Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i.
Imam Syafi’i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok Ahlu al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi. “Beliau lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi, tetapi tidak seluas yang dipakai oleh kelompok Ahlu ar-Ra’yi dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadits, tetapi tidak seluas yang digunakan oleh Ahlu al-Hadits”.
[6] Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ar-Ra’yu dan al-Hadits. Metoda Imam syafi’i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut mazhab Syafi’iyyah.
Melihat dari posisi Imam Syafi’i yang mengambil poros tengah dalam ijtihadnya tentang penetapan hukum fiqh, maka tidaklah mengherankan jika dikemudian hari, bahwa metoda usul fiqh yang merupakan hasil dari itihadnya banyak dipakai sebagai salah satu sumber penetapan hukum Islam.

C. SISTEM IJTIHAD IMAM SYAFI’I
Dalil-dalil yang dipakai oleh imam Syafi'i dalam ijtihad-ijtihadnya adalah : pertama al-Qur'an, kemudian hadits, lalu ijma' setelah itu baru qiyas dan terakhir istidlal.
Al-Qur'an
Ijma'
Qiyas
Hadits



Bila Abu Hanifah menonjol dengan qiyasnya yang ditambah lagi dengan istihsan dan malik menonjol dengan ijma' sahabatnya yang diimbangi dengan mashalih murshalah, maka Imam Syafi'i meletakkan dalil-dalil itu dalam komposisi dan perimbangan yang harmonis, ia tidak menghilangkan qiyas tetapi juga tetap mendahulukan ijma'. Sebaliknya ia membesar-besarkan ijma' tetapi tetap mendahulukan hadis sebelum ijma'.
Jika urutan-urutan dan perbandingan volume dalil yang dipakai Imam Syafi'i itu kita amati lebih lanjut, akan teringatlah kita kepada sebuah surat Umar bin Khattab yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy'ary mengenai cara memutuskan suatau perkara yang urutan dalilnya sama persis dengan sistem ijtihad Imam Syafi'i tersebut. “Kita tidak bisa mengklaim bahwa sistem ijtihad Imam Syafi'i itu adalah duplikasi dari sistem ijtihad Umar, karena mungkin juga ia merupakan hasil usaha kombinasi antara gagasan Hanafi dan Malik sebagai gurunya. Memang sulit untuk menyatakan secara pasti bahwa Imam Syafi'i dipengaruhi oleh Umar, tetapi yang sangat menarik perhatian kita adalah bahwa sistem ijtihad Imam Syafi'i itu demikian sama persis dengan apa yang telah diucapkan dan dilakukan oleh umar”.
[7]

D. CARA IJTIHAD IMAM SYAFI’I
Seperti imam mazhab lainnya, Imam Syafi'i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut. " Asal adalah al-Qur'an dan Sunnah. Apabila tidak ada dalam al-Qur'an dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya, apabila hadits telah muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadits yang diutamakan adalah makna zhahir ; ia menolak hadis munqhati' kecuali yang diriwayatkan oleh ibn al-musayyab
[8] ; pokok (al-ashl) tidak boleh dianalogikan kepada pokok ; bagi pokok perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana (lima wa kaifa) mengapa dan bagaimana hanya dipertanyakan kepada cabang (furu') (Thaha Jabir Fayyadl al-'Ulwani, 1987: 95)
Ahmad Amin (1974. Dluha al-Islam. Mesir : Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah), dalam kitab Dluha al-Islam, menjelaskan langkah-langkah ijtihad Imam Syafi'i, menurut Imam Syafi'i, rujukan pokok adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, hukumnya ditentukan dengan cara qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya shahih. Ijmak lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zhahir ; apabila suatu lafadz ihtimal (mengandung makna lain) maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadits munqhati' ditolak kecuali jalur ibnu al-musayyab. Al-ashl tidak boleh di qiyaskan kepada al-ashl. Kata "mengapa" dan "bagaimana" tidak boleh dipertanyakan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, keduanya hanya dipertanyakan kepada al-furu'. Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar. Dengan demikian, dalil hukum bagi Imam Syafi'i adalah al-Qur'an, Sunnah dan Ijmak sedangkan tekhnik ijtihad yang digunakan adalah al-qiyas dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.

E. KARYA - KARYA IMAM SYAFI’I
Ahmad Nawawi ‘Abd al-Salam (1994 : 710-7) menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi’i adalah Musnad li al-Syafi’i, al-Hujjah, al-Mabsuth, al- Risalah, dan al-Umm. Kitab-kitab lain, baik dalam bidang fikih, kaidah fikih maupun ushul al-Fiqh, Jumlahnya banyak dan beredar di Indonesia. Berikut adalah di antara kitab-kitab kaidah fikih aliran Syafi’iyah.
Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Ibnu ‘Abd al-Salam (w.660 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibnu Wakil (w. 716)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Taj al-Din al-Subki (w. 771 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H)
Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H)
Di antara kitab Imam Syafi’i yang lain adalah al-Wasaya al-Kabirah, Ikhtilaf Ahlil Irak, Wasiyyatus Syafi’i, Jami’ al-Ilm, Ibtal al-Istihsan, Jami’ al-Mizani al Kabir, Jami’ Mizani as-Saghir, al-Amali, Mukhtasar ar-Rabi’ wal-Buwaiti, al-Imla’ dll.
[9]



DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh : Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, : Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1998
Noel J Coulson , Penerjemah Drs. H. Fuad, M.A. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, Mardang, 2001
Jaih Mubarak Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, , Bandung : Penerbit Remaja rosdakarya, 2000
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara tradisi dan liberasi : Yogyakarta, Penerbit Titian Ilahi Press, 1998.
Amir Mu’allim, Yusdani, ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer : Yogyakarta, UII Press, 2004
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh : Jakarta, Kencana, 2005.
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab : Semarang, Penerbit Amzah, 1991.

[1] Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana), 2005, hlm 144
[2] Ali al-Sayis, Muhammad, Nasy'ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh (Majma' al-Buhuts al-islamiyyah) .1970. hlm. 35.
[3]Asy-Syurbasi Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Penerbit Amzah), 1991, hlm 141
[4] Mubarok , Jaih Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (PT. Remaja Rosda Karya), 2000, hlm. 102
[5] Ahmad Nawawi ‘Abd Salam (1994:55-7) menginformasikan bahwa ulama Mekah yang menjadi guru Imam Syafi’I adalah (1) Sufyan ibn ‘Uyainah, (2) Muslim ibn Khalid al-Zunji, (3) Sa’id ibn Salimal-Qadah, (4) Daud ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Athar, dan Abd al-Rahmani ibn Abd ‘Aziz ibn Abi Daud. Sedangkan guru-guru beliau dari kalangan ulama Madinah adalah (1) Malik ibn Anas, (2) Ibrahim ibn Sa’d al-Anshari, ‘Abd al-Aziz Muhammada al-Durawardi, (3) Ibrahim ibn Abi yahya al-Aslami (4) Muhammad ibn Sa’id ibn Abi Faudik, dan (5) ‘Abd Allah ibn Nafi’.
[6] Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu), 2000, hlm 30.
[7]Mudzhar Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press), 1998, hlm 79
[8]Mubarak Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya), 2000, hlm 104.
[9]Asy-Syurbasi Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Penerbit Amzah), 1991, hlm 162

Jumat, Agustus 01, 2008

Kata Bijak

KATA BIJAK RABI'AH ADAWIYAH

Sembunyikanlah Kebaikanmu Sebagaimana Engkau Selalu Menyembunyikan Kejelekanmu / Keburukanmu

Tokoh Islam

AL SYATIBI

Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Gharnati al-Syatibi, beliau wafat 790 H, namanya belum terlalu populer ketika beliau masih hidup, mungkin hal ini disebabkan karena selain lahir dari keluarga yang sederhana, beliau juga hidup dalam masa transisi Cordova, kota Islam terakhir di Spanyol, menuju tahap kehancuran. Sebenarnya beliau dapat dikatakan sebagai mata rantai terakhir dari ilmuwan-ilmuwan besar Islam dari wilayah barat sesudah Ibn Rusyd (wafat 594 H), Ibn Taimiyah (wafat 661 M), Ibn Khaldun (wafat 732 H) dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H), Spanyol jatuh ke tangan pemerintah Kristen pada tahun 892 H/1496 M.

Konsep beliau yang paling masyhur adalah Maqashid al-Syari’ah yang secara literal berarti tujuan penerapan hukum. Sebelum al-Syatibi, metode penalaran terhadap nas masih didominasi oleh dua teori, yaitu teori keumuman lafal (umum al-lafz) yang dipegang oleh jumhur ulama dan teori kekhususan sebab (khusush al-sabab) yang dipegang oleh ulama minoritas.

Jumhur ulama menetapkan kaidah bahwa :”Yang dijadikan pegangan ialah redaksi lafal umum, bukan sebab khusus” (al-‘ibrah bi umumil lafdz, la bi khushus al-sabab). Maksud kaidah ini ialah jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menaggapi suatu peristiwa khusus. Sedangkan ulama minoritas menetapkan kaidah bahwa :”Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal” (al-‘ibrah bi khushush al-ssabab, la bi ‘umum al-lafdz) maksudnya ialah jika suatu nas turun untuk menanggapi suatu sebab khusus, atau suatu nas mempunyai riwayat sebab nuzul atau sebab wurud, maka yang perlu dipegang ialah sebab khusus tersebut.

Karya-karya beliau dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, karya-karya yang tidak diterbitkan dan dipublikasikan. Termasuk dalam kelompok pertama adalah :

  1. Syarh Jalil ‘ala al’Khulasah fi al’Nahw

  2. Khiyar Al-Majalis (syarah kitab jual beli dari shahih al-Bukhari)

  3. Syarh Rajz Ibn Malik fi Al-Nahw

  4. Inwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq

  5. Usul al-Nahw

Sedangkan yang termasuk kelompok kedua adalah :

  1. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah

  2. Al-I’tisam

  3. Al-Ifadat wa al-Irsyadat

Kemudian kitab al-Muwafaqat fi usul al-Syari’ah merupakan karya besar al-Syatibi didalam bidang ushul fiqih, kitab mulanya berjudul al’Inwan al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif.

ALI SYARI’ATI

Lahir di Khurasan, Iran (24 November 1933-Damaskus, Suriah, Juni 1977),sosiolog, ahli politik dan ahli syari’at. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang sarjana yang mengajar disekolah lanjutan atas dan ahli dalam keislaman (islamologi). Ali Syari’ati adalah merupakan tokoh besar di Iran sesudah Ayatullah Ruhollah Khomaeni. Dalam bukunya Marxisme and Other Western Fallacies, Ali menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam adalah dua ideology yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Marxisme berdasarkan filsafat matrialisme berbeda dengan Islam.

Karya-karya beliau diantaranya :

  1. Marxisme and Other Western Fallacies

  2. What is To Be Done (apa yang harus dilakukan)

  3. On The Sociology of Islam (sosiologi Islam)

  4. Al-Ummah wal Imamah (Umat dan kepemimipinan)

  5. Intizar Madab I’tiraz (Menunggu kritik)

  6. The Role of Intellectual in Society (peranan cendikiawan dalam masyarakat)

Beliau lahir dalam keluarga yang terhormat. Pada tahun 1941 Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Disekolah inilah ayahnya bekerja. Ali menyukai filsafat dan mistisisme.


Term Pendidikan Islam

REFERENSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

  • Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun social, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. (Pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, Dr. H.M. Suyudi, M.Ag, cet.I. januari 2005, penerbit mikraj, yogyakarta,hlm 55)

  • Term Pendidikan yang dikontekskan dengan kata "Islam" bukan sekadar proses transmisi atau alih budaya, ilmu, pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga sebagai proses penanaman nilai, karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al falah) dunia akherat. (Soeroyo,"Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial menjangkau Tahun 2000", dalam Muslih USA (ED), Pendidikan Islam di Indonesia: antara cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),hlm. 43.

  • Para ahli telah banyak membahas tentang definisi "Pendidikan" namu dalam pembahsannya mengalami beberapa kesulitan, hal itu disebabkan karena antara satu definisi dengan definisi lainnya sering terjadi perbedaan pandangan. Menurut Ahmad Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau jasmani amupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma'arif, 1989, hlm.19) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 52

  • Sedangkan Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu :"Pengembangan pribadi dalam semua aspeknya", mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain, sedangkan kata "semua aspek" mencakup aspek jasmani, akal dan hati. (Noeng Muhadjir, ilmu pendidikan …., hlm. 26) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 52

  • Al Attas berpandangan dan berpendapat bahwa kata "Pendidikan" berasal dari terjemahan kata ta'dib yang khusus dipakai untuk pendidikan Islam. Secara bahasa, kata ta'dib berasal dari kata addaba yang berarti adab atau mendidik.

  • Menurutnya, kata tersebut penggunaannya dikhususkan untuk pengajaran Tuhan kepada Nabi-Nya, sehingga dalam konteks ini ia mendefinisikan pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada diri manusia. (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme , terjemahan, Karsidjo, Jakarta: Pustaka, 1991, hlm. 222.) (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 53)


  • Menurut al-Attas, kata adab melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa untuk mencapai sifat yang baik, terhindar dari noda dan cela. Maka, pengajaran dan keterampilan betapapun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan jika di dalamnya tidak ditanamkan nilai-nilai pendidikan. (al-Attas, Syed muhamad Naquib , The Concept of Education in Islam : A Frame Work for in Islamic Fhilosophy of Education, Kualalumpur : 1991, hlm. 16. (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, hlm 53)

  • Ki Hajar Dewantoro mendefinisikan pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Abu Ahmadi dan Nur Ukhbayati, ilmu pendidikan, Jakarata : Rineka Cipta, 1991, hlm.69) di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 53

  • Ada beberapa Definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti :

  1. Muhamad Fadhil al-Jamali "Pendidikan Islam" adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (HM. Arifin, Filsafat Pendidikan ……hlm 17)

  2. Omar Mohammad al-Toumy "Pendidikan Islam" adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam. (Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm.39)

  3. Muhammd Munir Mursyi "Pendidikan Islam" adalah Pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan untuk mengetahui perintah ini. (Muhammad Munir Mursyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo : Dar al-Kutub,1977,hlm.25)

  4. Hasan Langgulung, "Pendidikan Islam" adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat. (Hassan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1993, hlm. 62)

di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag hlm 55

  1. Abdurrahman Al-Nahlawi, "Pendidikan Islam" merupakan suatu proses penataan individual dan social yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. (Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, alih Bahasa Herry Noer Ali, cet. I, Bandung : Diponegoro, 1989, hlm. 41) diambil dari buku Filsafat Pendidikan Islam, Toto Suharto, hlm.29

  2. Ali Ashraf, menyebutkan " Pendidikan Islam " adalah pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan, diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan. (Ali Ashraf, Horizon baru Pendidikan Islam, alih bahasa Sori Siregar, cet. III, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996, hlm 23) diambil dari buku Filsafat Pendidikan Islam, Toto Suharto, hlm.29

  3. Terdapat dua sumber pendidikan Islam yaitu al-Qur;'an dan Sunnah (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 58)

  4. Pendidikan Islam adalah sebagai wadah pengembangan akal dan fikiran, pengarah dan tata laku dan perasaan berdasarkan nilai ajaran Islam, agar nilai tersebut dapat di serap dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan harus sesuai dengan alur pikiran sehat dalam memandang realitas kehidupan, sehingga sisi kehidupan yang akan diraih dapat diupayakan. Islam memberikan kesempatan yang luas kepada akal untuk berkreasi dan berfikir. Keimanan yang secara sepintas harus diterima secara pasrah, bukan berarti mematahkan dan mematikan kreativitas akal, tetapi agar perasaan dan naluri manusia dapat berjalan untuk mengimbangi tindakan yang dilakukan agar sesuai dengan yang digariskan oleh syara'. Naluri yang tunduk (ta'abud) adalah tujuan Tuhan menciptakan manusia, baik individu maupun kelompok (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 58-59)

  5. Tujuan Pendidikan Islam : Konsep pendidikan selalu berada dalam lingkungan budaya yang tidak terlepas dari eksistensinya. Untuk mengetahui tujuannya, harus berdasarkan atas tujuan filosofis (Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Prespective, New York : The Drayden Press, 1958, hlm 4). Adapun tujuan pendidikan Islam secara umum adalah : 1) jika pendidikan bersifat progresif , maka tujuannya harus diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman. Dalam hal ini, pendidikan bukan sekadar menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga melatih kemampuan berfikir dengan memberikan stimulan, sehingga mampu berbuat sesuai dengan intelligent dan tuntunan lingkungan. Aliran ini dkenal dengan progresifisme. 2) jika yang dikehendaki pendidikan adalah nilai yang tinggi, maka pendidikan pembawa nilai yang ada diluar jiwa anak didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan yang tinggi. Aliran ini dikenal dengan esensialisme. 3) Jika tujuan pendidikan dikehendaki agar kemabali kepada konsep jiwa sebagai tuntunan manusia, maka prinsip utamanya ia sebagai dasar pegangan intelektual manusia yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi sendiri. Aliran ini dikenal dengan perenialisme. 4) Menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntuna perkembangan masyarakat karena adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan penyesuaian ini, anak didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas yang dikenal dengan aliran rekonstruksionisme. (di ambil dari buku pendidikan dalam perspektif Al Qur'an, karangan H.M. suyudi, M.Ag, hlm 62-63)

  • Mahmud al-Sayyid Sulthan dalam Mafahim Tarbiyah fi al-Islam menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam haruslah memenuhi beberapa karakteristik, seperti kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, actual, ideal, da mencangkup jangkauan untuk masa yang panjang (mahmud al-Sayyid Sulthan, Mafahim Tarbiyah fi al-Islam, cet. II kairo, Dar al ma'arif, 1981, hlm 104-105). Dengan karakteristi ini, tujuan pendidikan Islam harus mencakup aspek kognitif (fikriyyah ma'rafiyah), afektif (khuluqiyyah), psikomotor (jihadiyyah), dan social kemasyarakatan (ijtima'iyyah) ibid., hlm. 91-103 (diambil dari buku filsafat pendidikan Islam toto suharto, hlm11)

  • Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, juga diakui sebagai kekuatan yang dapat membantu masyarakat mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban. Tidak ada satu prestasipun tanpa peranan pendidikan. Selanjutnay bahwa pendidikan merupakan salah satu wialyah yang menjadi perhatian (area of concern) para pemikir dan aktivitis muslim diseluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh dan aktivitis gerakan, seperti Muhammad abduh di Mesir, sayyid ahmad khan di benua India. Para pemikir dan aktivis gerakan itu tidak hanya mendirikan lembaga-lemabag pendidikan Islam, lebih dari itu ia juga berusaha mentransformasi lembaga-lembaga pendidikan tradisional menjadi pendidikan yang bercorak modern. "Sejak akhir abad ke-19 samapi awal abad ke-20, bersama dengan bangkitnya gerakan modernisme Islam, dunia Islam menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern". (Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Pemikiran, Jakarta, Bulan Bintang, 1992)

Terapi Sholat Khusyu'

ARTI MENDIRIKAN SHALAT

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan arti mendirikan sholat dengan mengemukakan pendapat-penadapat para sahabat dan tabi’in sebagai berikut :

  1. Pendapat Ibnu Abbas r.a. : mendirikan sholat adalah mengerjakan segala fardhunya-fardhunya (rukun-rukunnya) (pedoman sholat : 74) “ Adh-Dhahhak menerangkan bahwa Ibnu Abbas r.a pernah berkata,” mendirikan shalat ialah menyempurnakan ruku’, sujud, tilawah (bacaan), khusyuk dan menghadapai shalat dengan sempurna-sempurnanya.” (pedoman shalat : 74)

  2. pendapat Qatadah :” mendirikan shalat ialah tetap memelihara waktu-waktunya, wudhu’nya, rukuknya dan sujudnya.” (pedoman shalat : 74)

Apabila ketiga pngertian diatas digabungkan , maka arti mendirikan shalat ialah memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudhu’nya dan melaksanakannya dengan sesempurna mungkin (sempurna dalam berdiri, rukuk, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tasyahhud, dzikir, do’a, khusyuk, hadir hati, takut serta sempurna dalam adab-adabnya)

  1. pendapat al-Allamah as-Sayyid Rasyid Ridha :” mendirikan shalat ialah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dengan cara yang paling sempurna, yaitu mengerjakan shalat dengan pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah dan menunaikannya dengan khusyuk karena Allah.” (Tafsir al-Manar, 1:50)

  2. pendapat al-Ustadz Abdul Azis al-Khulli : “ mendirikan shalat ialah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya disertai khusyuk ; memikirkan segala maknanya dan mengenangkan Allah, serta melaksanakannya karena Allah.” (al-Adab an-Nawawi : 7)

KHUSYU’

Sebagian ulama mengatakan bahwa khusyu’ adalah memejamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,” khusyu’ adalah tiada berpaling kekanan dan kekiri di dalam shalat.” Amru ibn Dinar berkata,” khusyu’ adalah tenang dan bagus kelakuan.” Ibnu Sirin berkata,” Khusyu’ adalah tiada mengangkat pandangan dari tempay sujud,” Ibnu Jubair berkata,” Khusyu’ adalah tetap mengarahkan pikiran kepada shalat hingga tiada mengetahui orang yang di sebelah kanan dan kirinya.” Atha’ berkata,” Khusyu’ adalah tidak memain-mainkan tangan dan tidak memegang badan pada shalat.”

Dalam buku pedoman shalat (80) : Khusyu’ adalah tunduk dan tawaddhu’ serta berketangan hati dan segala anggota tubuh kepada Allah.


IKHLAS DAN JUJUR

Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengatakan di dalam risalahnya,” Ikhlas adalah meng-Esakan Allah dalam beribadat dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya tanpa maksud lainnya. Bukan untuk makhluk atau mencari pujian manusia, demi cinta dan sanjungan makhluk atau tujuan-tujuan lainnya selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Hudzaifah al-Mar’asyi berkata,” Ikhlas adalah berbuat sama antara lahir da bathin

Dzun Nun al-Mishri berkata,” Ciri Ikhlas ada tiga, pertama ; apabila dipuji atau di cela orang lain sama saja baginya. Kedua ; ketika beramal, ia tidak melihat dirinya

Abu Muhammad Sahal bin Abdullah at-Tsauri berkata,” Ikhlas adalah seluruh gerak dan diamnya hanya karena Allah, baik dalam kesendirian maupun di keramaian, tidak tercampur dengan kehendak nafsu, keinginan diri dan keinginan duniawi.”

Abu Ali ad-Daqqaq berkata,” Ikhlas adalah menjaga diri dari keinginan di perhatikan manusia. Sedangkan Shidq (jujur) ialah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu.” (pedoman shalat : 80)

Pada diri orang yang ikhlas tidak akan ditemukan riya’ dan pada diri orang yan jujur tidak akan ada kesombongan.


TAKUT KARENA ALLAH

Maksud takut kepada Allah dalam shalat adalah sungguh merasa takut akan kuasa dan kekuatan Allah.

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan,” Pada hari kiamat Allah Ta’ala berfirman ; “Keluarkanlah dari neraka orang yang pernah sesaat dzikir kepada-Ku dan orang yang pernah merasa takut kepada-Ku.” (HR Tirmidzi, dari Anas r.a. ; Hadist Qudsi : 223)

Yang dimaksud dengan dzikir adalah ingat dengan ikhlas dan jujur dalam meng-Esakan Allah dan itu hanya bisa dilakukan oleh mukmin. Nabi SAW bersabda,” Barang siapa mengucapkan La ilaha Illallah dengan ikhlas dari hatinya, niscaya ia masuk surga.” (Hadits Qudsi : 234)

Sedangkan yang dimaksud dengan khauf (takut) didalam hadits Qudsi tersebut adalah menahan nafsu dan semua anggota tubuh dari perbuatan maksiat dengan penuh ketaatan.


HADIR HATI DI DALAM SHALAT

Hadir hati didlam shalat adalah menghadapkan seluruh perhatian kepada Allah dalam setiap tindakan dan bacaan shalatnya serta tidak berpaling kepada selain Allah. Tanpa kehadiran hati, shalat menjadi tidak berarti.

Didalam Ihya Ulumuddin (3: 23) Imam al-Ghazali berkata,” Allah tidak akan memperhatikan shalat yang hati pelakunya tidak hadir bersama tubuhnya.” (pedoman shalat: 85)

Muhammad bin Nasr meriwayatkan hadits dari Utsman bin Abi Dira’ “Allah tidak akan menerima suatu amal dari seorang hamba jika hati si hamba itu tidak hadir bersama tubuhnya.” Dan “Seorang hamba hanya akan memperoleh dari shalatnya sesuatu yang dipahaminya.” (Syarah Ihya’ : 2 ; 112) pedoman shalat : 86


Menanti Keajaiban-Mu

TETAPKAN HAMBA DIJALAN-MU YA ALLAH

Ya Allah.. Tsabbit qulubana ‘ala deenik… (Ya Allah, tetapkan kami di atas JalanMu)

Syukur alhamdulillah, kerana pada pagi ini, hatiku masih meyakini jalan yang kupilih, jalan yang telah Allah tetapkan ke atas ku, jalan yang benar, insyabAllah.. Jalan yang beralamatkan menuju redha dan SyurgaNya. Syukur alhamdulillah, aku masih mengecapi nikmat Islam dan Iman. Alhamdulillah..

Iman itu sendiri perlu digilap setiap ketika, supaya dapat ia dididik untuk hidup semata-mata kerana akhirat. Jika ada secebis perasaan keduniaan pun, hanyalah semata-mata sebagai keseinambungan ke akhirat. Dunia hanyalah alat untuk memudahkan kita ke kampung akhirat.

Hidayah pula dikurniakan Allah pada hamba-hamba terpilih yang bertuah. Perasaanku dan kobaranku terhadap Islam tika ini, kuharapkan kerana hidayah dariNya. Sayangku terhadap jalan Islam dan amal Islami tika ini, kuharapkan atas kurniaan hidayah dariNya. Hidayah dari Allah itu sifatnya tidak kekal. Allah berkuasa dan berkehendak untuk menariknya semula jika kita tidak berusaha untuk mengekalkan nikmat hidayah yang telah sedia ada pada kita. Kurniaan hidayah daripada Allah bukanlah satu kurniaan yang boleh dipandang enteng, kerana berbekalkan hidayah dariNyalah, kita mampu bergerak pulang di atas jalan yang betul ke kampung akhirat. Justeru, kepentingan hidayah tidak dapat disangkal lagi memandangkan apakah matlamat terbesar diri ini sebagai hamba Allah, melainkan terus-menerus menyembahNya, kekal di atas jalanNya, dan bermatlamatkan redhaNya dan SyurgaNya? Moga hati ini terus kekal menggilap hidayah dariNya.

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu; diwahyukan kepadaku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang Satu; maka hendaklah kamu tetap teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredaanNya), serta pohonlah kepadaNya mengampuni (dosa-dosa kamu yang telah lalu) dan (ingatlah), kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukanNya (dengan sesuatu yang lain)” Surah Fussilat [41:6]

Tetap teguh dalam melakukan sesuatu atau istiqamah dalam dakwah merupakan satu jalan usaha untuk mengharapkan pengekalan hidayah yang berterusan dari Allah. Istilah “dakwah” sudah mula dipandang serong dan ditakuti kebanyakan kelompok masyarakat umum. Sedangkan “dakwah” itu adalah kewajipan setiap individu yang bergelar muslim. “Da’a” bermaksud mengajak. Adalah menjadi tanggungjawab kita semua yang telah ditakdirkan Allah untuk menjadi khalifahNya untuk mengajak seluruh makhluk pulang kepada fitrah, pulang kepada kewajiban dan tuntutan Allah untuk menyembahNya setiap masa, selama-lamanya. Tanggungjawab sebagai da’ie tidak sewajarnya ditangguhkan hanya kerana kita merasakan diri kita tidak cukup layak, tidak cukup baik, tidak cukup ilmu, tidak pandai menulis, tidak pandai bercakap dan sebagainya. Atau, mungkin kita juga kadang kala akan merasakan betapa hinanya diri ini berbanding da’ie-da’ie lain yang lebih hebat bicara mereka, lebih mantap amalan mereka malah lebih segala-galanya. Kita semua adalah da’ie. Biarpun sepotong ayat yang kita tahu, kita bertanggungjawab untuk menyampaikan pada semua. mengapa perlu kita pedulikan kehebatan orang lain, sehinggakan terputus usaha kita atas usaha pada jalanNya? Kekalahan apakah yang lebih hebat berbanding, kegagalan kita daripada dipilih menjadi golongan beriman yang bakal memasuki SyurgaNya? Sampai bila kita ingin menanti rasa “cukup bersedia” atau “cukup kuat” untuk menjalankan tugas kita yang bakal membawa kita ke Syurga? Jangan sampai tiba hari dan ketika, di mana kita terkedu melihat orang-orang lain berbondong-bondong memasuki syurga, sedang kita termanggu sendiri menyesal tak sudah akan kelewatan tindakan kita ketika di dunia.. Na’uzubillah. Biarkan kekuatan itu datang menyaluri setiap genap urat tubuh, dan sesungguhnya, kekuatan itu bukanlah datang dari masa, bukanlah menantikan berapa lama kita berkecimpung dalam medan menuntut ilmu Islam, tetapi, kekuatan itu datang dari kita. Kekuatan itu datang dari keyakinan dan keazaaman kita untuk terus-terus di atas jalanNya, biarpun kita tahu, keizinan kekuatan itu datang dari Allah jua. Cemburukan diri dalam melihat para da’ie lain yang bersungguh-sungguh bekerja untuk Islam. Bukan “cemburu” yang menyebabkan kita terdiam, terduduk, terkeliru, atau pun tersakit hati, tetapi cemburu yang dapat menguatkan lagi jalan kita menujuNya, cemburu yang dapat menguatkan usaha kita, cemburu yang dapat menggilap keazaman kita, supaya terus kekal di atas jalanNya.

Dakwah itu banyak cabangnya. Setiap yang menjadi khalifah pasti ada kelebihan. Dakwah Islamiyah mampu disampaikan walau dengan senyuman, walau dengan keceriaan, walau dengan pakaian Islami, walau dengan kata-kata hikmah, walau dengan madah, walau dengan ukhuwah fillah. Tak perlu menanti pandai berbasa-basi, tak perlu menanti bahasa bertukar indah, untuk meneruskan kewajipan kita, serahkan apa yang ada pada kita atas jalanNya, nescaya hak kita akan dipermudahkan olehNya. InsyaAllah.. Kepincangan pasti ada dalam dakwah, kerana yang telah dipilih menjadi khalifah adalah ‘manusia’, bukan malaikat yang bersih dari dosa. Perbetulkan apa yang termampu.. Apa saja! asalkan kita dapat mengejar redha dan SyurgaNya. Amin…

Kerana kita takkan biarkan mereka sahaja menghuni Syurga. Kita juga bakal menjadi penghuniNya.

Betapa hebatnya kuasa Allah, yang menjadikan manusia dengan sifat yang begitu kompleks, lengkap yang akhirnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang cukup bekalan kejadian untuk ditaklifkan menjadi khalifahNya di muka bumi. Manusia itu diciptakan dengan akal dan nafsu. Justeru, Allah kurniakan Al-Quran dan para nabi sebagai penunjuk jalan menujuNya, untuk mengejar iman supaya dapat digandingkan dengan akal yang telah Allah kurniakan pada manusia. Jika diandaikan, akal dan iman disatukan lalu dilawankan dengan hawa nafsu, neraca gabungan akal dan iman itu perlu sentiasa diberatkan berbanding dengan hawa dan nafsu. Itulah bekalan da’ie yang Allah kurniakan pada kita. Fitrah manusia untuk merasa sedih, tetapi bukanlah da’ie yang baik jika kesedihan itu membawa kemusnahan pada dakwah, pada masyarakat, ataupun pada diri sendiri. Fitrah manusia untuk berasa kecewa, tetapi bukanlah kekecewaan itu untuk memusnahkan matlamat kita yang sangat besar, akhirat dan SyurgaNya. Fitrah manusia untuk merasai nafsu cinta, tetapi bukanlah cinta itu untuk membawa kita ke jalan murkaNya. Allah mengurniakan akal dan iman untuk diberatkan berbanding hawa dan nafsu yang dikurniakanNya. Maka, terserahlah pada diri ini untuk memilih. “All or nothing”. Tiada jalan tengah. Keseluruhan RedhaNya, atau tiada langsung RedhaNya. Keseluruhan MurkaNya, atau tiada langsung MurkaNya. Keseluruhan Syurga, ataupun keseluruhan Neraka?

Bawakan aku ke SyurgaMu, Ya Allah.

Memetik semula ayat suci Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai panduan manusia sepanjang zaman:

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu; diwahyukan kepadaku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang Satu; maka hendaklah kamu tetap teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredaanNya), serta pohonlah kepadaNya mengampuni (dosa-dosa kamu yang telah lalu) dan (ingatlah), kecelakaan besar bagi orang-orang yang mempersekutukanNya (dengan sesuatu yang lain)” Surah Fussilat [41:6]

Dapat dilihat betapa pentingnya kita tetap teguh atas jalan kita, sehinggakan Allah mengisikannya dalam ruang kalam suci al-Quran. Biar apa pun yang berlaku, matlamat untuk terus berada di atas jalanNya perlu terus tetap, teguh dalam diri. Matlamat aqidah dan SyurgaNya takkan pernah pincang, biar bumi bergoncang hebat, biar manusia mengecam dan membenci kita. Kerana kita ingin ke Syurga.

Wahai diri, jangan biarkan kafilah menuju Syurga itu meninggalkanmu. Biarpun kau rasakan kudamu terhincut-hincut di belakang, tetapi teruskan azam untuk memecut mengejar matlamat Agung.. Syurga Allah.

Tsabbit qulubana ‘ala deenik Ya Allah…

-Catatan hati hamba Allah yang hina-
Mohon petunjuk dariNya,
Wallahu’alam



Humanis dan Religius

PENDIDIKAN YANG HUMANIS DAN RELIGIUS


  1. PENDAHULUAN

Dinamika tujuan dunia pendidikan, seharusnya tidak menekankan dan mengedepankan hanya pada aspek kognitif saja, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana pendidikan itu diberikan lebih menyentuh dan memperhatikan pada aspek humanis dan religius yang di realisasikan pada sikap yang baik (afektif) dan hubungan sesama manusia lainnya. Dalam tatanan persepktif Islam, menurut Arifin, “pendidikan bermaksud membentuk manusia yang perilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah, yaitu manusia yang dapat “merealisasikan idealitas Islami”, menghambakan sepenuhnya kepada Allah.”1

Oleh karenanya, pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.2 Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.3 Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpotensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.4 Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).5

Lebih lanjut menurut John Dewey, tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends. Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends. Means adalah tujuan “antara” sedangkan ends adalah tujuan “akhir”. Dengan dua kategori ini, tujuan pendidikan harus memiliki tiga kriteria, yaitu : (1) tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi yang sudah ada; (2) tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan keadaan; dan (3) tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas.6 Pada akhirnya setiap tujuan mengandung nilai, yang dirumuskan melalui observasi, pilihan dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke waktu.

Sementara itu, Mahmud Al-Sayyid Sulthan dalam Mafahim Tarbiyah fi al-Islam menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah haruslah memenuhi beberapa karakteristik seperti kejelasan, keumuman, universal, integral, rasional, aktual, ideal dan mencakup jangkauan untuk masa yang panjang.7 Dengan karakteristik ini, tujuan pendidikan harus mencakup aspek kognitif (fikriyyah ma’rofiyyah), afektif (Khuluqiyyah), psikomotor (jihadiyyah), spiritual (ruhiyyah), dan sosial kemasyarakatan (ijtima’iyyah).8

Dengan demikian “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


  1. PENGERTIAN : PENDIDIKAN, HUMANIS DAN RELIGIUS

Untuk memeperjelas makna pendidikan, humanis dan religius yang sebenarnya ketiga terma tersebut saling berhubungan erat dalam konteks pendidikan Islam, maka berikut defenisi dari ketiga terma tersebut diatas :

  1. PENDIDIKAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.9

Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.10 Kemudian dilihat dari kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak. Ia harus dipancing dan digali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Jadi pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar ia dapat di nikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.11

Istilah education, dalam Bahasa Inggris yang berasal dari Bahasa Latin educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi disini ada tiga hal yang terlibat : ilmu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk ke kepala.12

Dalam Islam, istilah “pendidikan” sering diterjemahkan dengan kata tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tahdzib (pengarahan) dan lain-lain.13 Jadi beberapa pengertian dari pendidikan tersebut dapat disimpulkan, menurut Ahmad Tafsir bahwa defenisi pendidikan secara luas yaitu; “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek jasmani, akal dan hati.”14 Diamana peserta didik bukan hanya sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Definisi inilah yang dikenal dengan tarbiyah.15



  1. HUMANIS

Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan “humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.”16

Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh Corliss Lamont dalam bukunya Philosophy of Humanism, ia mengatakan; humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.17

Sedangkan humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.

Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qurt`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.18 Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang

kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.

Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.19 Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.

Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.20 Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.21 Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).

Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.

Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.

Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.

Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.


  1. RELIGIUS


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara), Thn. 1987

Hasan, Karnadi. “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, (IAIN Walisongo Semarang), Thn. 2000

Freire, Paulo. dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), (Kanisius), Thn. 2001

Malik Fadjar, Malik. dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), Thn. 2004

Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media), Thn. 1992

Dewey, John. Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company), Thn. 1964

Sulthan, Al-Sayyid Mahmud. Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif), Thn. 1981

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru), Thn 2003

Suyudi, H.M. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj), Thn. 2005

Abd al-Baqi, Fuad, Muhammad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr), Thn. 1997 M/141 H

lamont, Corliss. The Philosophy of Humanism, Thn. 1977

Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.

1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 119

2 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.

3 Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.

4 Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v

5 Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.

6 John Dewey, Democracy and Education, (Cet. IV; New York: The Macmillan Company, 1964), hlm 105-106. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1916, yang kemudian mengalami revisi tahun 1944

7 Mahmud Al-Sayyid Sulthan, Mafahim Tarbawiayyah fi al-Islam, (Cet. II; Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1981),hlm.104-105

8 Ibid,, hlm. 91-103.

9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 232

10 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Penerbit PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 1

11 Ibid,. hlm.2

11

12 Ibid,.

13 H.M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005), hlm. 15

Dari term-term tersebut, Al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta’lim, dan tazkiyah sebagai istilah yang mengacu pada term “pendidikan”


14 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan…..hlm 26

15 Kata “tarbiyah” secara bahasa berarti; pengatur, tuan, penguasa, pengampu dan pelindung. Arti tersebut menunjukkan sikap pengampu, sehingga Tuhan desebut Robbun karena kekuasaan dan pengampunannya kepada makluk. Dalam pendidikan istilah tersebut identik untuk konteks anak yang belum dewasa. Lihat Al-Raghib,….hlm. 189

16 Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing

17 Corliss lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hlm. 116

18 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/141 H) hlm. 152-153

19 Ibid., hlm. 895-899

20 Ibid., hlm. 32

21 Ibid., hlm. 119-120

La Tahzan

HADAPI HIDUP INI APA ADANYA !

Kondisi dunia ini penuh kenikmatan, banyak pilihan penuh rupa dan banyak warna. Semua itu bercampur baur dengan kecemasan dan kesulitan hidup. Dan, Anda adalah bagian dari dunia yang berada dalam kesukaran.

Anda tidak akan pernah menjumpai seorang ayah, isteri, suami, kawan, sahabat, tempat tinggal atau pekerjaan yang padanya tidak terdapat sesuatu yang menyulitkan. Bahkan, kadangkala justru pada setiap hal itu terdapat sesuatu yang buruk dan tidak anda sukai. Maka dari itu, padamkanlah panasnya keburukan pada setiap hal itu dengan dinginnya kebaikan yang ada padanya, itu kalau Anda mau selamat dengan adil dan bijaksana. Pasalnya, betapapun setiap luka ada harganya.

Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang saling berselisih, dan dua pendapat yang saling berseberangan. Yakni, yang baik dengan yang buruk, kebaikan dengan kerusakan, kebahagiaan dengan kesedihan. Dan setelah itu, Allah akan mengumpulkan semua yang baik, kebagusan dan kebahagiaan itu di surga. Adapun yang buruk, kerusakan dan kesedihan. Dan setelah itu, Allah akan mengumpulkan semua yang baik, kebagusan dan kebahagiaan itu di surga. Adapun yang buruk, kerusakan dan kesedihan akan dikumpulkan di neraka.” Dunia ini terlaknat, dan terlaknat semua yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan semua yang berkaitan dengannya, seorang yang alim dan seorang yang belajar,” begitu hadits berkata.

Maka jalanilah hidup ini sesuai dengan kenyataan yang ada. Jangan larut dalam khayalan. Dan, jangan pernah menerawang kealam imajinasi. Hadapi kehidupan ini apa adanya; kendalikan jiwa anda untuk dapat menerima dan menikmatinya !. bagaimanapun, tidak mungkin semua teman tulus kepada anda dan semua perkara sempurna dimata anda. Sebab, ketulusan dan kesempurnaan itu ciri dan sifat kehidupan dunia.

Bahkan, isteri atau suami Andapun tak akan pernah sempurna dimata Anda. Maka kata hadits,” janganlah seorang mukmin mencela seorang mukminah (isterinya) sebab jika dia tidak suka pada salah satu kebiasaannya maka dia bisa menerima kebiasaannya yang lain.”

Adalah seyogyanya bila kita merapatkan barisan, menyatukan langkah, saling memaafkan dan berdamai kasih kembali, mengambil hal-hal yang mudah untuk kita lakukan, dan meninggalkan hal-hal yang menyulitkan, menutup mata dari beberapa hal untuk saat-saat tertentu, meluruskan langkah dan mengesampingkan berbagai hal yang mengganggu.

Puding Besar, 03 Oktober 2007

21 Ramadhan 1428 H


Study Qur'an

Study Qur'an

Soal :

1. Jelaskan sejarah singkat proses penurunan wahyu (al-Qur’an) dan pengumpulannya, baik pengumpulannya dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan sejak masa Nabi SAW sampai pada masa Utsman ra.

Jawab :

Sejarah singkat proses penurunan wahyu (al-Qur’an) dan pengumpulannya, baik pengumpulannya dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan sejak masa Nabi SAW sampai pada masa Utsman ra. adalah :

Turunnya Al-Qur’an dapat dibagi kedalam dua cara : pertama, secara ibtida’i yaitu ayat Al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya, dan mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun secara ibtida’i (Abu Maryam berkata : perhatikan “mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an”, ini menunjukkan bahwa justru mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun tidak memiliki asbabun nuzul. Yang kedua, secara sababi yaitu ayat Al-Qur’an turun yang didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya. Sebab-sebab tersebut dapat berupa : a) pertanyaan yang dijawab oleh Allah SWT. b) kejadian sebuah peristiwa yang membutuhkan penjelasan dan peringatan. c) adanya suatu permasalahan yang membutuhkan penjelasan hukumnya (dikutip dari buku “Pengantar Ilmu Tafsir” yang merupakan terjemahan Ushul fi Tafsir yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin Rohimahullah, penerjemah Ummu Ismail, diterbitkan oleh Dar as-Sunnah Press Jakarta)

Bahwa Allah SWT. telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW lebih empat belas abad yang silam, adalah suatu fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Selanjutnya Ia merupakan firman / kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yang turunnya secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari atau kurang lebih selama 23 tahun (13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah). Proses wahyu (Al-Qur’an) tersebut diturunkan melalui berbagai cara diantaranya :

  1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu kedalam hati Nabi Muhammad Saw tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada didalam hatinya.

  2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi Muhammad SAW.

  3. Wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW seperti bunyi gemerincing lonceng. Cara inilah yang paling berat dirasakan oleh Nabi, sampai-sampai Beliau mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.

  4. Malikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.

Kemudian, Setiap kali mendapat wahyu, Nabi Muhammad SAW langsung menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril. Selanjutnya Al-Qur’an diturunkan dalam dua periode : yang pertama, periode Mekah yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Beliau melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat. Yang kedua, adalah periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.

Adapun sejarah singkat proses pengumpulan wahyu (Al-Qur’an) dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan adalah sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya dihadapan para sahabat karena Rasulullah memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Beliau juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya diatas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, diatas daun lontar, kulit dan daun kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang, semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tersebut untuk membedakan antara satu surat dengan surat yang lainnya. Beliau juga memberi petujuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Kemudian sampai batas akhirnya cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tersebut berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 23 tahun (22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Diantara para sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an) pada masa Rasulullah adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa'ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik. Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. Tulisan ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur'an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq :

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatar belakangi pengumpulan nash-nash Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra.. : Suatu ketika Abu Bakar menemuiku untuk menginformasikan perihal tentang korban pada perang Yamamah (terjadi pada tahun 12 H), ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :” Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, Aku (Umar) khawatir kejadian hal serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat, sehingga suatu saat nanti tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku (Umar) sudah saatnya wahai engkau Khlaifah (Abu Bakar) memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar :”Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Umar menjawab :”Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu mendesak Abu Bakar untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatinya, maka usul Umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an akhirnya disetujui oleh Abu Bakar. Kemudian Beliau langsung berkata kepada Zaid bin Tsabit :”Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pandai, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah SAW, maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf.” Zaid berkata : Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindahkan salah satu gunung tidak akan lebih berat bagiku daripada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Abu Bakar menjawab : Demi Allah, itu tindakan yang mulia. Abu Bakar terus memaksaku untuk menerima tugas ini berkata Zaid, sehingga Allah melapangkan hatiku untuk menerimanya sebagaimana Allah lapangkan hati Abu Bakar dan Umar, maka akupun mulai mengumpulkannya dari pelepah-pelepah kurma, lempengan batu dan mendengarkan dari hafalan para sahabat sehingga aku menjumpai ayat terakhir dalam surat At-Taubah (ayat 28) dari Khuzaimah al-Anshari, yang belum pernah aku dapati dari orang lain (hingga akhir surat Bara’ah). .

              

lembaran-lembaran (suhuf) yang aku tuliskan itu disimpan oleh Abu Bakar hingga akhir hayatnya, kemudian di turunkan pada Umar bin Khattab kepada anaknya Hafsah setelah wafatnya. (HR. Bukhari fi fadhoil al-qur’an, bab jam’u al-qur’an 487)

Pengumpulan Al-Qur'an Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan :

Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Kahlifah Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan Al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajari mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka'ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy'ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.

Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: "Pada masa pemerintahan Utsman guru/pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Khalifah Utsman. Kemudian Khalifah Utsman berpidato dan seraya mengatakan: "Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya". Karena latar belakang dari kejadian tersebut Khalifah Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya, Ia berpendapat untuk melakukan tindakan preventif menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan. Mereka semua sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur'an. Khalifah Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah. Utsman mengatakan kepada mereka: "Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy". Utsman meminta kepada Hafsah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafsah mengabulkannya.

Hal ini sesuai dengan surat Utsman yang dikirimkannya kepada Hafsah yaitu : "Kirimlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda". Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan kepada Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Said ibnu al-'Ash dan Abdurrahman ibnu al-Harits ibnu Hisyam lalu mereka menyalinnya dalam mushaf. Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran/mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran/mushaf yang lain dibakar.(HR. al-Bukhari). Perbedaan antara pengumpulan (mushaf) Abu Bakar dan Utsman sebagaimana yang telah di kemukakan di atas adalah : pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan Al-Qur'an ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya hufazh yang gugur. sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal membaca Al-Qur'an

Soal :

2. Jelaskan tentang diturunkannya al-Qur’an dengan “tujuh huruf” (sab’atu ahruf). Apa hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan “tujuh huruf” pada periode madinah ? samakah sab’atu ahruf dengan Qira’ah sab’ah ? apa alasannya, jika anda mengatakan sama atau tidak sama ?

Jawab :

Turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf) :

Ada beberapa dalil hadits yang menyatakan Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf diantaranya adalah :

1. قال رسول الله صلم : اقراني جبريل علي حروف فراجعته فلم ازل استزيده و يزيدني حتي انتهي الي سبعة احرف (رواه البخاري و مسلم)

Artinya :

Rasul Allah SAW bersabda : “Malaikat Jibril telah membacakan (Al-Qur’an) kepadaku atas beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf (macam)”. HR. Bukhari dan Muslim

2. قال رسول الله صلم : ان هذا القرأن أنزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منه (رواه البخاري و مسلم)

Artinya :

Rasul Allah SAW bersabda : “ Sesunguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari Al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. قال رسول الله صلم لي : (ابي بن كعب) يا ابي ارسل الي ان اقرا القران علي حرف, فرددت اليه ان هون علي امتي, فرد الي الثانيه, اقراه علي حرفين, فرددت اليه ان هون علي امتي , فرد الي الثا لثه, اقراه علي سبعة احرف (رواه مسلم)

Artinya :

Rasul Allah berkata kepada (Ubayy bin Ka’ab) “Hai Ubayy, telah diutus (Jibril) kepadaku untuk membacakan Al-Qur’an atas satu huruf, lantas aku minta kepadanya agar dimudahkan umatku membacanya, maka (Jibril) berkata, bacalah Al-Qur’an itu atas dua huruf, lalu aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya, maka (Jibril) berkata lagi, bacalah atas tujuh huruf”. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits yang dikemukakan diatas tampak ada semacam kebebasan bagi umat untuk membaca Al-Qur’an selama masih dalam lingkup tujuh bacaan yang diizinkan. hal itu dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada umat dalam membaca Al-Qur’an. Dengan kemudahan atau kelonggaran yang diberikan Rasulullah itu dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka mereka (kalangan muda, kakek, nenek yang terdiri dari berbagai suku dan kelompok) makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Sesuai dengan maksud dari Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada umat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka, selama sebutan rahmat tidak ditutupi (diakhiri) dengan sebutan azab, sebaliknya sebutan azab tidak diakhiri dengan sebutan rahmat, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits Rsulullah yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dari Abu Hurairah, yang artinya : Rasulullah telah bersabda “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh bacaan, maka bacalah jangan merasa sulit, jangan merasa kesulitan (karena harus membaca dengan satu bacaan yang sukar sekali melafalkannya), namun jangan kamu akhiri ayat yang berisi (menyebutkan) rahmat dengan azab, dan jangan pula mengakhiri yang menyebut azab dengan rahmat.

Kemudian, para ulama cenderung berpendapat bahwa kata “tujuh” dalam hadits yang sudah disebutkan sebelumnya adalah dalam arti tujuh yang sebenarnya bukan kiasan. Artinya tujuh yang terletak antara enam dan delapan. Dan tidak pula berkonotasi suatu jumlah yang tidak terbatas meskipun secara kiasan dapat saja berarti demikian. Adapun kata “ahruf” secara lughawi adalah jamak dari “harf” yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah satu huruf hijaiyyah dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna tujuh huruf, diantaranya adalah : Al-Hafidz Abu Amr al-Dhani berpendapat makna tujuh huruf dalam hadits sebelumnya mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “Tujuh cara membaca dari beberapa bahasa”. Kedua, berarti “bacaan”. Sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya, dan bacaan tak mungkin terjadi tanpa huruf. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah halal, haram, muhkam, mutasyabih, mengemukakan perumpamaan, menyuruh, dan melarang, pendapat mereka ini berdasarkan hadits Ibn Mas’ud. Adapun pendapat sebagian besar ulama adalah bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa : Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Pendapat lain dari Ibn al-Jaziri yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah tujuh cara dalam membaca Al-Qur’an, meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu kembali kepada tujuh huruf. Pendapat ini juga didukung oleh al-Zarqani, ketujuh perbedaan cara membaca Al-Qur’an itu ialah sebagai berikut :

  1. Perbedaan bentuk kata benda (tunggal, jamak, maskulin dan feminin)

  2. Perbedaan tashrif / perubahan (kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang dan masa yang akan datang)

  3. Perbedaan jabatan kata

  4. Perbedaan dikarenakan berlebih dan berkurang dalam menggunakan kata

  5. Perbedaan dikarenakan terdahulu dan terkemudiankan dalam penempatan suatu kata

  6. Perbedaan karena ada penggantian suatu kata

  7. Perbedaan dialek.

Sebagai kesimpulan dari apa yang telah diungkapkan diatas, bahwa Meskipun maksud dari sab’atu ahruf tersebut adalah untuk memberi kelonggaran dan kebebasan dalam membacanya namun bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah dibaca sesuka hati si pembaca, melainkan ada aturan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.



Hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah :

  1. Memudahkan bagi kaum-kaum Arab yang Ummi (tidak pandai membaca dan menulis) untuk bisa membaca dan menghafalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah ia dengan bacaan yang mudah daripadanya. Dalam hadis riwayat Muslim juga yang diterima melalui Ubay, beliau bersabda yang artinya, “Wahai Ubai! Aku diperintahkan agar membacakan Al-Quran dengan satu huruf, maka aku memohon kepada malaikat Jibril agar diberi kemudahan bagi umatku dan dia menjawab agar aku membacanya dengan dua huruf . Aku masih mengulangi lagi permintaan agar diberi lagi keringanan untuk umatku . Maka dia menjawab untuk yang ketiga kalinya . “ Bacalah Al-Quran itu dengan tujuh huruf.”

  2. Untuk menguatkan mukjizat Al-qur’an. Diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh bahasa adalah untuk seluruh manusia bukan kepada qabilah yang tertentu.

  3. Mukjizat Al-Qur’an pada makna-makna dan hukum-hukum. Perubahan-perubahan bentuk lafadz pada beberapa huruf dan kalimah adalah untuk proses istinbath (pengeluaran) hukum dan menjadikan hukum Al-Qur’an yang sesuai sepanjang masa dan zaman.

  4. Memperkokoh kesatuan umat. Dengan diturunkan Al-Qur’an dalam berbagai bacaan sesuai dengan kemampuan mereka, maka mereka merasakan bahwa Al-Qur’an bukan milik satu golongan tertentu, melainkan untuk semua umat.

  5. Bukti keagungan Al-Qur’an. Dengan diturunkan Al-Qur’an dalam bacaan yang bervariasi, kebesaran dan keagungannya makin terasa meskipun qira’atnya beragam.

  6. Memberikan kelegaan kepada umat. Dengan diturunkannya Al-Qur’an dalam berbagai qira’at, umat meraasa lega dan puas sebab mereka diberi sedikit kebebasan dalam membaca kitab suci, tidak dipaksa untuk membaca dengan satu qira’at tertentu.

  7. Memberikan kemudahan. Bacaan yang beragam memberikan ruang gerak yang sedikit leluasa bagi umat.





Samakah sab’atu ahruf dengan qira’ah sab’ah

Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qara’a (قرأ), yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Ada dua pengertian qira’at menurut istilah yaitu : Pertama, Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain. Yang kedua, pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani. Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”

Berbeda dengan sab’atu ahruf yang pengertiannya adalah tujuh cara dalam membaca Al-Qur’an (pendapat Ibn al-Jaziri yang didukung oleh al-Zarqani), meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu kembali kepada tujuh huruf.

Sedangkan qira'at sab'ah adalah qira'at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi', Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer Ibnu 'Ala' dan Ali al-Kisa’i. Qira'at sab'ah ini populer diseluruh negara Islam pada permulaan abad kedua hijriyah. Di Bashrah orang membaca menurut qira'at Abi Amr dan Ya'qub. Di Kufah menurut qira'at Hamzah dan Ashim, di Syam menurut qira'at Ibnu Amir, di Makkah menurut qira'at Ibnu Katsir dan di Madinah menurut qira'at Nafi'.

Secara umum qira'ah berarti madzhab dalam membaca Al-Quran dari para imam Qurra' yang masing-masing memiliki perbedaan dalam pengucapan ayat-ayat Al-Quranul Karim, tetapi semuanya bersandar kepada sanad-sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW. Qira'ah yang mutawatir adalah Qira'ah Sab'ah (Tujuh) yang termasyhur. Qira'ah yang mutawatir itu disampaikan kepada kita dari para Qurra' yang huffadz. Mereka terkenal dengan hafalan, kekuatan ingatan dan kejujurannya. Mereka menukil qira'at para Shahabat radhiyallahu 'anhum yang mendengarkan langsung ayat-ayat Al-Quran dari Rasulullah SAW. Diantara imam-imam Qira'ah Sab'ah (Tujuh Qurra') yang masyhur adalah : 1). Ibnu Katsir (45-120 H). 2). ‘Ashim (….-128 H). 3). Abu ‘Amr (68-154 H). 4) Nafi’ (70-169 H). 5). Ibnu ‘Amir (21-118 H). 6). Hamzah (80-159 H). 7). Al-Kisa’i(119-189 H).

Berdasarkan keterangan diatas bahwa sesungguhnya Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.

Soal :

3. Al-Qur’an turun secara bertahap dalam rentang waktu sekitar 22 tahun lebih. Bagaimana cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus itu ? Bagaimana peran pengetahuan asbab nuzul ? Bagaimana bunyi kaedah yang berlaku dalam konteks asbab nuzul ? Jelaskan kaidah tersebut. Bagaimana dengan ayat-ayat yang tidak ada riwayat asbab nuzulnya ?

Jawab :

Cara memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus adalah :

Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada manusia dengan wahyu yang di turunkan-Nya. Petunjuk Allah yang berlaku untuk semua manusia di semua tempat dan zaman itu, termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an yang terdiri atas ayat-ayat dan surat-surat itu, tidaklah diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Diantara hikmah diturunkannya secara bertahap ini, adalah agar manusia tidak terlalu sukar dalam memahami dan mengikuti kandungannya.

Memang, sesungguhnya dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur atau tidak sekaligus, sangatlah memudahkan bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya, sekalipun orang-orang yang buta hurufpun bisa memahaminya seperti orang-orang arab dulu. Maka, tak salah kiranya khalifah Umar bin Khattab pernah berkata “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Al-Qur’an kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam lima ayat-lima ayat. (HR. Baihaqi). Cara memahami Al-Qur’an yang tidak turun sekaligus itu adalah yaitu dengan memahami asbab nuzul ayat, sesungguhnya ayat Al-Qur’an ada yang turun di Mekah disebut dengan ayat Makiyah dan ada ayat yang turun di Madinah kemudian disebut dengan ayat Madaniyah. Pengetahuan tentang asbab nuzul akan membantu memahami konteks diturunkannya sebuah ayat. Memahami Al-Qur’an dengan cara memahami maknanya kemudian langsung diprektekkan dalam sehari-hari tentunya lebih membekas dan berpengaruh pada setiap aspek kehidupan.

Adanya asbab nuzul bertujuan untuk menunjukkan dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Asbab nuzul merupakan respon terhadap realitas. Peran pengetahuan asbab nuzul terhadap ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya adalah memudahkan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan sebab kejadiannya, untuk membedakan antara ayat-ayat makiyah dan ayat-ayat madaniyah, kemudian untuk menghantarkan bacaan Al-Qur’an sehingga memberi pengaruh dan pelajaran bagi yang membacanya. Kaedah yang mendukung asbab nuzul tersebut adalah :

االعبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang artinya :

Yang menjadi Ibrah (pegangan) ialah keumuman lafal bukan kekhususan sebab.

Diantara argumennya adalah sebagai berikut :

  1. hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat dan sebab-sebab yang timbul hanya berfungsi sebagai penjelasan.

  2. pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum terkecuali ada qarinah.

  3. para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan masa berpegang pada teks ayatnya dan bukan pada sebab yang terjadi.

Kemudian, berkenaan dengan ayat yang tidak ada asbab nuzulnya adalah memang tidak semua ayat Al-Qur’an itu turun ada asbab nuzulnya atau ayat Al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh suatu sebab yang melatar belakanginya bahkan mayoritas ayat-ayat Al-Qur’an turun tidak memiliki asbab nuzul. Hal ini bukanlah berarti ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak memiliki asbab nuzul tersebut tidak mutawatir, akan tetapi semua ayat-ayat Al-Qur’an itu turun dari sisi Allah swt yang juga merupakan kalam dan firman-Nya. Menurut sejarahnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun, ada yang tanpa didahului sebab dan ada yang didahului oleh sebab tertentu. Ayat yang turun yang didahului oleh sebab tertentu ada yang secara tegas tergambar sebab tersebut dalam ayat dan ada pula yang tidak dinyatakan secara jelas yang bersangkutan. Ayat Al-Qur’an yang secara tegas menyatakan sebab turunnya, antara lain tergambar dalam ayat yang memuat kata-kata يسالونك (mereka bertanya kepadamu) atau يستفتونك (mereka meminta fatwa kepadamu). Sedang ayat yang tidak memuat secara tegas sebab turunnya, dapat dipelajari melalui hadits-hadits Nabi.

Soal :


4. Jelaskan secara singkat perkembangan tafsir al-Qur’an ? Bagaimana penafsiran al-Qur’an itu berkembang, apakah perlu dikembangkan, apa alasan anda ?

Jawab :

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as. dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna.Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an.
Tafsir diawali sejak pada masa Rasullah saw ketika masih hidup. Ketika terjadi perbedaan atau silang pendapat dan pemahaman tentang makna sebuah ayat, maka hal itu langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an :

  1. Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara terperinci di ayat lain.

  2. Rasulullah saw, pada saat beliau masih hidup para sahabat bias langsung bertanya kepada beliau.

  3. Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri.

Dimulai dari masa Rasulullah saw kemudian perkembangan tafsir pada masa sahabat. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an adalah : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al-Hamdani. Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ra’y yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya.

Penafsiran Al-Qur’an tumbuh dan berkembang sejak ketika masa Rasulullah saw masih hidup, masa sahabat, masa tabi’in sampai sekarang ini. Banyak sekali buku-buku dan metode-metode tafsir yang bermunculan, yang tujuannya adalah memberi kemudahan bagi umat Islam agar bisa memahami ayat-ayat Al-Qur’an seutuhnya. Mengingat akan hal itu, kemudian tafsir perlu sekali untuk dikembangkan mengingat berkembangnya dan meluasnya ilmu pengetahuan dan wawasan manusia. Sehingga tidak mustahil akan bermunculan masalah-masalah baru yang membutuhkan pendekatan dengan pendekatan tafsir Al-Qur’an. Dan keadaan ini terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam disegala waktu dan tempat.





Soal :

  1. jelaskan metode penafsiran Al-Qur’an yang berkembang selama ini ! jelaskan kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Apa saran anda dalam hal ini ?

Jawab :

Metodologi penafsiran Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu : metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

1. Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringks sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah.

3. Metode Muqarin

Tafsir ini mengggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan.

4. Metode Maudlu’i

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik / judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.